MODUL PKD 2022

 





BIODATA PESERTA


 


Nama Lengkap:

FOTO

3X4

 

…………………………………………………………………………...

Tempat, Tanggal Lahir:

…………………………………………………………………………...

NIM & Jurusan:

…………………………………………………………………………...

Nama Kelompok:

…………………………………………………………………………………………………...

Alamat Asal:

…………………………………………………………………………………………………...

…………………………………………………………………………………………………...

Alamat Sekarang:

…………………………………………………………………………………………………...

…………………………………………………………………………………………………...

Visi Diri:

…………………………………………………………………………………………………...

…………………………………………………………………………………………………...

Kontak & Sosial Media:

Instagram:

Facebook:

Twitter:

Email:

No. WA:

                                                                                                ………………., 2-5 Juni 2022

 

 

 

 

                                                                                                (………………………………)

 

DAFTAR ISI

 

Sambutan Ketua Rayon Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo                                       1

Tata Tertib Pelatihan Kader Dasar                                                                                         2

Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhaj Al-Fikr Wal Harakah                                       3

PMII dan Gerakan Mahasiswa                                                                                               4

Strategi Pengembangan PMII                                                                                                 5

Nahdlatun Nisa                                                                                                                       6

Peta Gerakan Islam                                                                                                                 7

Format Politik dan Ekonomi Indonesia                                                                                  8

Ansos II                                                                                                                                   9

Paradigma PMII                                                                                                                      10

Analisa Wacana                                                                                                                      11

Belajar Sosial (Social Learning)                                                                                            12

Lagu-lagu PMII                                                                                                                      13

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SAMBUTAN KETUA PMII RAYON PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

KOMISARIAT UIN WALISONGO SEMARANG

-Sahabati Lia Afiliani-

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TATA TERTIB

PELATIHAN KADER DASAR (PKD)

RAYON PSIKES 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR WAL HARAKAH

Oleh:

Ahlussunnah Wal Jamaah yang sentimenta singkat menjadi Aswaja berasal dari kata Ahl berarti keluarga, sahabat ataupun pengikut, jika lafadz ahl dikaitkan dengan sebuah aliran atau madzhab maka artinya adalah para pengikut aliran atau pengikut madzhab (ahlul madzhab). Al-Sunnah memiliki arti jalan, lebih jauh dalam ilmu hadits ia juga didefinisikan dengan makna segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik dalam hal ucapan, perbuatan ataupun pengakuan Nabi. Sementara al-Jama’ah adalah sekumpulan orang atau golongan yang mempunyai tujuan. Bila dimaknai secara lengkap, maka Ahlussunnah Wal Jamaah adalah golongan mukminin yang mengikuti sunah Rasulullah SAW dan sunah para sahabatnya.

Sejarah dan Pemaknaan ASWAJA

Sebagaimana halnya Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, Ahlussunnah wal Jama’ah  (Aswaja) juga merupakan aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. Sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu di antaranya adalah ‘Ali bin Abi entiment., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Lebih lengkap lagi Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam Abul Qasim alJunaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.

Ahlussunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir dan metode bergerak mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Kemoderatan Aswaja tercermin pada wacana berfikir yang selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio. Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam Madzhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial. Di NU sendiri metode seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode bermadzhab dan disebut dengan metode Manhajy yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.

 

Aswaja merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masingmasing dalam menjalankan Islam.

PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan  zaman, karena muatan doktrin Aswaja selama ini yang mengikat. Sebagai manhaj,  Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengalannya untuk  menciptakan ruang kreativitas dan menelurkan ihtiar-ihtiar baru untuk menjawab   perkembangan zaman.

. Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr Wal Harakah

Dalam PMII, Aswaja dijadikan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan metode bergerak (manhaj alharakah).  Sebagai upaya ‘kontektualisasi’ dan aktualisasi Aswaja tersebut, rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai perspektif dalam rangka membaca realitas Ketuhanan, realitas manusia dan kemanusiaan serta realitas alam semesta. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu, Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr wal Harakah harus bisa menjadi ’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai Rahmatan lil Alamin, dengan tetap memegang empat prinsip dasar Aswaja , yaitu:

1.     Tawasuth .

Moderat, penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja. Mengutip Maqolah Imam Ali Ibn Abi Thalib R.A.; “kanan dan kiri itu menyesatkan, sedang jalan tengah adalah jalan yang benar”. Moderat tercernin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberikan porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan Hadits)

2.     Tawazun

Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan  sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan). Sikap tawazun (netral) berkaitan denga sikap politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau pemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam pandangan mendukung atau menolak sebuah rezim. Dengan   Aswaja, PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakatai bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang terkandung dalam sikap tawazun ini adalah memperhatikan bagaimana keterpenuhan kaidah dalam perjalanan sistem kehidupan sosial-politik.

3.     Tasamuh

Toleransi, sebuah prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna “lakum dinukum waliyadin” dan “walana a’maluna walakum a’maluku”, sehingga metode berfikir ala aswaja adalah membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan entimental pribadi ataupun bersama.

4.     Ta’adul

Kesetaraan/Keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliah harus diilhami dengan visi keadilan

Ta’adul (keseimbangan) dan tasamuh (toleran) tereleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya. Keseimbangan dan toleransi mengacu cara bergaul PMII sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII memandanganya bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas terologis. Artinya bahwa Tuhan memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh karena itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

Empat prinsip dasar tersebut adalah solusi metodis yang diberikan Aswaja. Dengan metode ini problem-problem  dari realitas masa kini sangat mungkin untuk menemukan solusi. Dan yang terpenting adalah empat prinsip tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, dan justru merupakan prinsip-prinsip dasar universalitas ajaran Islam sebagai rohmatan Lil Alamin.

 

Daftar Pustaka:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) DAN GERAKAN MAHASISWA

I.            Pengantar gerakan mahasiswa dalam PMII

Istilah gerakan merupakan kajian sosiologis yang lebih familiar dengan istilah gerakan sosial. Dalam kamus sosiologi (2010:177) gerakan sosial merupakan suatu bentuk aksi bersama yang bertujuan untuk melakukan reorganisasi sosial, baik yang diorganisir secara rapi maupun informal.[1] Gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau untuk mencapai tujuan bersama selalui tindakan kolektif. Gerakan sosial dianggap  sebagai sumber harapan (source of hope) masyarakat dalam menghadapi perkembangan kehidupan yang semaki kompleks.[2] George Ritzer (2012 :140) menjelaskan bahwa gerakan sosial dapat terjadi karena dua hal yaitu, pandangan individu yang dilegitimasi suatu kelompok atau yang kedua ialah dikarenakan pandangan suatu kelmpok yang memunculkan gagasan bersama dalam hal ini ialah mahasiswa.[3]

Mahasiswa merupakan kelompok pelajar di perguruan tinggi dengan kematangan pembelajaran tingkat lanjut atau andragogi. Mahasiswa sebagai salah satu komponen sosial, tidak pernah lepas dari dialektis dengan struktur yang ada, baik sosial maupun politik (Achmad, 2007:4). Mahasiswa sebagai pelaku sosial harus melakukan respons terhadap perubahan yang terjadi. Mahasiswa memiliki peran yang besar diantaranya sebagai agent of change (agen perubahan), moral force (kekuatan moral), iron stock (generasi penerus) pada suatu bangsa.

Peran pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mahasiswa yakni sebagai kekuata korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan dan sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada sehingga diharapkan masyarakat dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih maju.

Gerakan mahasiswa terbentuk atas dasar kesamaan ide dan gaagsan tentang agama, bangsa, dan negara. Mahasiswa mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan ide dari suatu organisasi yang mereka miliki. Dalam kontes beragama, mahasiswa islam sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia yang secara umum telah memiliki sudut pandang keagamaan lebih dari sekadar lingkup keimanan an-sich dan peribadatan. Mahasiswa islam saat ini memiliki tujuan gerakan yang menggambarkan karakteristik pribadi dan minat mahasiswa, khususnya dalam kegiatan yang dilakukan oleh suatu organisasi yang bernuansa keislaman (Abdulloh Hadziq, 2019 : 59).

Pola-pola institusional dari dinamika sosial mahasiswa islam melahirkan empat organisasi mahasiwa islam yaitu salah satunya ialah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).[4] Gerakan mahasiswa islam merupakan respon dari berbagai macam tantangan perkembangan zaman dan ideologi yang muncul sebagai teori pada setiap permasalahan sosial. Gerakan mahasiswa kemudian membuat sistem institusi yang berujung pada terbentuknya sebuah oragnisasi.[5]

 

II.         Sejarah pergerakan mahasiswa islam di Indonesia

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang biasa disebut dengan PMII merupakan suatu organisasi mahasiswa yang beridiologikan Aswaja Annahdliyah. Sosio-historis lahirnya PMII merupakan dampak dari  kegelisahan Nahdliyyin bahwa kondisi obyektif mengarah pada perbedaan gerakan mahasiswa dengan gerakan pelajar, di sisi lain adanya dorongan agar NU memiliki sebuah organisasi mahasiswa sebagai wadah pengkaderan intelektual.

PMII didirikan pada 17 April 1960. Pembentukan organisasi PMII bukanlah suatu yang mudah, akan tetapi terdapat banyak sekali rintangan. Pada tahun 1950-an mahasiswa NU sangat menggebu-gebu untuk mendirikan organisasi, akan tetapi belum mendapatkan respon baik dari PBNU sebab PBNU menganggap NU belum perlu adanya organisasi mahasiswa. Selain itu, PBNU menganggap bahwa IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) masih mampu untuk  menaungi atau menjadi wadah untuk mahasiswa NU.[6]

Alasan mahasiswa NU menggebu-gebu untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU ialah karena melihat realitas politik pada saat itu yakni banyak organisasi mahasiswa yang didirikan di bawah naungan partai politik ataupun organisasi sosial keagamaan. Semangat membara mereka dibuktikan dengan adanya Organisasi Mahasiswa NU di Jakarta pada tahun 1955 yang dinamakan Ikatan Mahasiswa NU (IMANU), di Bandung dengan nama Persatuan Mahasiswa NU (PMNU), dan di Surakarta ada keluarga Mahasiswa NU (KMNU).

Gagasan mendirikan organisasi mahasiswa NU yaitu ketika IPNU mengadakan konferensi besar di Yogyakarta pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dengan melalui dua kali muktamar yang akhirnya mahasiswa NU mendapatkan izin di konferensi besar tersebut. Setelah koferensi selesai dilakukan maka dibentuklah 13 tim khusus yang mewakili tiap-tiap daerah untuk merumuskan berdirinya organisasi mahasiswa NU. Adapun puncaknya ialah penetapan peraturan dasar PMII pada tanggal 17 April 1960 yang akhirnya pada tanggal itu di   nyatakan sebagai hari lahir atau didirikannya organisasi yang diberi nama PMII. Organisasi PMII bertujuan sebagai penggerak islam Ahlul al-sunnah wa al-jama’ah yang berafiliasi dengan NU di kalangan mahasiswa (PB-PMII, 2005 : 14)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) secara organisatoris bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta berkomitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan indonesia.[7]

 

III.       Urgensi resposisi gerakan Mahasiswa

Indonesia memiliki sejarah yang amat besar terhadap gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual dan moral, bertanggungjawab penuh terhadap usaha perbaikan dan pembenahan masyarakat.[8] Dalam menyikapi  tanggung jawabnya, mahasiswa memiliki tiga tugas, yang pertama yaitu penguasaan ilmu secara sungguh-sungguh, kedua membangun spiritualisme dalam dirinya dan ketiga ialah membangun spiritualisme dalam masyarakatnya (Syahrin Harahap : 2005).

Sebagai pelaku gerakan, mahasiswa dan pemuda mestinya memahami bahwa gerakan tidak hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu dan bekerja khusus untuk urusan politis. Reposisi gerakan perlu bagi sebuah gerakan mahasiswa sehingga pemuda dapat menyesuaikan diri dengan ruh zaman. Pergulatan panjang sejarah dapat dilihat dari rentetan kejadian-kejadian sebelumnya yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

Sejarah mencatat pemuda atau mahasiswa hendaknya tidak hanya mengandalkan belajar dari bangku kuliah saja, akan tetapi juga belajar dari organisasi. Hal ini karena organisasi merupakan salah satu wahana efektif yang dapat dijadikan wadah pengembangan potendi diri, menjalin interaksi dengan orang lain, meningkatkan kepekaan sosial serta membangun kritisisme dan idealisme kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pergeseran zaman ini, perlu disikapi oleh mahasiswa PMII. Gerakan musti segera menambah ruang dalam agenda advokasi, musti menambah ranah kompetensi dan keilmuan sembari tetap menjalankan agenda-agenda ideologis-hagemonik sebagai penjaga tradisi gerakan. Gerakan PMII musti kembali ke ruang intelektualitas, wirausaha, sosial, keagamaan, seni, dan lainnya sesuai kompetensi kader yang telah dibentuk dengan tidak meninggalkan tradisi politis kritis seperti berdiskusi, menulis, dan turun jalan.

