Cerita pendek pergerakan

Bentala Atma Mahardika

(Farah Ghifari) 


Riuh tepuk tangan terdengar menggelegar di segala penjuru aula siang ini. Membersamai langkahku yang berjalan menuju kursi pembicara. Kubalas sapaan lembut sang moderator, dan kusapa hangat ratusan pasang mata yang kini tengah memusatkan pandangannya kepadaku. Memandang mereka membuatku tersipu haru. Kenangan masa lampau itu kembali berputar di benakku.


Flashback on


“Lihatlah, mau jadi apa dia! Umur segini belum nikah. Hati-hati nanti jadi perawan tua.”

“Iya bener. Lagian kuliah itu buat apa si? Perempuan ko kuliah, ujung-ujungnya nanti juga di dapur.”

“Pake sok-sok an nolak lamaran Pak Lurah dih. Iya sih judulnya jadi madu, tapi kan udah terjamin hidup enak.”

“Luarnya berkerudung, jangan-jangan dalemnya simpanan gadun.”


Sudah menjadi makanan sehari-hari mereka mencaci. Semua ini berawal sejak kelulusan SMA ku tempo lalu, Pak Lurah datang melamarku. Namun keluargaku menolak dengan alasan aku ingin melanjutkan pendidikan. Alhasil keluargaku mendapat gunjingan yang tak henti-henti dari warga sekitar.

Memang kesetaraan gender masih sangat tabu disini. Pendidikan dirasa kurang penting bagi perempuan. Mereka memegang prinsip bahwa tugas perempuan itu hanya 3M yakni Macak,Masak,Manak. Pernikahan dini pun menjadi hal yang wajar terjadi. Biasanya mereka akan menikahkan anak gadis mereka saat masih belasan tahun. Ironis memang, hidup di peradaban modern tidak serta merta membuat pemikiran mereka maju. 

Kulangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan lingkungan toxic ini. Tanganku tak cukup mampu untuk menutup semua mulut mereka, yang mampu kulakukan hanyalah menutup telingaku rapat-rapat agar omongan mereka tak lagi bisa kudengar. Namun aku tetaplah perempuan yang berperasaan, hatiku sakit menerima semuanya. Kuberhentikan kaki di ujung persimpangan jalan raya ini. Berharap angkutan umum itu segera datang dan cepat membawaku sampai ke kampus. 

Setiap hari harus kutempuh hampir dua jam perjalanan untuk bisa tiba di kampus. Maklum, aku tinggal di daerah yang jauh dari pusat kota. Kenapa tidak tinggal di sekitar kampus saja? Keluargaku tidak cukup mampu untuk membayar sewa tempat tinggal disana. Membayar uang kuliah tunggal saja mengandalkan beasiswa dari pemerintah. 

Setibanya disana, masjid kampus menjadi tujuanku yang pertama. Ubin masjid yang sejuk membiarkan diriku tenang dalam balutan air wudhu. Sejenak kulupakan masalah itu dengan beberapa rakaat sembahyang. Hingga setelahnya, netraku menangkap sekumpulan orang seperti sedang melakukan kajian. Kutelisik lebih cermat, dan kupasang telinga erat-erat. 

“Siapa bilang perempuan sekolah itu sia-sia? Justru perempuan itu sumber cahaya peradaban. Karena apa? Karena hakikat perempuan adalah menjadi ibu. Bahkan seorang penyair ternama, beliau Hafiz Ibrahim pernah berkata dalam syairnya. 

اَلْاُمُّ مَدْرَسَةُ الْأُوْلى اِذَا اَعْدَدْتَهَا اَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَا الْاَعْرَقِ. 

Yang memiliki arti ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, mendidik mereka sama dengan mempersiapkan generasi terbaik bangsa. Lantas apa yang masih menjadi alasan adanya diskriminasi terhadap hak-hak kesetaraan pada perempuan? Apakah sistem patriarki masih menjadi hal yang diagung-agungkan?”

