POLA ASUH DENGAN LABELING PENGARUHI KONSEP DIRI ANAK

 

  Ditulis Oleh:

Anwar Fuad

(Anggota Rayon Psikologi dan Kesehatan)


            Orang tua adalah orang terdekat bagi anak, yang dijaadikan contoh sebagai pembelajaran. Pertama kali anak berinteraksi adalah kepada orang tua. Sebagai orang yang terdekat dan menjadi pembentukan awal daripada kepribadian anak, orang tua memiliki tanggung jawab memastikan anak telah mencapai tahapan tugas perkembangan pada tahapan usianya untuk siap berada di tengah-tengah lingkunganya.

               Interaksi antara orang tua dan anak membentuk kepercayaan dan konsep diri pada anak. Jika interaksi ini berjalan dengan baik akan menimbulkan respon yang baik pada konsep diri dan kepercayaan diri anak. Namun, jika interaksi tidak berjalan dengan baik akan berdampak negative pada konsep diri anak. Perkataan dari orang tua akan melekat ada diri anak dan membuat konsep diri dari perkataan orang tua (labeling).

            Labeling adalah pemberian julukan kepada seseorang atas ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang tersebut (nunung hidayah, 2014). Labeling membentuk prasangka atau persepsi diri terhadap perilaku terbentuk. Apa yang dikatakan orang tua seperti kata “bodoh” pada sang anak, akan membuat anak meyakini bahwa dirinya bodoh dan berperilaku mengikuti apa yang menjadi keyakinan dari perkataan orang tua. Menurut Peggy Thoits (1999) orang yang diberikan label menyimpang (deviant) dan diperlakukan sebagai orang yang menyimpang, akan menjadi menyimpang. Sebagai contoh, jika seorang anak diberi label “Bodoh” maka pada akhirnya dia akan menjadi anak yang bodoh.

            Labeling memang sepele  akan tetapi jika  tidak diperhatikan akan menghasilkan dampak yang besar. (Hidayah dan khusmadewi, 2020). Pelabelan yang dilakukan oleh orang tua seperti bodoh, mengakibatkan adanya beban pada diri anak. Beban ini kemudian menjadi ganjalan bagi anak untuk bercerita kepada orang tua, kenapa tidak mendapatkan nilai  yang bagus. Akhirnya menjadikan hambatan dalam komunikasi antara orang tua dan anak. Selain itu labeling juga dapat menggangu konsentrasi anak. Sehingga dapat menimbulkaan permasalahan yang lainnya. Seseorang akan terkunci dalam sifat label yang diberikan lingkungan kepadanya, terutama pelabelan yang negatif. Mereka cenderung menjadi sosok seperti yang dilabelkan dan akan berdampak pada psikologis seseorang. Sebagai contoh dampak psikologis misalnya: mudah sedih, putus asa, emosi yang tidak terkontrol, tidak mau berbicara, tempertantrum, dan memberontak (Hurlock, 1999).

Dampak Negatif Labeling

            Menurut Wiley (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) membentuk individu yang memiliki konsep diri yang positif memerlukan suatu proses yang melibatkan peran lingkungan yang dimulai sejak individu itu lahir dan diawal masa perkembangannya (Hendri, 2019). Orang tua adalah seseorang yang mengiringi pertumbuhan anak, dari individu lahir dan mendampingi perkembangan anak. Pola asuh dari kedua orang tua membentuk konsep diri anak, adanya labeling yang bersifat negatif sangat dapat mempengaruhi konsep diri anak.

            Labeling memberikan dampak negatif melalui konsep diri dan pandangan orang tua. Yang pertama yaitu konsep diri, Menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa, konsep diri berkembang melalui pengalaman, perilaku dari orang lain yang bersifat negatif dan berulang-ulang mempengaruhi konsep diri. Jelas, jika orang tua melabeli anaknya dengan menyebutkan “nakal”, maka anak akan membuat persepsi pada diri sendiri dan menyakininya jika dia adalah seorang anak yang nakal. Persepsi diri yang diyakini ini disimpan dan menjadi sebuah perilaku.

            Yang kedua, yaitu persepsi orang tua, memandang anaknya ‘bodoh’. Seringkali anak melihat hasil akhir dari anaknya untuk mendapatkan yang bagus. Seperti, ketika sekolah mendapatkan nilai kecil atau belum mendapatkan nilai yang memuaskan, akan tetapi anak sudah berusaha, dengan giat belajar. Akan tetapi karena mendapatkan nilai yang kecil orang tua memberikan penilaian kepada anak, bahwa dia adalah anak yang bodoh.

            Labeling ini kemudian menetap, yang akan memberikan dampak negatif kepada anak. Tidak mendapatkan dukungan atas usaha dari anak membuat anak merasa frustasi dan merasa tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua atas hasil kerja kerasnya untuk mendapatkan nilai yang besar, meski belum memuaskan. Sehingga perilaku usaha untuk mendapatkan nilai yang bagus, tidak dilakukan anak dengan berfikir ‘mungkin juga akan dimarahi’, padahal sudah berusaha menjadi pintar dengan belajar namun tidak dihargai.