Idealisme mahasiswa merupakan kebutuhan pokok bagi keberlangsungan gerakan mahasiswa. Idealnya suatu gerakan tidak terkotak-kotak dalam pilihan posisinya, akan tetapi gerakan mahasiswa harus mampu mensinergikan dan menkonsolidasikan kedua posisi sekaligus.

 

IV.       Dampak dilakukannya Gerakan mahasiswa

Gerakan mahasiswa memiliki nilai yang besar dalam membentuk perubahan bangsa ini. PMII sebagai organisasi pergerakan hendaknya memiliki kepekaan sosial yang tinggi melalui analisisnya. Karena sesungguhnya PMII memiliki arah baru dalam pergerakannya. Sejak awal berdiri, PMII telah berkiprah dan mewarnai gerakan mahasiswa nasional dan juga internasional. PMII menunjukkan gerakan dalam bidang politik dan sosial. Selain itu, PMII melibatkan dirinya dalam forum pemuda sedunia di Moskow.[9]

Sebagai gerakan mahasiswa, PMII pernah berperan dalam pembubaran PKI di masa orde lama melalui propaganda yang dilakukan oleh Mahbub Djunaidi. Tantangan semakin besar kettika berada pada era orde baru. Hal ini dikarenakan, adanya kebijakan dari pemerintah mengarahkan mahasiswa hanya pada jalur akademik dan menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik.

PMII selalu melakukan kritik terhadap pemerintahan. Terutama dalam hal ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Puncaknya ialah PMII terlibat dalam pelengseran rezim orde baru dan pendudukan gedung DPR, sehingga terjadilah reformasi.

Seiring dengan pergantian pemimpin, maka berubah pula gaya kepemimpinannya. Pasca reformasi, rezim yang memimpin mulai membuka dialog dengan masyarakat. Di mana pada saat orde lama dan orde baru gerakan mahasiswa sering untuk turun ke jalan dalam menyampaikan aspirasi. Sedangkan pasca reformasi, mahasiswa diberi ruang untuk berdialog dengan rezim yang memimpin.[10]

Dengan terbukanya rezim memimpin yang menerima masukan ataupun kritikan, ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa. Menjadi kesempatan besar bagi mahasiswa untuk melaksanakan tanggung jawab yang dilabelkan kepada mahasiswa yaitu sebagai agent of change dan social control. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus kritis dan peka terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya, jika sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi kehendak rakyat maka mahasiswa harus mampu menjadi penyambung antara rakyat dan pemerintahan.

V.          Kekurangan dan kelebihan gerakan mahasiswa yang terjadi sampai detik ini

Perjalanan panjang sejarah telah mencatat bahwa gerakan-gerakan Mahasiswa memiliki nilai yang begitu luar biasa untuk perkembangan dan perubahan bangsa. Sebagai kader PMII sudah selayaknya untuk melanjutkan perjuangan gerakan mahasiswa. Kader PMII harus membuktikan bahwa mampu menjadi pembela bangsa dan penegak agama melalui gerakan-gerakan konstruktif, beretika, dan transformatif.[11]

Seiring kemajuan zaman, membuat semakin terbukanya wadah aspirasi bagi semua kalangan, khususnya kader-kader PMII untuk melakukan gerakan transformatif dan tidak bergantung pada aksi-aksi protes. Meskipun agenda tersebut merupakan keniscayaan dan kewajiban dalam perjuangan, akan tetapi perlu adanya inovasi gerakan yang mampu mengikat hati publik, khusunya pada era millenial saat ini.

Realitanya, akhir-akhir ini gerakan mahasiswa justru sering terjebak pada pilihan status dan posisi, apakah pro pemerintahan atau justru sebaliknya sebagai oposisi pemerintah yang menjadi kekuatan kontrol atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Perdebatan dan perbedaan pandangan mengenai status dan posisi sering menuai jalan buntu di dalam memsisikan gerakan mahasiswa yang ideal.

Terlepas dari pro dan kontra, bahwa kritisme dan idealisme seorang mahasiswa merupakan kebutuhan pokok (basic need) bagi keberlangsungan gerakan Mahasiswa. Gerakan-gerakan mahasiswa tidak hanya mengacu pada respon terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap memiliki dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, gerakan-gerakan mahasiswa juga turut serta mensukseskan kebijakan-kebijakan pemerintah yang memiliki dampak positif bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat.

Peran dari gerakan PMII terlihat urgent dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bila orientasi dan sensitivitas kepeduliannya dikedepankan. Hal ini sejalan dengan pilihan kata dalam namanya “Ke-Islaman” dan “Ke-Indonesiaan”. Selain itu, juga mencerminkan cita-cita luhur the founding fathers yang tertuang dalam mars PMII, yaitu “ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan ...”.[12]

Namun, setelah 24 tahun adanya reformasi justru banyak kegundahan rakyat terhadap aktivitas gerakan mahasiswa ini. Tanggungjawab yang embankan kepada mahasiswa sebagai agen of change, social control jauh dari realita. Saat ini kebanyakan mahasiswa lebih suka duduk manis di pusat perbelanjaan, kafe, dan jauh dari kehidupan rakyat kecil. Selainitu, cenderung hanya mengikuti isu-isu yang sedang ramai di media.[13]

Kurangnya kesadaran pribadi dan kajian akan sudut-sudut kampus serta kurang pekanya terhadap realitas sosial menjadikan gerakan mahasiswa hari ini kurang substansial. Tidak hanya itu, diperlukan juga kajian bersama dalam menanggapi isu-isu terkini yang dikritisi dan dikawal bersama agar gerakan mahasiswa kembali menjadi gerakan yang penuh substansi dan tidak hanya eksistensi diri pribadi maupun organisasi.

 

Daftar Pustaka:

Abercrombie, Nicholas.dkk. 2010. Kamus Sosiologi. Terjemahan oleh Desi Novianti. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Chamadi, Muhamad dkk. 2019. Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto. Vol. 03 No. 02 : 242-248

Paputungan, Alkaf. PMII dan Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 32-37

PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan. 2021. MODUL : Pelatihan Kader Dasar. Hal : 14-15

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Suharko. 2006. Gerakan Sosial Baru di Indonesia : Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1-34

Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi Gerakan Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 28

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

STRATEGI PENGEMBANGAN PMII
Oleh: Aliza Zulkham Putri

PMII merupakan organisasi mahasiswa berbasis kaderisasi yang terdapat di seluruh Indonesia. Sebuah strategi dan langkah pengembangan organisasi merupakan keniscayaan sebagai jalan pilihan yang harus terus dijalankan supaya ruh organisasi tetap hidup. Setiap masa memiliki berbagai problem organisasi yang sangat kompleks dan harus dipecahkan secara akurat dan benar. Tak ada pilihan lain, kecuali mendinamiskan organisasi dengan peningkatan yang prestius, yakni kaderisasi yang terus menerus berkembang. Pengembangan itu harus progresif dan maju, tidak normatif dan statis. Hal ini dimaksud agar ke depan arah kaderisasi PMII semakin terstruktur dan mempunyai visi yang jelas untuk mencapai cita-cita organisasi.

Pemaknaan Pengembangan PMII

Pembinaan dan pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun informal yang dilaksanakan secara sadar, terencana. Terarah, terpadu, teratur dan bertanggungjawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan membimbing dan mengembangkan suatu kepribadian yang utuh. Pembinaan dan pengembangan diserahkan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian serta membentuk sikap mental spritual berakhalkul-karimah sesuai dengan bakat dan minat sertakemampuan sebagai bekal selanjutnya, atas prakarsa sendiri menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesamanya maupun lingkungan yang optimal . dari bekal yang dicapai melalui pembinaan dan pengembangan tersebut merupakan jaminan gerak sistem perjuangan PMII dalam mencapai cita-citanya.

Tujuan pembinaan pengembangan dan perjuangan PMII diarahkan pada terbentuknya pribadi dan kondisi organisasi yang dapat mencapai tujuan dan cita-cita PMII. Pribadi dan kondisi organisasi yang dimaksud adalah tercapainya suatu sikap dan perilaku:

1.   Terwujudnya kader-kader penerus perjuangan PMII yang bertaqwa kepada Allah SWT, berpegang teguh pada ajaran agamaIslam Aswaja serta Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan hidup bangsa dan negara.

2.   Terwujudnya penghayatan dan pengalaman nilai-nilai ajaran agama islam Aswaja dan moral bangsa untuk memperkokoh alas pijak dalam rangka menempuh kehidupan bermasyarakat, berbengsa dan bernegara yang berkembang cepat sebagai akibat lajunya perkembangan IPTEK serta arus globalisasi dan informasi.

3.   Tumbuh dan berkembangnya kreatifitas, dinamika dan pola berfikir yang mencerminkan budaya. pergerakan, selektif, akomodatif, integratif dan konstruktif dalam menghadapi dan menyelesaikan setiappermasalaahn baik secara individu, organiasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4.   Tumbuh dan berkembangnya sikap orientasi ke masa depan, orientasi fungsi dan produktifitas serta mengutamakan prestasi.

5.   Terciptanya suatu organisasi sebagai kehidupan organisasi sebagai suatu sistem yang sehat dan dinamis karena didukung oleh nilai, aparat, sarana dan fasilitas serta teknik pengolahan yang memadai sesuai dengan tuntutan PMII maupun tyuntutan lingkyunagn yang senantiasa berkembang.

6.   Terciptanya suatu kehidupan organisasi yang dinamis, kritis dan cerdas dalam merebut tanggung jawab dan peran sosial sebagai bentuk partisipasi dan pengalaman nyata pergerakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga PMII dapat benar-benar menjadi lembaga altenatif baik pada dimensi pemikiran maupun kualitas kepemimpinan dan sumber daya manusia.

7.   Tumbuhnya suatu situasi dan kondisi yang mencerminkan kekokohan PMII yang betpijak pada nilai-nilai dan tradisi yang dimilikinya serta mampu mencari alternatif yang paling mungkin dalam usaha untuk tidak terseret pada polarisasi dan opini yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang dapat merugikan perjuangan mewujudkan cita-cita PMII.

8.   Tersedianya kader-kader yang memadai baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai konsekuensi logis dari arah PMII s3ebagai organisasi pembinaan,pengembangan dan perjuangan yang dikhidmatkan kepada agama, masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Strategi-Strategi Pengembangan PMII

Strategi yang dimaksud disini adalah adanya suatu kondisi serta langkah-langkah yang mendasar, konsistensi dan aplikatif yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita PMII. Dari memahami strategi itulah maka untuk mencapai tujuan pembinaan pengembangan dan perjuangan yang telah ditetapkan diperlukan strategi sebagai berikut:

1.   Iklim yang mampu menciptakan suasana yang sehat, dinamis dan kompetitif yang selalu dibimbing dengan bingkai taqwa, inteleqtualitas dan profesionalitas sehingga mampu meningkatkan kualitas pemikiran dan prestasi, terbangunnya suasana kekeluargaan dalam menjalankan tugas suci keorganisasian, kemasyarakatan dan kebangsaan.

2.   Kepemimpinan harus difahami sebagai amanat Allah yang menempatkan setiap insan PMII sebagai Da‘I untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga kepemimpinannya selalu tercermin sikap bertanggung jawab melayani, barani, jujur, adil dan ikhlas serta di dalam menjalankan kepemimpinannya selalu penuh dengan kedalaman rasa cinta, arif bijaksana, terbuka dan demokratis.

3.   Untuk mewujudkan suasana taqwa, intelektualitas dan profesionalitas serta kepemimpinan sebagai amanat Allah SWT diperlukan suatu gerakan dan mekanisme organisasi yang bertumpu pada kekuatan dzikir dan fikir dalam setiap tata perilaku baik secara individu maupun organisatoris.

4.   Struktur dan aparat organisasi yang tertata dengan baik sehingga dapat mewujudkan sistem dan mekanisme organisasi yang efektif dan efisien, mampu mewadai dinamika intern organisasi serta mampu merespon dinamika perubahan eksternal.

5.   Produk dan peraturan-peraturan organisasi yang konsisten dan tegas menjadi panduan konsitutif, sehingga tercipta aturan mekanisme organisasi yang teratur dan mempunyai kepastian hukum dari tingkat pengurus besar samapai pengurus rayon.

6.   Pola komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi individual dan kelembagaan, yaitu terciptanya komunikasi timbal balik dan berdaulat serta mampu membedahkan antara hubungan individual dan hubungan kelembagaan ; baik kedalam maupun keluar.

7.   Pola kaderisasi yang dikembangkan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman kini dan mendatang, sehingga fungsi kekhalifahan yang terjewantahkan dalam prilaku keseharian, baik selaku kader bangsa maupun agama.