Pembahasannya cukup menyita perhatianku. Hingga tak sadar, kuberjalan mendekat kearah mereka. Ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku. Ada rasa bangga tersendiri melihat perempuan bisa dengan lantangnya bersuara di depan umum. Pembawaannya yang tenang namun tetap berwibawa, menjadikan apa yang disampaikan cukup mengena. Seketika aku jadi membayangkan, bagaimana ya rasanya berdiri di kaki sendiri tanpa ada yang memaki? 

“Permisi kak, ada yang bisa saya bantu?” Seseorang mengejutkanku.

“Terima kasih sebelumnya, saya hanya tertarik untuk mendengarkan beliau.”

“Mari ikut duduk bersama kami kak,” Seseorang itu bersikap sangat ramah kepadaku.

Ternyata para audien juga tak kalah kerennya dari sang pembicara. Terbukti saat sesi tanya jawab, semua mengeluarkan pertanyaan yang dibungkus dalam opini singkat yang cukup berbobot. Kemana saja aku? Kenapa baru tahu sekarang ada komunitas sehebat ini? Vibrasi positifnya menular hingga membuat keberanianku tertantang juga. Aku ikut mengacungkan tangan, dan saat dipersilakan mulailah diriku menyuarakan kondisi yang sedang ku alami. Awalnya aku takut respon mereka akan buruk. Ternyata aku salah, justru respon yang luar biasa ku dapatkan disini. Tidak ada diskriminasi, tidak ada intimidasi, dan tentu tidak ada yang mencaci. Semua merangkul dalam dekap kasih sayang.

Selepas acara selesai, aku berniat untuk meninggalkan lokasi. Namun langkahku terhenti oleh sapaan lembut seseorang. Saat menengok ternyata sosok pembicara tadi yang memanggil. 

“Hai kak, jujur saya terpukau dengan keberanian kakak bersuara di forum kami tadi. Sebelumnya perkenalkan saya Mazaya, panggil saja Maza. Kebetulan saya ketua KOPRI di Komisariat ini. Saya lihat kakak punya potensi menarik yang akan berkilau jika terus diasah. Mau bergabung bersama kami?”

“Sebelumnya terima kasih atas tawaran dari Kak Maza. Saya Ziyya. KOPRI itu apa kak?”

“Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri. Kopri itu rumah bagi kader perempuan pergerakan untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki, baik dalam hal wacana, politik, sosial ataupun yang lainnya dalam rangka pemberdayaan perempuan. Kami punya harapan, sedikit demi sedikit budaya merendahkan martabat perempuan dapat terkikis. Ini yang kamu cari bukan?” Benar kata Kak Maza, ini yang aku butuhkan. Tanpa berbelit lidah lagi, kuiyakan ajakan beliau. 

Dari sini, aku mulai berkembang. Entah dari segi pemikiran, maupun kemampuan berbicara. Aku seperti menemukan rumah yang selama ini ku cari. Aku tak berjalan sendirian disini, semuanya merangkul, membimbing, dan mendampingi. Berbicara di depan umum pun menjadi makananku sehari-hari. Aku juga diajarkan untuk berkarya, dimana hasilnya dipublikasikan di media yang keuntungannya mampu untuk membiayai kebutuhanku. Oh ternyata begini, rasanya merdeka di kaki sendiri.

Flashback off

“Ketika perempuan sudah tau kualitas dan value dirinya sangat berharga, dia paham betul akan target hidupnya. Kita analogikan dengan air mineral. Orang-orang suka membeli air mineral kemasan plastik yang dijual di warung dengan harga rendah, sedangkan air mineral kemasan kaca dijual di restoran dengan harga yang tinggi orang-orang juga tetap mau membelinya. Padahal isi kualitasnya sama bukan? Dari sini kita mengerti, perbaikilah penampilanmu, dan carilah tempat yang dapat mengerti value dan quality mu," Tepukan yang meriah kembali terdengar seiring acara ini menuju kata usai. 



Biro Kajian dan Gerakan 

Rayon psikologi dan kesehatan 

Komisariat UIN Walisongo Semarang




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tadabbur Alam: Ada Apa dengan Alam?

KAWAL PMII MENGABDI BERSAMA SEKOLAH ADVOKASI

Tadabur Alam : memupuk kualitas menumbuhkan loyalitas