Pola Asuh

            Individu yang memiliki konsep diri negatif membuat seorang anak akan memandang dirinya negative, seperti lemah, tidak berguna, tidak percaya diri dan tidak merasa dikendalikan oleh orang lain. Maka perlu adanya pola asuh yang tepat untuk membuat anak memiliki konsep diri yang positif. Tahap perkembangan awal sangat memengaruhi konsep diri pada sang anak.

        Bentuk Pola Asuh pada Anak

        Yang pertama, adalah pola asuh otoriter. Pada pola asuh otoriter keputusan anak dalam berperilaku berdasarkan dari kemauan orang tuanya. Pola asuh ini hanya menjadikan anak sebagai objek pelaksanan dari perintah orang tua. Dalam hal ini sulit bagi anak untuk menuangkan kebebassnya dalam bertindak dan mengambil keputusan. Orang tua yang otoriter, cenderung akan memberikan labeling negatif pada anak jika tidak sessuai dari perintah atau anak membuat kesalahan. Pola asuh ini membuat anak menjadi penakut dan anak merasa tidak dihargai. Seorang anak merasa tidak dihargai karena inisitif  yang dilakukan  oleh  anak  tidak  didukung oleh orang tua dan hanya memberikan dukungan dari apa kata orang tua.

        Yang kedua, adalah pola asuh demokratis. Dalam pola asuh yang demokratis dengan memberikan bimbingan kepada sang anak. Anak yang tidak mendapatkan bimbingan akan menjadi ‘se-enaknya’ saja. Perlu adanya bimbingan sehingga anak mendapatkan dukungan dari orang tua, merasa dihargai dan mendapatkan kepercayaan dirinya. Pola asuh demokratis lebih tepat digunakan untuk memberikan konsep diri yang positif pada anak.

            Dalam pola asuh ini juga tidak membandingkan pencapaian dan keberhasilan orang lain dengan anak sendiri, akan tetapi mendukung sang anak atas potensi dari dirinya. Jika terdapat kesalahan pada anak tidak langsung dengan memberikanya labeling negatif yang membuat anak merasa frustasi akan tetapi mendapatkan pengarahan. Tidak adanya labeling negatif pada anak dari orang tua sendiri membantu anak untuk mendapatkan kepercayaan dirinya sendiri dalam berperilaku.

            Ketiga, pola asuh permisif. Pada pola asuh ini orang tua cenderung mengabaikan anaknya, keadaan seperti  ini  merasa  anak  merasa  diabaikan.  Kebebasan penuh tanpa adanya arahan dan bimbingan dari orang tua, meski tanpa adanya labeling akan tetapi akan membuat anak tetap merasa dirinya kurang berharga dan tidak mendapatkan dukungan dan penghargaan dari orang tua, sehingga membuat konsep diri yang negatif pada diri anak.

        Konsep Diri

            Konsep diri adalah sesuatu yang diyakini oleh anak, yang berasal dari lingkungan sekitar anak, terutama orang tua. Orang tua memiliki peran dalam perkembangan anak dan memiliki kewajiban dalam membantu anak untuk dapat mencapai tugas tahapan perkembangannya. Adanya kesan negatif, seperti labeling akan membuat anak mempunyai konsep diri yang negative, konsep diri yang negatif jelas merusak dari kesehatan mental anak, permasalahan permasalahan dari anak dapat bertambah dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

            Pola asuh demokratis adalah cara yang tepat guna membangun konsep diri yang positif pada anak, dengan memberikan dukungan dan juga pengarahan pada anak, tanpa memberikan labeling negatif pada anak. Kesehatan mental penting bagi semua orang, baik anak-anak maupun orang dewasa. Perlu adanya Support System yang baik bagi anak untuk pertumbuhan dan perkembangan untuk menghasilkan konsep diri yang positif, agar mampu berada ditengah-tengah masyarakat dengan baik. Tanpa adanya kesan negatif dari orang tua, yang membuat anak memiliki rasa kurang percaya diri. Mulai dari sekarang, sebaiknya hindari memberikan label negatif kepada anak.

Daftar Pustaka

Hendri, H. (2019). Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Konsep Diri  Pada  Anak. Jurnal At-Taujih, 2(2), 56-71.

Hidayah, R., & KHUSUMADEWI, A. (2020). STUDI TENTANG RESILIENSI PESERTA DIDIK KORBAN LABELLING. Jurnal BK UNESA, 11(3).

Khoisiyah, N. H. (2014). Gambaran Respon Psikologis Remaja yang Mendapat   Labeling   di   SMK   Perdana   Kota Semarang. FIKkeS, 7(2).

Linda, N. EFEK LABELING ORANGTUA TERHADAP PERTUMBUHAN POLA FIKIR ANAK.

Rahmat, S. T. (2018). Pola asuh yang efektif untuk mendidik anak di era   digital. Jurnal   Pendidikan    dan    Kebudayaan Missio, 10(2), 143-161.

Syamsinar, S. (2019). Analisis Faktor Pengaruh Pemberian Label (Labelling) terhadap Minat Belajar Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA SMA Negeri 3 Pangkep (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tadabbur Alam: Ada Apa dengan Alam?

KAWAL PMII MENGABDI BERSAMA SEKOLAH ADVOKASI

Tadabur Alam : memupuk kualitas menumbuhkan loyalitas