Modal Dasar Sebagai Landasan Strategi Pengembangan PMII

1.   PMII merupakan organisasi kemasyarakatan pemuda yang eksistensinya dijaman oleh UUD 1945 dan karena itu menjadi aset bangsa dalam melakukan proses pembinaan, dan pengembangan generasi muda khususnya mahasiswa.

2.   NDP sebagai nilai prinsip ajaran Islam Aswaja merupakan sumber motivasi dan inspirasi pergerakan, sekaligus sebagai pendorong, penggerak dan landasan berpijak dalam kehidupan pribadi insan PMII.

3.   PMII sebagai organisasi mahasiswa islam mempunyai keterikatan dan tanggung jawab dengan seluruh masyarakat bangsa indonesia yang menganut sistem berfikir keagamaan, dan kemasyarakatan yang sama yaitu ASWAJA dan sistem kebangsaan.

4.   Peran kesejarahan PMII telah menunjukkan kepelaporan dan patriotismenya dalam menegakkan dan membela agama. Selain itu, PMII sebagai elemen civil sopciaty telah terbukti perannya dalam melakukan pendampingan masyarakat, dalam usaha melakukan proses demokratisasi dikalangan masyarakat dan sebagainya. Peran PMII dalam setiap perubahan, terutama dalam menegakkan reformasi secara total, dalam segala lapis kehidupan kemasyarakatan.

5.   Jumlah dan persebaran anggota PMII yang berada di seluruh wilayah Indonesia sebagai sumber daya yang potensial. Dengan kemapanan struktur organisasi dari tingkat pusat samapi daerah, maka sosilisasi nilai dan gagasan serta kebijakan dapat berjalan secara efektif dan efisien.

6.   Ketaqwaan kepada Allah SWT merupakan acuan dasar dan sekaligus menjadi Inspirasi bagi peningkatan Kualitas Diri menuju kesempurnaan Hidup manusia sebagai hamba Allah SWT.

7.   Jumlah dan penyebaran profesi alumni PMII merupakan bagian potensi bagi pengembangan organisasi dan masyarakat.

8.   Tipologi kader yang beragam warga PMII merupakan modal utama dalam menyusun renstra Gerakan PMII. Setidaknya, ada 5 tipologi dan kecenderungan. Pertama, intelektual baik akademik (scholar) maupun organik (analisis/praktis). Kedua, gerakan mahasiswa (Student Movement), baik yang menggunakan baju organisasi maupun organ gerakan lainnya. Ketga, advokasi sosial baik yang intens dengan pendampingan sosial kemasyarakat maupun advokasi wacana. Keempat, politisi baik keterlibatan dalam panggungpun kontelasi politik maupun persinggungan dengan dunia poltik. Kelima, kecenderungan profesional dan enterpreneur. Hanya saja persebaran tipologi kader ini tidak merata, sehingga cenderung ada disparitas pranata satu cabang dengan lainnya.

Faktor Dominan Organisasi PMII

Dalam menggerakkan dan memanfaatkan modal dasar untuk mencapai tujuan PMII dengan landasan serta azas-azas di atas, perlu diperhatikan faktor-faktor dominan berikut:

1.   Ideologi merupakan aspek dominan dari organisasi PMII yang berisi padangan hidup, cita-cita serta sistem yang memberikan arah terhadap tingkah laku dari setiap anggota PMII. PMII beraqidah Ahlussunah Waljamaah dan atas dasar aqidah itulah PMII dengan penuh kesadaran berideolog pancasila dalam kehidupan berbagsa dan bernegara di Indonesia. Aqidah dan Ideologi tersebut merupakan faktor pendorong dan penggerak dalam proses pembinaan, pembinaan, pengembangan dan perjuangan organisasi sekaligus sebagai dasar berbijak dalam menghadapi proses perubahan dan gonjangan-gonjangan ditengah-tengah masyarakat. Padangan terhadap wacana Islam yang inklusif dan paradigma Kritis Transformatif dalam membangun masyarakat, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam diri PMII. Pola pandang keagamaan ini, merupakan faktor dominan yang dimiliki PMIIdalam rangka pengembangan mendatang.

2.   Komunitas Islam Ahlussunnah Waljamaah sebagai sekelompok masyarakat terbesar Indonesia merupakan wahana dan tempat pengabdian yang jelas bagi PMII.

3.   Jumlah anggota PMII yang setiap tahunnya bertambah dengan kuantitas yang cukup besar yang merupakan faktor strategis yang menentukan usaha pembinaan generasi muda dalam proses kelahiran kader bansa, sekaligus menjadi pelanjut kepemimpinan organisasi.

4.   Jumlah alumni yang setiap tahunnya bertambah, sejak berdirinya PMII tahun 1960 tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan bergerak dalam berbagai profesi dan disiplin ilmu yang mengabdikan pada agama, masyarakat dan negara.

5.   Sumber dana dan fasilitas yang tersebar di berbagai komunitas dan kelompok terutama umat Islam merupakan aset yang perlu dikoordinir, dikembangkan sebagai sumber dana perjuangan. Oleh karena itu PMII harus mampu menjalin hubungan organisasi yang saling bermanfaat dan memberikan nilai lebih antara keduanya yang pada akhirnya PMII mempunyai sumber dana secara mandiri.

Strategi Pengembangan PMII di Kampus

Dalam memahami arah strategi pengembangan PMII, maka harus tetap mengacu pada perkembangan dunia kemahasiswaan dan Perguruan Tinggi. Oleh karena basis masa PMII berada di dalam lingkungan kampus, maka PMII dan kampus tidak boleh berseberangan, dalam arti ketentuan-kentuan yang terdapat dalam Perguruan Tinggi harus bisa dibaca dan diimplementasikan ke dalam pilihan pengembangan PMII. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1.   Setiap warga PMII harus merebut Indeks Prestasi (IP) tinggi

Mahasiswa dengan IP tinggi memang tidak menjamin lebih baik dibanding mahasiswa yang memiliki IP rendah. Tetapi IP bisa menjadi cerminan dari sebuah ketekunan, kegigihan dan prestasi mahasiswa pada studi perkuliahannya. IP diperoleh berdasarkan keaktifan selama kuliah berlangsung, kerjasama, prestasi akademik serta hubungan yang baik dengan dosen yang merupakan bentuk pengakuan dosen atas keseriusan mahasiswa dalam proses belajar. Pada intinya, IP tinggi merupakan representasi kesuksesan mahasiwa di kampus, meskipun di luar belum tentu.

2.   Setiap warga PMII harus berprestasi dalam potensi individu masing-masing

Skil dan potensi personal yang dimiliki harus dikembangkan sehingga akan menjadi modal dasar mahasiswa untuk membangun relasi prestasi dengan mahasiswa yang lain. PMII harus membangun kegiatan yang sesuai dengan potensi mahasiswa, sehingga PMII dapat menjadi wadah dalam mengembangkan potensi tersebut. Jika potensi personal bisa dikembangkan, niscaya warga PMII akan menjadi mahasiswa panutan untuk mahasiswa lain di berbagai sektor.

3.   Setiap warga PMII harus merebut simpati mahasiswa dengan menampilkan perangai yang baik dan akhlak karimah

Perilaku sangat penting di dalam proses pembelajaran di kampus. Banyak kalangan mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual bagus tetapi memiliki sikap yang tidak baik. Sejatinya warga PMII memiliki perilaku yang mematuhi norma dan etika dalam kampus sebagai upaya untuk menjaga marwah organisasi.

4.   Setiap warga PMII harus merebut jabatan-jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan

Langkah ini merupakan bagian dari pengembangan kader PMII guna mencetak dan memberi sumbangsih terhadap kebijakan sistem kampus. Posisi ini merupakan tempat yang vital dan strategis untuk menjalankan roda kaderisasi PMII. Di samping itu, posisi ini merupakan langkah konkrit PMII untuk memberi andil terhadap kepemimpinan

mahasiswa.

5.   Setiap warga PMII mutlak harus bisa menulis

Menulis merupakan kebutuhan pokok mahasiswa serta jalan paling ampuh untuk menyampaikan gagasan. Di samping itu, dengan membiasakan menulis dapat mempertajam nalar kritis mahasiswa dan analisis terhadap penelitian yang akan ditempuh seperti skripsi, tesis, jurnal maupun disertasi.

 

Daftar Pustaka:

Hifni, Ahmad. (2016). Menjadi Kader PMII. Tangerang: Moderate Muslim Society (MMS).

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2017). Materi Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Cilacap: Pergerakan Mahassiswa Islam Indonesia Jaringan Inti Ideologis.

Zainudin, M, Dkk. (2015). Nalar Pergerakan Antologi Pemikiran PMII. Yogyakarta: Naila Pustaka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

NAHDLATUN NISA

Oleh:

Nahdlatunnisa secara bahasa berasal dari kata Nahdlah yang berarti kebangkitan dan Nisa yang berarti perempuan. Sedangkan secara istilah, Nahdlatun Nisa adalah kebangkitan perempuan dari masa ke masa yang mampu membongkar tradisi dan kebijakan masyarakat yang mengandung nilai  diskriminasi, penindasan dan kekerasan serta mampu memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik sesuai dengan “al-muhafadhotu ‹ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”.

Kesetaraan gender Dalam Al-Qur’an

Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah yang merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Dalam Kaitannya dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan gender dalam Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT. lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-Qur’an yang menegaskan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Ayat-ayat tentang prinsip kesetaraan gender itu bisa dirangkum ke dalam beberapa variable.yaitu :

a.        Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan

Pada dan surat Hujurat ayat 13 yang berbunyi,

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya : “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS. al-Hujurat [49]: 13)

Dan juga terdapat pada Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.

b.       Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan

Pada Surat Ali-Imran ayat 195,

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ

Artinya : “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.

Dan juga dalam surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat At Taubah ayat 71-72, surat Alahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT. juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Allah SWT. memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT. adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

Selain ayat-ayat yang menekankan keadilan gender tersebut, praktek kehidupan sosial pada masa nabi diakui telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki. Struktur patriarki pada masa jahiliyah dibongkar Islam, dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang pada masa sebelumnya tidak diberikan. pada masa jahiliyah, perempuan tidak diberi hak untuk mewarisi misalnya, Islam memberikannya. Jika pada masa perempuan masyarakat arab membenci kelahiran seorang anak perempuan, Islam justru membenci tradisi masyarakat Arab tersebut dan memberikan janji pahala bagi yang memperlakukan anak perempuan sebagaimana memperlakukan anak laki-laki.

Dengan adanya Agama Islam, perempuan kemudian mulai mendapatkan perlakuan yang tidak lagi dijadikan sebagai objek, perempuan diberikan kesempatan dan kedudukan sama halnya dengan laki-laki, Allah SWT telah berfirman dalam QS. AnNisa ayat 19 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Menilik dari penafsiran salah seorang pengarang kitab tafsir yakni Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini “perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri, perempuan) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila dia berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama.” Rasulullah SAW sendiri telah memberikan tauladan untuk selalu memuliakan perempuan, apalagi kepada istrinya. Dalam hadistnya :

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا. رواه الترميذى

Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.“(HR. Tirmidzi). Rasulullah telah memberikan penegasan bahwa sempurnanya akhlak kepada sesama merupakan manifestasi dari iman yang sempurna. 

Merujuk dari pendapat K.H. Faqihuddin menjelaskan, melalui hadis ini Rasulullah mengingatkan bahwa berbuat baik kepada perempuan menjadi syarat keimanan, dan pengakuan tegas Rasulullah mengenai posisi dan martabat kemanusiaan perempuan. Sikap dan perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah menjadi sebuah penekanan kepada masyarakat jahiliyah yang ketika itu yang belum mengakui adanya kaum perempuan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa Agama Islam memberikan dampak baik yang begitu banyak terhadap perempuan. Allah SWT dalam firman-Nya juga telah mengakui akan adanya kedudukan manusia (baik laki-laki maupun perempuan), bahwa keduanya sama-sama diciptakan dari satu ‘nafs’, dan tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lain. 

Namun, pada kurun pertama kebangkitan peradaban Islam, sepeninggal khulafa’ al-Rasyidin, sejarah mencatat terjadi perubahan fundamental dalam struktur kekuasaan kekhalifahan Islam, dari sistem pemerintahan yang demokratis menjadi sistem monarki yang absolute. Benar pada masa ini Islam mengalami kejayaan. Namun bersamaan dengan degrades politik ini, terjadi pula degradasi kedudukan perempuan. Begitu sistem monarki diterapkan, raja-raja dari kerajaan-kerajaan Islam yang telah menyebar ke berbagai belahan dunia mengambil alih sistem pergundikan non Islami dari kerajaan-kerajaan di wilayah Islam. Parahnya, tindakan ini dilegitimasi dengan membuat hadits-hadits palsu seiring dengan banyaknya pemalsuan hadits, baik karena kepentingan politis,ideologis ataua yang lain.  Nasib perempuan tergantung diujung struktur kepribadian suaminya, sebagaimana nasib rakyat bergantung diujung kepribadian sang raja. Kekerasan raja dan sikap mereka yang otoriter. Parahnya, struktur masyarakat yang patriarkihis ini semakin diperkuat dengan semakin membludaknya karya-karya intelektual yang memang terjadi seiring dengan masa-masa keemasan Islam. 

Salah satu faham manusia mengenai nilai-nilai ajaran agama sebagai penyebab ketidakadilan gender, sebagaimana terungkap dalam relasi sejarah. Berupa adanya asumsi bahwa perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan dan negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Pemahaman yang tidak bersifat konstruktif terhadap ajaran agama, khususnya agama Islam dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan manusia maklum, bahwa permasalahan ketidakadilan gender disebabkan adanya legitimasi ajaran agama terhadap sikap dan perilaku diskriminatif diantara mereka dalam relasi sosial. Sebagaimana dimaklumi bahwa kehadiran Islam bagi umat manusia dimaksudkan sebagai tuntunan yang mengatur hak dan kewajiban manusia agar mereka dapat saling berlaku adil. Bahkan secara khusus al-Qur’an berbicara mengenai hak perempuan, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya menurut cara yang ma’ruf (baik) (QS.Al-Baqarah : 228)

Feminisme Islam

Feminisme dalam Islam tentu saja tidak menyetujui setiap konsep atau pandangan feminis yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dengan laki-laki, yang terabaikan di kalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub ordinat laki-laki.

Dengan demikian, feminisme Islam melangkah dengan menengahi kelompok tradisional-konservatif di satu pihak dan pro feminisme modern dipihak lain. Feminisme Islam inilah yang oleh Mahzar disebut dengan Pasca Feminisme Islam Integratif, yang menempatkan perempuan sebagai kawan laki-laki untuk membebaskan manusia dari tarikan naluri kehewanan dan tarikan keserbamesinan di masa depan. Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang disebut Riffat Hassan “Islam pasca-patriarkhi”, yang tidak lain adalah dalam bahasa Riffat sendiri “Islam Qur’ani” yang sangat memperhatikan pembebasan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan tradisionalisme, otoritarianisme (agama, politik, ekonomi atau yang lainnya), tribalisme, rasisme, seksisme, perbudakan atau yang lain-lain yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi Qur’ani, tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan klasik: kepada Allah lah mereka kembali. Tujuan Islam Qur’ani adalah untuk menegakkan perdamaian yang merupakan makna dasar Islam. Tanpa penghapusan ketidaksetaraan, ketidaksejajaran dan ketidakadilan, yang meliputi kehidupan manusia, pribadi maupun kolektif, tidak mungkin untuk berbicara tentang perdamaian dalam pengertian yang diingankan al-Qur’an.

 Gerakan feminisme Islam (harakah tahrir al-mar’ah) dalam sejarah Islam sendiri, khususnya di Indonesia, berlangsung dalam beberapa cara. Pertama, melalui pemberdayaan terhadap kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembentukan pusat studi wanita di perguruan-perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan dan training-training gender, melalui seminar-seminar maupun konsultasi-konsultasi. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki konsen dengan persoalan-persoalan keperempuanan, Selain itu, lembaga-lembaga dalam konsen ini juga dikenal dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Negara yang dinilai merugikan keberadaan perempuan.

Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang melalui fiqh pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya, Hak-Hak Reproduksi Perempuan, yang ditulis dengan gaya dialog, melalui sastra, baik novel cerpen sebagaimana tampak dari karya-karya Nawal el-Sadawi seperti Perempuan di Titik Nol dan sebagainya.

Ketiga, melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat Islam, yang berhasil menempatkan perempuan yang benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang, baik politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain. Karya-karya Fatima Mernissi yang berjudul Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, karya Ruth Roded yang berjudul Kembang Peradaban, karya Hibbah Rauf Izzat yang berjudul Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, merupakan sebagian contoh dari gerakan feminisme jenis ini.

Keempat, melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutic dan melibatkan pisau analisis yang ada dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Ini dilakukan sebagai alternatif terhadap penafsiran klasik yang cenderung mempertahankan makna literal teks-teks yang tampak patriarkhis tersebut. Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer sangat intens dalam melakukan gerakan feminisme jenis ini.

 

Daftar Pustaka:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PETA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA: 

ERA KOLONIAL HINGGA REFORMASI

Oleh: Rusda Khoiruz 

 

Pada dasarnya, Islam di Indonesia memiliki corak dan karakter yang sangat beragam. Baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Hal ini tercermin dengan adanya  banyak organisasi keislaman yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi. Sementara itu, salah satu di antara sekian faktor yang menjadikan diskursus pemikiran dan gerakan keislaman menjadi sangat beragam ialah persinggungan antara agama dengan negara di suatu wilayah tertentu khususnya di Indonesia. Sebab bagaimanapun juga,  konteks sosial dan politik sangat menetukan eksistensi agama itu sendiri. Lebih dari  itu, kondisi sosial, politik, dan budaya yang berbeda-beda antar satu wilayah satu  dengan yang lain ini juga turut berpengaruh menentukan peta dan gerakan Islam di  Indonesia.  

Setali tiga uang dengan hal tersebut, maka tidak mengherankan jika di dalam  tubuh umat Islam terdapat banyak sekali ragam dan cara pandang sendiri terkait  pemahaman keagamaan yang mereka yakini, entah itu cara pandang pribadi atau  secara organisasi yang pada muaranya melahirkan gerakan keislaman yang berbeda-beda yang terpencar di seluruh penjuru tanah air. Karena kemajemukan yang ada ini  pula, orientasi dan tujuan yang diperjuangkan antar gerakan keislaman pun berbeda beda.  

Perkembangan wacana dan gerakan Islam di Indonesia setidaknya dapat  dilacak merentang mulai era kolonial sampai reformasi. Pada titik inilah sebagai  generasi masa kini, sudah sepatutnya kita dituntut kritis, bukan malah apatis terhadap  perkembangan wacana dan gerakan keislaman yang semakin beragam coraknya ini. 

Era Kolonial, Bermunculannya Gerakan Keislaman  

Pada masa penjajahan, Islam begitu dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah  kolonial. Tiap gerak-gerik gerakan keislaman selalu dicurigai dan diawasi. Sebagian  kaum muslim saat itu yang telah sadar berpandangan bahwa mengusir penjajahan  dari Hindia adalah kewajiban dan jihad fi sabilillah. Karena pada dasarnya, ajaran  dan nilai-nilai yang dibawa agama Islam mengandung semangat perlawanan, yakni  perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, penindasan, dan menuntut terciptanya  keadilan dan kesetaraan. (Badri Yatim: 2003: 252).  

Salah satu hal dari umat Islam yang dianggap berbahaya dan berpotensi  menjadi ancaman bagi pemerintahan kolonial ialah ibadah haji ke tanah suci. Para  haji dan ulama, khususnya yang telah lama menetap di sana, yang pulang dari Makkah  inilah para pembawa embrio api perlawanan. Bahkan perang Jawa (1825-1830)  serta pemberontakan-pemberontakan kaum tani sepanjang paruh kedua abad 19  dipelopori oleh para ulama dan haji. Ini menjadikan pemerintah kolonial waspada  terhadap urusan ibadah haji. 

Oleh karena itu pemerintah kolonial sempat mengeluarkan banyak peraturan  untuk mempersulit umat Islam melaksanakan ibadah haji. Atas dasar kekhawatiran,  pemerintah kolonial pada tahun 1825 kemudian mengeluarkan ordonasi haji yang  berisi pembatasan dan pengetatan jumlah jama’ah haji yang hendak berangkat. Salah  satu cara untuk merealisasikannya yaitu dengan menaikkan biaya haji (Aulia Ahsan,  Ivan: 2017). Raffles dalam bukunya The History of Java juga mengatakan “karena  mereka (para haji) begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut  rakyat agar berontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa penguasa pribumi”. 

Tak hanya berhenti di situ, haji-haji di desa dan pemimpin pergerakan yang  bergelar haji seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbah mendapatkan pengawasan  ganda. Apalagi pemerintah kolonial mulai khawatir kalau haji-haji ini mendapat  pengaruh soal nasionalisme dan Pan-Islamisme—yang tengah marak tersebar di  Mesir kala itu—yang diusung Rasyid Rida dan kawan-kawan ketika berada di Makkah. 

Lahirnya Sarekat Islam 

Kendati belum ada wadah untuk menghimpun gerakan perlawanan secara  terorganisir, perlawanan demi perlawanan terus bergulir yang di antaranya dimotori  oleh semangat pembebasan ajaran Islam. Baru pada tanggal 16 Oktober 1905, Haji  Samanhudi bersama saudara dan sahabatnya mendirikan organisasi yang dinamakan  Sarekat Dagang Islam. Kelak organisasi ini menjadi cikal bakal lahirnya Sarekat  Islam (Shiraishi, Takashi. 2005: 55). Awalnya, organisasi bentukan Haji Samanhudi  ini merupakan perkumpulan pedagang batik yang salah satu orientasinya bersaing  dengan pedagang asing terutama Cina yang ingin menguasai ekonomi pribumi serta  menggalang solidaritas antar pedagang Islam pribumi. 

Berkat keadaan politik waktu itu, atas saran H.O.S Tjokroaminoto, SDI akhirnya  berganti nama menjadi Sarekat Islam pada 12 September 1912. Bermula dari sini pula  SDI mulai bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang kemudian dikenal  sebagai Sarekat Islam secara resmi. Perubahan nama tersebut juga menghendaki agar  keanggotaan organisasi tidak hanya terbatas pada golongan pedagang saja, namun  juga diperuntukkan umat Islam yang ada di Indonesia secara luas.  

Selain itu, H.O.S Tjokroaminoto turut memberikan landasan yuridiksi Sarekat  Islam yang lebih luas lagi dari semula pada masa SDI hanya mengurusi persoalan  sosial dan ekonomi, ke arah politik. Dari sini lantas SI menyumbangkan semangat  perjuangan Islam kepada penduduk pribumi untuk mengobarkan api perlawanan  terhadap kolonialisme dan kesewenang-wenangan pada masa itu. Dengan demikian,  pergerakan Sarekat Islam ini lebih mementingkan rakyat banyak daripada golongan  tertentu (Yasmis. 2009: 22). 

Tidak mengherankan jika kehadiran Sarekat Islam ini ditunggu-tunggu oleh  rakyat, karena situasi waktu itu pun menuntut adanya suatu organisasi massa yang  tidak elitis guna menyalurkan aspirasi rakyat Hindia. Saat kongres pertama pada  bulan Januari 1913 yang digelar di Surabaya, ditegaskan bahwa Sarekat Islam bukan partai politik. Tak jauh berbeda dengan kongres di Solo, diputuskan pula bahwa  Sarekat Islam terbuka buat rakyat Indonesia. Untuk menjaga independensi agar  Sarekat Islam tetap menjadi organisasi rakyat, dilakukan pembatasan pegawai negeri  sebagai anggota. Meski begitu, sesungguhnya pergerakan organisasi ini jelas terlihat  memperjuangkan hak-hak rakyat di bidang politik (Yasmis. 2009: 26). 

Akan tetapi, pada tahun 1920-an, tubuh Sarekat Islam dilanda polemik yang  dipicu oleh adanya Volksraad, sejenis Dewan Rakyat bentukan pemerintah kolonial  tahun 1918. Kubu Sarekat Islam yang menempuh jalan kooperatif, memasukkan  anggotanya di Volksraad, antara lain H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Moeis.  Langkah yang ditempuh pimpinan Central Sarekat Islam (CSI) ini mengakibatkan  kekecewaan dan kecaman di kubu sebagian kader Sarekat Islam yang menghendaki  berjuang di jalur non-kooperatif, dan ingin bergerak secara revolusioner. Dipimpin  oleh Semaun, pimpinan SI cabang Semarang, protes SI di berbagai daerah pun  akhirnya bermunculan. Sebab kubu ini berkeyakinan bahwa bahwa fungsi Volksraad  hanya untuk mengelabuhi rakyat serta tokoh-tokoh pergerakan (Purnama, Agung  2020). Akibat perseteruan tersebut, SI terpecah menjadi dua kubu, SI putih kubu  H.O.S Tjokroaminoto dan SI merah kubu Semaun. Pada tahun 1921, SI putih, berubah  menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), lantas pada 1927 berubah lagi menjadi Partai  Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tahun-tahun berikutnya, di dalam tubuh SI  putih terjadi banyak perpecahan. 

Sementara SI merah, pimpinan-pimpinannya bergabung dengan Indische  Social Demokratische Vereniging (ISDV), dan melebur ke dalam Partai Komunis  Indoensia pada Mei 1920. Pengaruh SI merah terhadap organisasi buruh kereta api dan  trem sangatlah besar. Lantaran melakukan pemberontakan di Jawa pada November  1926 dan di Sumatera pada Januari 1927, PKI akhirnya dibubarkan pemerintah  kolonial dan banyak tokoh-tokohnya dibuang ke Boven Digul (Syukur, Abdul 2008: 1).  

Lahirnya Nahdlatul Ulama 

Kemudian pada 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di kampung Kertopaten  Surabaya, diprakarsasi oleh sejumlah ulama nusantara, lahirlah Nahdlatul Ulama (NU).  Perlu diketahui, memahami NU dari kacamata formal sebagai organisasi keagamaan  saja belumlah cukup. Karena jauh sebelum NU lahir menjadi sebuah jam’iyyah, ia  terlebih dahulu ada dan berwujud sebagai jama’ah (komunitas), yang terikat kuat  dengan tradisi keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri (Fahrudin Fuad.  2009: 50).  

Sebelumnya, para kiai pesantren, digawangi Kiai Wahab Chasbullah, telah  mendirikan organisasi pergerakan yang bernama Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan  Tanah Air pada 1916 dan Nahdlatut Tujar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Dan  pada 1914, Kiai Wahab Chasbullah juga telah mendirikan kelompok diskusi yang  beliau beri nama Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Ada pula yang  menyebutnya sebagai Nahdlatul Fikr atau Kebangkitan Pemikiran. Secara mudah, NU merupakan lanjutan dari organisasi-organisasi pergerakan ini namun dengan segmen  dan cakupan yang lebih luas. 

Embrio lahirnya NU terutama didasari atas keresahan para ulama pesantren  tatkala Dinasti Saud di Arab Saudi yang beraliran Wahabi hendak membongkar makam  Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah umat Islam dari seluruh penjuru  dunia yang dianggap bid’ah. Lain daripada itu, Raja Saud juga berencana menerapkan  kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab dalam teritori kekuasaannya. 

Bagi ulama pesantren, sentiment anti-mazhab yang notabene berupaya  memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam bakal menjadi  ancaman bagi Islam itu sendiri. Hal ini membuat K.H Abdul Wahab Chasbullah gelisah,  yang lantas beliau melakukan langkah strategis yaitu membentuk panitia tersendiri  yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926 karena lobi-lobi beliau  pada Kongres Al-Islam keempat Centraal Comite Chilafat (CCC) tahun 1925 dengan  para tokohnya seperti K.H Mas Mansur, H.O.S Tjokroaminoto dan lain-lain yang salah  satu usulannya yaitu “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah  harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab” menemui  jalan buntu. 

Sebelumnya, pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirimkan ke Muktamar  Dunia Islam ini telah mendapat restu K.H Hasyim Asy’ari. Maka, Komite Hijaz pada  31 Januari 1926 mengundang ulama terkemuka untuk melakukan musyawarah  mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Makkah. Dipimpin K.H Hasyim  Asy’ari, musyawarah memunculkan satu nama yaitu K.H Raden Asnawi Kudus sebagai  delegasi Komite Hijaz. Namun, setelah K.H.R Asnawi terpilih timbul pertanyaan institusi apa yang  berhak mengirim beliau? Lalu lahirlah jam’iyyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul  K.H Mas Alwi bin Abdul Aziz) (Ahmad, Fathoni 2020)  

Lebih jauh dari itu, secara umum dalam buku “Nahdlatul Ulama dari Politik  Kekuasaan Sampai Pemikiran Keagamaan”, dijelaskan ada tiga aspek yang menjadi  landasan berdirinya organisasi dengan massa terbesar di Indonesia ini. Pertama,  adanya motivasi keagamaan. Maksudnya, untuk menghindarkan agama Islam dari  politik kristenisasi yang sedang gencar-gencarnya dipropagandakan waktu itu. Kedua,  yaitu untuk membangun semangat nasionalisme demi mencapai kemerdekaan.  Dari sini terlihat bahwa komitmen NU bukan sebatas persoalan keagamaan saja,  melainkan juga demi mempertahankan komitmen kebangsaan. Dan alasan ketiga ialah  mempertahankan ajaran ahlussunnah wal jama’ah dari serangan paham sebagian  kaum modernis Islam yang mengusung jargon purifikasi ajaran Islam yang sejatinya  tidak cocok dengan konteks keberagaman dan kebudayaan di nusantara sekaligus  tidak relevan dengan perkembangan zaman (Ainul Yaqin, Hasan 2019: 6-7).  

Sebagai sebuah organisasi massa Islam tradisional, NU selalu berpegang  teguh pada prinsip Almuhafadhotu ‘ala Qodim al-Shalih, wa al-Akhdu bi al-Jadidi  Ashlah, yakni menjaga tradisi lampau yang baik, dan mengadopsi hal yang baru yang lebih baik. Jargon ini merupakan cerminan bahwa NU mempunyai cara paradigmatik  dalam mempribumisasikan Islam di nusantara. 

Transformasi Nahdlatul Ulama 

Memasuki era kemerdekaan, tepatnya pada 15 April 1952, NU memutuskan  keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai parpol. Alasan berubahnya NU  menjadi parpol ini lantaran Masyumi sering tidak mengakomodir gagasan NU. Seperti  usul NU agar Masyumi diubah menjadi badan federasi. Namun usul ini selalu diabaikan  (Isnaeni, Hendri F 2017).  

Sangat memprihatinkan bila organisasi dengan massa terbesar yang tersebar  di berbagai wilayah, bahkan sampai pedesaan cuman dipandang sebelah mata  suaranya oleh Masyumi. Selain itu juga ada alasan politis yang mendasari mengapa  NU dan Masyumi bersitegang. Bermula dari sinilah NU memulai babak baru dengan  menceburkan diri ke dalam praktik politik kekuasaan. Beubahnya NU menjadi parpol  salah satunya merupakan suatu bentuk upaya agar suara umat Islam di lingkungan  birokratis didengarkan. Meski begitu, kita tidak bisa menafikan bahwa sebagian warga  nahdliyyin tetap beprinsip untuk terus bergerak di bidang pemikiran keagamaan dan  gerakan kultural. 

NU Pada Era Orde Baru 

Hubungan antara agama dan Negara di era Orba ini seperti yang pernah  disinggung Cak Nur, bersifat antagonistik. Tak terkecuali kepada organisasi keagamaan  seperti NU dan yang lain. Semua bakal dibabat habis bila sampai mengganggu stabilitas  negara. Hanya gerakan yang berkoalisi dan sejalan dengan Orba saja eksis, itupun  dengan catatan “selama tidak mengusik stabilitas negara”. Bahkan, untuk meredam  suara dari berbagai kelompok, Orde Baru hanya memperbolehkan 3 parpol saja, yaitu  PPP, PDI, dan Golkar. NU bersama Parsmusi, PSII, dan PERTI dileburkan ke dalam PPP. 

Lalu, pada tahun 1984, melalui Muktamar NU ke-27 yang digelar di Pesantren  Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo, NU kembali lagi ke Khittah 1926. Kembali lagi ke  Khittah artinya kembali pada semangat perjuangan 1926, saat NU didirikan, bukan  kembali secara harfiah. Tujuan kembali ke Khittah juga berarti NU akan kembali  berfokus pada gerakan-gerakan kultural seperti pendidikan, ekonomi, serta dakwah.  Sebelum adanya seruan untuk kembali ke Khittah, tak dapat dielak bahwa NU sedang  giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orba lewat PPP. Namun  kenyataannya juga pahit, kelompok kritis NU sedikit demi sedikit disingkirkan  sehingga kadar perjuangan dalam PPP menurun. Ngenesz memang og. 

Gerakan Islam Era Reformasi 

Saat reformasi bergulir, saat di mana kran demokrasi dibuka, memungkinkan  bagi lahirnya gerakan Islam yang beragam. Sebab pada masa sebelumnya, yaitu Orde  Baru, banyak organisasi gerakan keislaman yang harus bersembunyi di balik tirai  demi menghindari represifitas negara yang sedang otoriter-otoriternya. Meminjam  istilah Nurcholis Madjid, hubungan antara agama dengan negara waktu itu bersifat  antagonistik (Basyir, Kunawi: 348).

Beberapa gerakan keislaman yang menutup diri semasa Orde Baru berkuasa  seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah  Islam Indonesia, Perti dan golongan serupa mulai berani menampilkan corak  keislamannya menurut keyakinan masing-masing tanpa harus ada yang ditakuti.  Tak ketinggalan pula organisasi tradisional NU maupun Muhammadiyyah yang  mengusung gerakan modernis turut andil meramaikan kebebasan di era reformasi. 

Pada intinya, gerakan-gerakan Islam yang bermunculan saat reformasi  bergulir itu menjadi suatu bentuk kritik baik dalam ranah sosial, ekonomi, pendidikan  dan lain-lain terhadap pemerintah yang menurut mereka tidak becus mengelola negara.  Sementara cara yang mereka tawarkan pun berbeda-beda. Ada yang hingga menyeru  secara radikal untuk mengganti ideologi negara dan mendirikan Dawlah Islamiyyah  Khilafah dengan dalih kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah—secara leterleg.  Bagi kelompok ini, kedaulatan hanya milik Tuhan dan bahwa betuk pemerintahan  Syari’ah lah merupakan satu-satunya solusi yang mampu memenuhi kebutuhan dan  kepentingan seluruh umat muslim (Basyir, Kunawi: 353). Lain daripada itu, kelompok  ini juga memandang sistem pemerintahan demokrasi adalah sekuler. 

Meskipun NU dan Muhammadiyyah kerap melancarkan kritik kepada  pemerintah, namun kritik yang disampaikan kedua kelompok ini tidak sampai pada  visi untuk mengubah paradigma Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah  berdasar UUD 1945 apalagi mengubah Pancasila. Oleh karena itu, kader PMII sudah  sepatutnya ambil peran dalam mempertahankan NKRI. 

Paradigma Pemikiran Politik Islam Subtantif-Inklusif & Legal-Eksklusif 

Secara umum, sebetulya ada dua paradigma pemikiran politik Islam yang  melandasi banyak gerakan keislaman di Indoensia, sekaligus yang berkembang di  dunia kaum muslim. M. Syafi’i Anwar dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita,  mengetengahkan paradigma itu adalah (1) subtantif-inklusif & (2) legal-eksklusif  (Anwar Syafi’I,, pengantar,, Wahid Abdurrahman 2011). 

Dalam paradigma subtantif-eksklusif, secara umum ditandai dengan  keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep teoritis yang  berhubungan dengan politik. Setidaknya ada empat ciri menonojol paradigma ini.  Pertama, kepercayaan kepada Al-Qur’an sebagai kita suci yang membahas etika dan  pedoman moral buat kehidupan umat manusia termasuk bagaimana cara menegakkan  keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain, tetapi tidak ada satu pun  ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan negara Islam.  

Kedua, pendukung paradigm ini berpandangan bahwa misi Nabi Muhammad  bukanlah untuk membangun kerajaan atau Negara. Namun lebih kepada seperti  yang dilakukan nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan.  Mengutip pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, fokus utama Nabi Muhammad ketika  menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya mempersatukan pemeluk Islam  daripada membangun sebuah Negara atau system pemerintahan. Hal ini terbukti  sesudah nabi wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk menggelar musyawarah dan memutuskan siapa pengganti beliau, yang akhirnya terpilih lah Abu Bakar.  Sedangkan kita tahu pergantian kepemimpinan para sahabat pasca nabi wafat mulai  Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang  berbeda. 

Ketiga, paradigma subtantif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak  berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan peerintahan  atau system politik. Sebab Islam dipandang semata-mata sebagai agama, syrai’at  seharusnya tidak dietakkan ke dalam domain Negara, tetapi tetap diletakkan dalam  kerangka system keimanan Islam. Syari’at, merupakan jalan dan gerak langkah yang  selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar orientasi-orientasi etis yang mulia.  

Keempat, penganut paradigma ini dalam bidang politik pada dasarnya yaitu  melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang  menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik.  Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung menghendaki eksistensi artikulasi  nilai-nilai Islam yang intirnsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam  dalam masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk  kulturalisasi, bukan malah politisasi. 

Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum antara  lain. Pertama, paradigma ini meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga  sebuah sistem hokum yang lengkap. Para pendukung paradigma ini sepenuhnya yakin  bahwa Islam merupakan totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (Negara),  dan dunya (dunia). Konsekuensinya, paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan  semua aspek kehidupan sesuai Islam, mulai dari lingkup terkecil keluarga sampai  menjangkau seluruh permasalahan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Kedua,  paradigma ini mewajibkan kepada umat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Role  model utama dalam paradigma ini untuk mewujudkan “Negara Islam yang ideal”  berkiblat pada bagaimana nabi dan Khulafa ar Rasyidin dalam mengatur tatanan  kemasyarakatan. Akibatnya, paradigma ini menganjurkan penolakan terhadap  konsep-konsep politik Barat seperti demokrasi karena dianggap bertetangan dengan  Islam. 

Ketiga, dalam paradigma ini, syari’at diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan,  dan harus dijadikan sebagai dasar dari sebuah Negara beserta konstitusinya, kemudian  diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, hingga menjadi pedoman  perilaku politik penguasa. Apapun yang terjadi, paradigma ini mengharuskan umat  Islam untuk menegakkan syari’at Islam sebagai alternatif terhadap sistem-sistem  dunia yang berlaku. Keempat, paradigma ini membayangkan terwujudnya masyarakat  politik Islam, seperti munculnya partai Islam, ekspresi idiom-idiom politik secara  simbolis, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks  Indonesia, paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologisasi atau politisasi  yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal. 

Salah satu pemikir Islam yang juga turut meramaikan wacana keislaman di Indonesia adalah Gus Dur. Benang merah yang dapat kita ambil dari banyak pemikiran  Gus Dur salah satunya yakni penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi dan  syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur justru melihat bahwa kejayaan Islam dapat  diraih dengan kemampuan yang ada pada agama ini untuk berkembang secara kultural.  Hal itu terlihat terutama dalam tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah  Kultural?”. Di situ ia menafsirkan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Udkhulu fii  as-Silmi kaaffah” yang mana kata “Al-Silmi” sering ditafsirkan secara literal oleh para  pendukung Islam Formalis sebagai “islami”. Sementara Gus Dur menafsirkan kata  tersebut sebagai “perdamaian”.  

Bagi Gus Dur, implikasi dari perbedaan kedua penafsiran itu sangatlah luas.  Mereka yang terbiasa dengan formalisasi akan terus terobsesi untuk mewujudkan  “sistem Islami” secara fundamental hingga mengabaikan pluralitas masyarakat  Indonesia dan tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal  juga sebagai “negerinya kaum muslim moderat”. Gus Dur berpandangan bahwa Islam  di Indonesia sejatinya muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis.  Selain itu, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam  untuk mempolitisasi tafsir secara tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan.  Dengan demikian, penolakan Gus Dur akan formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi  Islam mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang Negara Islam. 

Daftar Referensi:

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirosah Islamiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.  2003. 

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Tahun !912-1926. Jakarta: Pustaka  Grafika Utama. 1990. 

Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2011. Fahruddin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan  Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2009.  

Syukur, Abdul. Kehancuran Golongan Komunis Indonesia. Jurnal Sejarah Lontar: Vol 5 No. 2 Juli Desember 2008. 

Basyir, Kunawi. Ideologi Gerakan Politik Islam. Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2 November. 2016.  Artikel Hasan Ainul Yaqin. Modul PKD PMII Komisariat Walisongo 2019

Yasmis. Sarikat Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia 1912-1927. Jurnal Sejarah Lontar,  Vol. 6, No. 1 Januari-Juni. 2009. 

Artikel Agung Purnama. https://www.nu.or.id/post/read/120737/congres-ke-13-nu-- volksraad--dan-perpecahan-sarekat-islam diakses pada Selasa, 16 Maret 2021 pukul  21.24. 

Artikel Hendri F Isnaini. https://historia.id/politik/articles/mengapa-nu-keluar-dari masyumi-PzMm8/page/3 diakses pada Selasa, 16 Maret 2021 pukul 22.54.

Artikel Fathoni Ahmad. https://www.nu.or.id/post/read/116035/sejarah-singkat-berdirinya nahdlatul-ulama. diakses pada Rabu, 17 Maret 2021 pukul 23:38.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

EKONOMI-POLITIK INDONESIA DALAM ARUS KEKUASAAN

Oleh:

 

Jika kekayaan 26 orang teratas diakumulasikan jumlahnya setara dengan kekayaan setengah masyarakat Bumi.

Di Indonesia, kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia tercatat sebesar 25 miliar dolar AS atau sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Dua pernyataan tersebut diambil dari laporan Oxfam untuk beberapa tahun belakangan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi yang sangat mendasar di tengah masyarakat kita. Ditengah-tengah kemakmuran dan kekayaan yang dinikmati terdapat reproduksi kemiskinan dan kesengsaraan yang terus menerus terjadi. Melebarnya jurang ketimpangan sosial antara kaya dan miskin benar-benar ada termasuk di Indonesia. Hari ini, kita mengecam tindakan perbudakan sebagai pelanggaran besar. Namun di saat yang bersamaan kita memperbudak diri sendiri dengan peningkatan tekanan-tekanan kompetitif, efisiensi, dan keuntungan yang memaksa kita untuk terus bekerja dan bekerja menggunakan ilmu pengetahuan dan alat bernama teknologi untuk menjadi manusia yang sukses menurut standar masyarakat saat ini; kesejahteraan finansial. Akan tetapi, walaupun kita menuruti logika kesejahteraan masyarakat modern, apakah kerja keras selalu bisa membuahkan hasil yang diinginkan? Apakah kita menyetujui standarisasi bahwa uang adalah alat utama yang harus dimiliki untuk memperoleh kesejahteraan sosial dan satu-satunya cara untuk memperolehnya adalah dengan upah (menjadi pekerja)?

 

1.1 Gambaran Logika Masyarakat Modern Hari Ini

Pertanyaan tersebut diharapkan dapat memberikan pemantik mengenai pembahasan ekonomi politik selanjutnya, utamanya di Indonesia sendiri. Kita mengetahui bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan oleh karenanya ia disebut sebagai makhluk sosial. Pemenuhan akan kebutuhan itu berhubungan erat dengan proses produksi, reproduksi, dan distribusi barang dan jasa sehingga tidak dapat terlepas dari kegiatan ekonomi yang memiliki keterkaitan dengan sebuah permasalahan; bagaimana cara memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.

Dalam konteks yang lebih besar yakni negara, ekonomi berurusan dengan sumber daya yang ada di negara tersebut meliputi kekayaan alam, sumber daya manusia dan modal. Hal tersebut menjadikan ekonomi berhubungan dengan dinamika siapa pemegang kekuasaan di negara tersebut karena untuk mengalokasikan sumber daya di antara masyarakat membutuhkan ‘power’ atau ‘kekuasaan’ yang hanya dapat dipegang oleh pemimpin yang memerintah pada saat itu. Oleh karenanya jika kita menarik benang merah antara ekonomi, negara, dan politik kita tidak bisa menampikkan relasi kuasa terhadap bagaimana mereka mempengaruhi cara masyarakatnya untuk mendapatkan dan menetapkan kebutuhan yang berkaitan dengannya. Bagaimana pengaruh tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi dan/atau solusi dari permasalahan yang menumpuk.

Dinamika Kepemimpinan di Indonesia

Secara teoritis, terdapat dua pendekatan ekonomi politik yang berhadapan, yaitu pendekatan yang berpusat pada pasar (market oriented) dan pendekatan yang berpusat pada negara (state centered). Pendekatan yang yang berpusat pada negara didasarkan atas asumsi bahwa negara memiliki agenda sendiri dalam hubungannya dengan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Sejak orde lama hingga reformasi, Indonesia telah mengalami beberapa pergantian pemimpin dengan berbagai model kepemimpinan yang mempengaruhi kondisi ekonomi-politiknya:

Soekarno (Orde Lama, 1945-1966)

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum dapat melaksanakan pembangunan ekonomi secara utuh karena harus mempertahankan kemerdekaan hingga tahun 1949 yang ditandai dengan berbagai peristiwa diantaranya Agresi Militer Belanda 1 dan 2, Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan dan perjuangan lainnya. Dalam masa kepemimpinan Soekarno, Indonesia mengalami tiga fase perekonomian: fase penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, fase penguatan pilar ekonomi dan fase krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada era Soekarno Indonesia mengalami berbagai kendala dari merenggangnya hubungan pusat dan daerah, peredaran uang yang terlalu banyak, kemunculan uang palsu, kekurangan barang, kemerosotan ekspor perkebunan, korupsi, dan perdagangan gelap hingga beban utang Belanda yang dibebankan ke Indonesia. Setidaknya ada beberapa kebijakan yang diambil pada masa Soekarno yaitu program Benteng tahun 1950 berupa pembinaan kepada pengusaha pribumi, nasionalisasi perusahaan asing, pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas), penurunan nilai uang (devaluasi), deklarasi ekonomi, peningkatan perdagangan dan perkreditan luar negeri, dan peleburan bank.

Soeharto (Orde Baru, 1966-1998)

Soeharto menjadi presiden dengan jabatan terlama yakni 32 tahun. Pembangunan para era Soeharto cenderung kapitalistik, di mana ide-ide neoliberal bersarang di dalamnya terutama dalam membuka pintu secara lebar bagi investasi swasta asing dan peningkatan utang luar negeri. Menjelang awal tahun 1970-an bekerja sama dengan Bank Dunia, dibentuk Inter-Government Group on Indonesia (ICGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi Orde Baru ditandai dengan krisis moneter yang melanda Indonesia. Sementara itu pada rezim Orde Baru juga terdapat kekerasan dan teror terhadap perlawanan kaum buruh dan kaum tani yang meningkat tajam sejak 1980an. Terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari ekonomi neoliberal di Indonesia yaitu dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta misalnya eksploitasi hutan di Indonesia yang mencapai 2,5 US Dollar miliar hanya 17% yang masuk ke kas negara sedangkan 83% lainnya masuk ke kantong pengusaha HPH juga melalui privatisasi BUMN, meningkatnya utang negara dan munculnya kesenjangan ekonomi.

BJ Habibie (1998-1999)

Pada saat kepemimpinan BJ Habibie, Indonesia menghadapi tantangan untuk memulihkan kondisi ekonomi akibat krisis moneter yang sangat parah dan utang luar negeri yang menumpuk. Krisis perekonomian tidak hanya menyebabkan turunnya nilai rupiah tetai juga kebangkrutan sektor industri dan manufaktur. Selain itu terdapat kekacauan dengan tragedi Mei 1998 yang menghancurkan pusat-pusat bisnis miliki orang-orang Tionghoa. Sehingga pada masa ini Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter melalui reformasi bidang ekonomi sehingga terjadi penurunan laju inflasi dan persebaran kebutuhan pokok Kembali membaik

Abdurrahman Wahid (1998-2001)

Akibat kriris moneter pada tahun 1997-1998 yang masih menyisakan dampak pada era reformasi, Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas memperbaiki perekonomian Indonesia. Gus Dur juga melakukan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Selain itu terdapat kebijakan Gus Dur berupa menaikkan gaji pegawai negeri dan menghapus bunga terhadap kredit petani dan pengusaha mikro kecil dan menengah.

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Megawati mengambil keputusan dalam mengakhiri program reformasi Kerjasama dengan IMF pada Desember 2003 dan dilanjutkan privatisasi perusahaan negara dan divetasi bank untuk menutup defisit anggaran negara. Setelah mengakhiri Kerjasama dengan IMF, Megawati menerbitkan Intruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.

Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Saat memimpin Indonesia, SBY menerapkan beberapa kebijakan yaitu meningkatkan komoditi ekspor, pelunasan utang terhadap IMF, serta penaikan harga BBM selama beberapa kali. Pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.

Joko Widodo (2014-sekarang)

Jokowi merombak struktur APBN dengan mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia berdaya saing. Sejak kemunculan virus korona pada tahu 2019, Jokowi juga menerapkan berbagai kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional yang tergerus akibat terbatasnya mobilitas masyarakat karena pandemi. Di masa Jokowi turut disahkan UU yang menuai pro kontra hingga memunculkan aksi-aksi demontrasi terhadap UU Cipta Kerja.

Dilema Keadilan dan Regulasi Ekonomi

Dalam konsep ekonomi dikenal dua jenis barang berupa barang individu dan barang publik. Keputusan untuk mengkonsumsi barang individu tidak menciptakan dampak terhadap individu-individu lainnya karena sifatnya yang ekslusif untuk dirinya sendiri (private). Sebaliknya, setiap pengambilan keputusan untuk mengkonsumsi barang publik akan berdampak pada individu-individu dalam masyarakat karena sifatnya yang terkait atau memiliki kepentingan kolektif. Karena sifat tersebut, cara memanfaatkannya menuntut peranan atau intervensi pemerintah dan peraturan yang disepakati dalam suatu proses pengambilan keputusan kolektif. Adapun yang dimaksud dengan barang publik disini ialah kekayaan alam, sumber daya manusia, dan modal, ataupun yang tergambarkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Beralih pada konsep bisnis yang kerap bersentuhan dengan hak milik orang lain atau hak publik, maka sistem ekonomi dan kegiatan bisnis tidak bisa terlepas dari bingkai peraturan ekonomi. Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana seharusnya pelaku bisnis menggunakan hak milik untuk urusan bisnisnya? Bagaimana pula pelaku di sektor negara memainkan kekuasaannya untuk membangun sistem ekonomi yang kondusif sekaligus adil?

Keputusan untuk menentukan status, konsumsi, dan pemanfaatan barang publik harus sepenuhnya melibatkan pemerintah dan kepentingan seluruh masyarakat di dalamnya. Akan tetapi, dalam perkembangan ekonomi-politik dikenal pula istilah Rent Seeking dimana para birokrasi atau birocratic polity menawarkan kebijakannya demi mendapatkan keuntungan secara pribadi. Hal inilah yang harus dihindari karena berimplikasi pada kerugian publik. Contoh yang sering terjadi adalah melalui korupsi.

Seperti yang telah dipaparkan di awal, bahwa dalam konsep ekonomi-politik berkaitan erat dengan kekuasaan. Dalam praktiknya, kekuasaanan muncul dalam bentuk relasional atau kekuasaan langsung, dan dalam bentuk kekuasaan tidak langsung atau kekuasaan struktural. Kemampuan relasional adalah kemampuan mengorganisasikan sumber daya untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Kekuasaan struktural adalah kemampuan membentuk dan menentukan struktur (misalnya struktur ekonomi pertanian), termasuk di sini kekuasaan struktural dilakukan melalui berbagai regulasi yang mempengaruhi jalannya aktivitas ekonomi. Dalam praktek, kekuasaan struktural ini jauh lebih sering dilakukan penguasa, misalnya dengan menentukan agenda wacana dalam masyarakat, merancang regulasi pasar dan bagaimana aktor-aktor ekonomi harus bertindak, dan lain-lain

Regulasi dalam segala bidang, yang ditetapkan pemerintah (negara) sebagai kebijakan, menurut Donald Rotchild adalah menghubungankan kepentingan publik dengan kepentingan individu. Di sinilah interaksi ekonomi dapat dilakukan negara dengan kekuasaan yang legal formal, dengan paksaan, atas nama kepentingan publik. Kemampuan pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat tergantung pada aturan main (regulasi ekonomi) yang ditentukan institusi politik. Bagaimana cara mengoptimalisasikan pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada, sekaligus bagaimana institusi politik mengelola sumberdaya kekuasaan, dan hasilnya menguntungkan individu secara memuaskan, sekaligus memenuhi kepentingan bersama (publik)? Inilah persoalan yang senantiasa muncul ketika pendekatan ekonomi politik akan diimplementasikan dalam sebuah formulasi kebijakan. Maka dari itu, seorang penguasa harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan dan hendaknya memperhatikan dampak yang diberikan bagi masyarakatnya, jangan sampai kebijakan itu sebatas profit oriented yakni demi kepentingannya sendiri.

Referensi

Damayanti, Christy. 2009. Dimensi Kekuasaan dalam Ekonomi. Jurnal Ekonomi dan kewirausahaan Vol. 09. No.01.

Hakim, Abdul. 2012. Perbandingan Perekonomian dari Masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009). Jurnal Ekonomika-Bisnis Vol. 03. No. 02.

Mufti, Muslim. 2018. Ekonomi Politik. Bandung: CV Pustaka Setia.

Pratiwi, Ayu. 2021. Kebijakan Ekonomi: Perspektif Ekonomi Politik dalam Pembanguan di Indonesia. Jurnal Abiwara: Jurnal Vokasi Administrasi Bisnia Vol. 03 No. 01.

Rachbini, Didik J.. 2002. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Swanvri, dkk. 2012. Pengantar Ekonomi Politik. Yogyakarta: Resist Institute.

Artikel “Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa” https://jeo. kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa diakses pada Rabu, 11 Mei 2022 pukul 19.35 WIB.

Artikel “Neoliberalisme dan Indonesia” https://news.detik.com/ opini/d-1136671/neoliberalisme-dan-indonesia diakse pada Rabu, 11 Mei 2022 pukul 20:39 WIB.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ANALISIS DAN GERAKAN SOSIAL

Oleh:

A.          PENGANTAR ANALISIS ANSOS

Analisis Sosial (Ansos) adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka menemukan apa yang belum ia ketahui di lingkungan sekitarnya. Realitas sosial (kenyataan kemasyarakatan) adalah sebuah objek kajian dalam kegiatan ini. Analisis Sosial dapat diktakan sebuah upaya seseorang untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas sosial yang terjadi hadapannya. Dalam kondisi yang seperti itulah peran dan fungsi analisis sosial sebagai salah satu praktik kehidupan. Analisis sosial menjadi bagian yang penting karena diperlukan untuk mengidentifikasi dan pemahaman masalah secara lebih seksama. Bukan hanya itu, namun sejuga melihat akar masalah dan ranting masalah sekaligus membangun ukuran dengan lebih baik untuk kelompok yang dirugikan. Dengan adanya kita bica membaca peta analisis sosial kita mampu memahami potensi (kekuatan-kelemahan-peluang-tantangan) yang ada dalam komunitas serta membangun prediksi berupa tindakan-tindakan sebagai upaya untuk mengubah.

B.          PARADIGMA TEORI SOSIAL

Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Istilah paradigma awal mulanya diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dalam karyanya ‘The Structure of Scientific Revolution’. Konsep paradigma dipopulerkan dalam sosiologi oleh Robert Friedrichs (1970) melalui karyanya ‘Sociology of Sociology’. George Ritzer (1992) menulis secara spesifik paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Dalam bukunya ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science’, Ritzer memaparkan tiga paradigma sosiologi sebagai ilmu sosial. Dan tiga paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial, paradigma devinisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

1.   Paradigma Fakta Sosial

Paradigma fakta sosial berbicara mengenai sebuah batasan bagi perilaku manusia (individu) yang mau tidak mau harus di patuhi, untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih teratur dan damai. Contohnya adalah ketika seseorang melewati lampu lalu lintas, dan seketika lampu tersebut menunjukkan warna merah, dalam hal ini tandanya berhenti, orang yang ingin melewati lampu lalu lintas tersebut, mau tidak mau harus berhenti. Begitu pula ketika lampu menunjukkan warna hijau yang berarti jalan, kita harus jalan. Begitulah salah satu fakta sosial. Terdapat dua teori di dalam paradigma ini. Struktural fungsional dan teori konflik.

2.   Paradigma Definisi sosial

Paradigma ini berbicara mengenai perilaku seorang individu aktif yang mampu menciptakan sebuah realitas sosial tersendiri. Contoh dari definisi sosial ini adalah ketika seseorang melakukan sesuatu aktivitas, maka aktivitasnya tersebut terdapat sebuah tujuan, dimana tujuan ini mampu menciptakan membentuk sebuah realitas sosial tersendiri. Terdapat tiga teori utama dalam paradigm definisi sosial, yaitu teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi, dan juga dramaturgi.

3.   Paradigma Perilaku Sosial

Fokus utama paradigma ini pada hadiah atau penguatan (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishment) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Jika tidak mendapat ganjaran atau hukuman yang tidak diharapkan, ia akan marah dan semakin besar kemungkinan orang tsb akan melakukan perlawanan dan hasil tingkah lakunya makin berharga bagi dirinya. Jika dapat ganjaran atau lebih, maka akan menunjukan tingkah laku persetujuan. Dan hasil tingkah lakunya semakin berharga baginya.

C.          EMPAT PARADIGMA SOSIOLOGIS

Para ahli sosiologi telah bersepakat untuk menetukan cara baru dalam menganalisa empat paradigma ( dengan tetap memasukkan unsur-unsur penting dari asumsi teori sosial diatas ). Empat paradigma itu adalah.

1.   Paradigma fungsionalis

Paradigma inilah yang paling banayak dianut didunia, mereka condong kepada pendakatan realis, positivis, determinis, dan nomoetis. Rasionalitas merupakan ‘ tuhan’ bagi mereka. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

a.   Pandangannya berakar kuat pada sosiologi keteraturan dengan pendekatan obyektivis.

b.    Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, empiris.

c.   Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis.

d.   Mendasarkan pada filsafat rekayasa soaial untukdasar bagi perubahan sosial.

 

2.   Paradigma interpretatif.

Penganut paradigma ini cenderung menaganut sosiologi ketaraturan yaitu ilmu sosial yang mengutamakan kesatuan dan kerapatan. pendekatannya cenderung nominalis, anti positifis dan ideografis.pada pekembangan selanjutnya paradigma ini sering disebut sebagai aliran fenomenologis. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

a.   Pada dasarnya menagnut sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektif dalam analisis sosialnya.

b.   Mereka ingin melihat kenyataan sosial seperti apa adanya.

c.   Kenyataan sosial dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang.

d.   Anggapan dasar masih tetap didasarkan pada pandangan manusia serba tertib, terpadu dan rapat, kematangan, kesetiakawanan, dan kesepakatan.

 

3.   Humanis radikal

Paradigma yang dianut oleh orang-orang yang berminat mengembangkan ilmu soisal perubahan radikal dari pandangan subyektivis. Pendekatan yang kemudian dipakai adalah nominalis, anti positivistik, volunteris dan ideolografis. Pandangan dasarnya bahwa ada satu suprastruktur ideologis diluar diri yang membelenggu dan berhasil memisahkan dirinya dengan kesadarannya ( alenasi ) dan melahirkan kesadaran palsu. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

a.   Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis.

b.   Pendekatannya sama dengan kaum interpretaktif ( nominalis, anti-positivis volunteris, dan ideolgrafis ) tetapi, cenderung menekankan perlunya menhilangkan atau mengatasi serbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

c.   Kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang diluar dirinya.

d.   Agenda utama : memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatana sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia.

e.   Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan.

 

4.   Struktur radikal

Penganut paham ini berupaya memperjuangkan sosiologi perubahan radikal juga yaitu perubahan yang mendasar dengan mengabaikan semua tatanan sosial yang membelenggu perkembangan diri manusia oleh karna pandangan ini bersifat utopis dan hanya memandang lurus kedepan. Analisisnya cenderung menekankan pertentangan struktural, bentuk-bentu penguasaan dan pemerosotan harkat manusia. Pendekatan yang dipakai adalah realis, positivis, determinis dan nomotetis. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

a.   Penganutnya memperjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas.

b.   Pendekatan ilmiahnya memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis namun memiliki tujuan akhir yang saling berlawanan.

c.   Analisisnya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan kemerosotan dharkat kemanusiaan.

d.   Hal yang penting adalah hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan soaial.

Fungsi utama mengenal empat paradigma diatas adalah kita dapat memahami kerangka berfikir seseorang dalam teori sosial dan merupakan alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Dengan pemahaman ini, paling tidak kita bisa memetakan teori-teori yang ada untuk kemudian dengan kesadaran masing-masing melaui pengalaman dan pemahamannya sendiri dan tentu bisa memilih mana yang sekiranya paling tepat.

D.          KENYATAAN SOSIAL SEBAGAI MEDAN GERAKAN PMII

Bicara soal medan gerakan PMII, paling tidak kita juga harus mengetahui terkait gerakan sosial juga. Gerakan sosial merupakan aktivitas sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang yang biasanya dalam bentuk organisasi yang secara spesifik berfokus kepada suatu isu isu sosial. Isi gerakan sosial berupa melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan nilai sebuah perubahan sosial. Terjadinya gerakan sosial yang tercatat dalam sejarah selalu dimulai oleh sekelompok orang yang menginginkan adanya perubahan. Dalam bidang politik, ada beberapa kondisi yang mendukung terjadinya gerakan sosial seperti sifat pemerintahan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat dan adanya situasi yang mendorong tumbuhnya gerakan sosial. Gerakan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa penggolongan.

1. Berdasarkan Lingkupnya.

a. Gerakan Reformasi Gerakan reformasi merupakan gerakan yang ditujukan untuk mengubah beberapa norma yang berlaku di masyarakat. Contoh gerakan semacam ini akan mencakup seperti, serikat buruh wanita dengan tujuan untuk meningkatkan hak-hak pekerja wanita, gerakan hijau yang menganjurkan serangkaian hukum ekologi, atau sebuah gerakan pengenalan baik yang mendukung atau yang menolak adanya.

b. Gerakan Radikal Gerakan radikal menginginkan adanya perubahan segera terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara mendasar, contohnya termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika yang penuh menuntut hak-hak sipil dan persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika terlepas dari ras. Dewasa ini, gerakan radikal cenderung  dipandang negatif karena maraknya aksi radikalisme yang terjadi di berbagai belahan dunia.

2. Berdasarkan Perubahan

a. Gerakan Inovasi Gerakan inovasi adalah gerakan yang ingin mengaktifkan nilainilai tertentu dari efek sebuah teknologi dan menjamin keamanan perkembangan teknologi yang tak umum.

b. Gerakan Konservatif Gerakan ini ingin mempertahankan norma-norma yang ada sejak dahulu. Kelompok pendukung gerakan ini sangat menentang inovasi dan sulit menyesuaikan diri dengan hal baru.

3. Berdasarkan Metode Kerja

a. Gerakan Damai Gerakan ini bertujuan untuk memengaruhi kelompok atau masyarakat seperti mengajak mereka untuk menentang sebuah kebijakan pemerintah. Beberapa kelompok ini akan berubah atau menjadi atau akan bergabung dengan partai politik, tetapi banyak tetap berada di luar sistem partai politik.

b. Gerakan Kekerasan Gerakan ini fokus untuk memengaruhi secara personal atau individu untuk melakukan kekerasan dalam menyuarakan tujuannya.

4. Berdasarkan Waktu

a. Gerakan Lama Gerakan ini telah ada sejak awal masyarakat. Sebagian besar merupakan gerakan-gerakan abad ke-19. Mereka berjuang untuk kelompokkelompok sosial tertentu, seperti kelas pekerja, petani, orang kulit putih, kaum bangsawan, keagamaan, laki-laki.

b. Gerakan Baru Gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua abad ke-20 seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak sipil, gerakan lingkungan, gerakan perdamaian, gerakan anti rasis dan lain lain. Beberapa kelompok mengenal gerakan ini sebagai gerakan sosial

 

Daftar Referensi:

 

 

 

 

 

Paradigma Gerakan PMII: Sejarah dan Relevansi

Oleh: ULIL ALBAB

“Di PMII, Paradigma merupakan suatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku organisasi” (Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A).

A.  Pengertian Paradigma

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma adalah model dalam teori ilmu pengetahuan. Paradigma merupakan salah satu persoalan krusial dalam sebuah organisasi. karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Hal itu juga akan mempengaruhi pilihan gerakan yang ditentukan.

Menurut Thomas S. Khun, paradigma merupakan konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma baru itu harus mengarah pada identitas mahasiswa yang bukan hanya dianggap “ada” tetapi harus diakui dan dibaca atas keberadaannya.

Dalam sebuah catatan yang bertajuk "Operasionalisasi Paradigma Kritis Transformatif Analisis Teoretik Dalam Perspektif Teori Perubahan Sosial Dan Teori Revolusi Sosial”, Kristeva menambahkan bahwa paradigma dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah.

Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Bagi PMII, Paradigma merupakan landasan untuk bergerak. Paradigma juga merupakan alat analisis, bagaimana organisasi harus bergerak. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.

Relevansi paradigma PMII dengan kondisi sosial masyarakat sangatlah dibutuhkan. Baik digunakan sebagai metode analisis hingga menjadi sebuah manifestasi gerakan dalam menciptakan problem solving. Disamping itu, dengan paradigma sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.

B.  Sejarah Paradigma PMII

Tercatat dalam lintasan sejarah, PMII telah melakukan banyak pergantian paradigma gerakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu, maupun kepentingan yang melatar belakanginya. Berikut merupakan paradigma yang menjadi gerakan PMII dari masa ke masa.

1.     Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran. 

Istilah paradigma secara organisasional pertama kali dikenal pada era Sahabat Muhaimin Iskandar (periode 1994-1997). Waktu itu, gerakan mahasiswa yang sudah dikekang oleh pemerintah orde baru melalui kebijakan NKK/BKK dihadapkan pada kenyataan otoritarianis Soeharto. Banyak terjadi pelanggaran HAM, penindasan, penggusuran, pemilu yang tidak demokratis dan merajalelanya KKN, telah membuka mata mahasiswa untuk bergerak melakukan perlawanan demi perubahan. Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU dan tokoh Forum Demokrasi (Fordem) yang berseberangan dengan Soeharto menjadi lokomotif gerakan demokratisasi dan civil society.

Perlawanan terhadap Negara menjadi ciri khas paradigma ini. secara praksis, paradigma ini kemudian melahirkan dua kecenderungan. Pertama, apa yang disebut dengan free market of ideas (pasar bebas pemikiran). Kecenderungan ini adalah bagian dari upaya mengenal pemikiran secara luas di tengah hegemoni pengetahuan yang ditancapkan oleh Orde baru. Pada tataran inilah PMII secara bebas berkenalan dengan ide-ide dan pemikiran kritis yang lebih bercorak Marxian. Gagasan tentang kiri islam, teologi pembebasan, kritis wacana agama, antroposentrisme teologis, sampai pada post tradisionalisme menjadi kecenderungan yang ramai dikaji kader PMII.

Sehingga tak heran label liberal kerap disematkan pada komunitas pemikiran di kalangan anak muda ini. Orientasi dari Free Market Idea adalah terjadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi. Kedua, gerakan advokasi. Pembelaan terhadap masyarakat tertindas  (mustadh‘afin) dan masyarakat pinggiran (marginal) juga menjadi konsen dari paradigma ini.

Secara umum, gerakan advokasi ini dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta pendampingan. Relasi negara-civil society yang tidak seimbang, menjadikan paradigma arus masyarakat pinggiran ini menemukan titik relevansinya. Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society.

2.     Paradigma Kritis Transformatif

Paradigma ini diperkenalkan pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000). Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta kritisisme intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll. Pemosisian diri yang jelas terhadap Negara masih tetap ditonjolkan pada paradigma ini. Namun PKT ini mendapat ujian pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI. Ada semacam kegagapan dalam melakukan konsistensi terhadap paradigma ini.

Di satu sisi, PMII harus tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, sebagaimana pilihan paradigma gerakannya. Di sisi lain, figure Gus Dur sebagai maskot dan ikon demokrasi, sekaligus “bapak” kaum nahdhiyin melahirkan sikap ”pekewuh” tatkala menggunakan paradigma kritis tersebut. Kegagapan paradigma ini tentunya menjadi persoalan yang krusial, karena paradigma telah melahirkan kegamangan gerakan, yang ini keluar dari tujuan paradigma yang sesungguhnya.

3.     Paradigma Menggiring Arus/Berbasis Realitas

Dalam Kongres di Bogor, terjadi perdebatan wacana untuk mengganti paradigma PKT yang dirasa sudah tidak relevan lagi. Berbagai tawaran paradigma pun bermunculan, seperti Paradigma Relasional (ada yang menyebut Paradigma Berbasis Realitas atau Paradigma Menggiring Arus) yang ditawarkan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi yang pada Kongres PMII ke-15 di Bogor tahun 2005 terpilih sebagai Ketua Umum. Paradigma Relasional ini ingin lebih realistis dalam memandang kenyataan dan menggaulinya secara strategis, tidak asal menjebakkan diri dalam oposisi binner. 

Paradigma ini dinilai pragmatis atau realistis oleh pihak yang kurang bersepakat. Paradigma ini ingin menegaskan bahwa demi mencapai cita-cita PMII dan kejayaan nusantara, kita harus membangun gerakan berbasis keindonesiaan (karena disitulah medan pertaruhan PMII yang sesungguhnya). Karena Indonesia adalah bagian dari habitus global, maka PMII harus siap bergaul dengan berbagai pihak dalam konstelasi global, khususnya pasca Perang Dingin, antara Blok Barat dan Blok Timur.

Perubahan geo politik dunia pasca perang dingin yang begitu cepat hendaknya dilihat sebagai kenyataan dan tantangan hari ini yang jauh lebih berat ketimbang era sebelumnya. Medan pertempuran geo politik dunia yang multi polar menuntut kita untuk tidak mudah terjebak dalam nalar binner, hitam-putih, benar-salah, atau vis a vis. Namun lebih mampu berpikir secara kompleks, dengan membaca relasi yang saling terkait antar fenomena. Sehingga slogan yang kemudian muncul adalah, think global act local berfikir global bertindak lokal.

C.    Relevansi Paradigma

Pada konteks saat ini, gerakan mahasiswa termasuk PMII masih kental dengan semangat gerakan mahasiswa tahun 90-an yang dipenuhi gelora menggebu-gebu dan aroma heroisme pemuda. Faktanya, gerakan demonstrasi jalanan mahasiswa dengan semangat kritik terhadap kebijakan pemerintah masih sering kita temui. Nuansa perjuangan dan semangat yang diusung disertai dengan atmosfer peran mahasiswa sebagai agen of change, penyambung lidah, perantara, parlemen jalan dan sebagainya.

Semangat seperti ini memang dibutuhkan oleh masyarakat hingga akhir tahun 90-an, akan tetapi dengan situasi politik mutakhir yang jauh berbeda dengan sebelumnya, apakah gerakan semacam ini masih dirasa relevan?. Pada era demokrasi ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sudah berubah, jauh berbeda dibanding beberapa dekade terakhir, khususnya pada tahun 90-an. Jika pada era sebelumnya pemerintahan sangat sentralistik sehingga masyarakat bungkam, tidak ada peluang untuk memberi aspirasi dari bawah ke atas, maka pada era saat ini masyarakat memiliki peluang-peluang untuk menyalurkan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara (pemerintah).

PMII didirikan bukan tanpa alasan, tetapi didirikan dengan tujuan yang begitu mulia serta didukung oleh permasalahan-permasalahan yang terjadi saat itu. Catatan historis sebelumnya menjadi salah satu faktor dan latar belakang lahirnya paradigma. Jadi, secara sederhana bisa kita asumsikan bahwa faktor faktor terbentuknya paradigma dipengaruhi oleh faktor sejarah dan realita hari ini. Saat ini PMII harus memiliki kepekaan untuk menjawab persoalan zaman dengan menerapkan kurikulum yang dapat mengantarkan para kadernya untuk berkiprah di segala leading sektor secara profesional, baik di dalam struktur lembaga-lembaga negara ataupun di luar itu.

Dari apa yang dipaparkan oleh Kristeva bahwa saat ini PMII menerapkan paradigma kritis transformatif. Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif merupakan Jargon PMII untuk membaca tafsir sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan terdapat beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut diantaranya yakni:

1)     Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.

2)     Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).

3)     Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).

4)     Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.

Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, dll). secara bersamasama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif

Referensi

Ahmad. Hifni, Menjadi Kader PMII, Moderate Muslim Society (MMS) Redaksi. 2016

Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2009.

Khairun Nisa. Luqyana, Paradigma Gerakan PMII. Modul PKD PMII Abdurrahman Wahid. 2022

Kristeva, Materi Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Kuhn. T.S, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Remaja Rosdakarya. 2002

Ms. Muhtar, tangan Tangan Terkepal.  Salatiga: Guepedia.  2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERAN ANALISIS WACANA DALAM RUANG PERGERAKAN PMII

Pendahuluan

Sebagai anggota/kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Kita seringkali mendengar kata “wacana”. Bahkan masyarakat Indonesia sendiri sering mendengar akan hal ini. Karena wacana ini menjadi sebuah ungkapan ekspresi mengenai ide dan gagasan yang disampaikan oleh seseorang melalui lisan maupun tulisan. Sehingga melalui wacana ini juga bisa memberikan arti kepada pendengar maupun pembaca. Setiap wacana yang muncul darimanapun itu akan memeberikan pengertian yang berbeda terhadap setiap individu di masyarakat. Maka dari itu pengolahan kalimat serta bahasa dalam wacana ini cukup penting. Namun masyarakat juga perlu menganalisis setiap wacana yang muncul supaya tidak salah dalam mengartikan dan lebih bijak dalam menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan wacana.     

Pengertian Analisis Wacana

Sebelum kita menuju ke pembahasan mengenai analisis wacana, kita perlu mengetahui apa itu wacana. Wacana bisa diartikan sebagai komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan percakapan. Sedangkan analisa adalah meneliti dan menilai situasi serta kondisi dan sosial adalah yang berhubungan dengan masyarakat atau lingkungan sekitar. Secara menyeluruh, analisis wacana merupakan istilah umum yang digunakan dalam kajian disiplinier ilmu, sedangkan objek dari analisis wacana itu sendiri adalah linguistik atau bisa disebut dengan bahasa. Sehingga analisis wacana itu sendiri merupakan kajian tentang kebahasaan secara kompleks, baik dari kata atau kalimat yang mengandung proporsi, ataupun membentuk kesatuan sebagai teks yang termasuk realitas, baik secara lisan maupun tulisan.

Kebutuhan Dasar Wacana

Kebutuhan dasar wacana ini bias diartikan sebagai tujuan adanya wacana. Ada beberapa kebutuhan dasar adanya wacana yang pertama yaitu keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain mengenai suatu hal. Kedua untuk meyakinkan seseorang mengenai kebenaran suatu hal dan mempengaruhi sikap/pendapat orang lain. Ketiga untuk mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk, wujud, objek. Keempat untuk menceritakan kejadian atau peristiwa yang terjadi. (Keraf, 1995: 6).

Otoritas Analisis Wacana

Analisis Wacana memiliki otoritas. Ada dua ruang yang menjadi otoritas analisis wacana yaitu Ruang Linguistik dan Ruang Teks Tertulis. Dalam Linguistik; Analisis wacana digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur yang luas melebihi batasan-batasan kalimat. (Sunarto, 2001: 119-120). Kalau Dalam Teks Tertulis; Analisis wacana bertujuan untuk mengeksplisitkan norma-norma & aturan-aturan bahasa yang implisit. Analisis wacana bertujuan untuk menemukan unit-unit hierarkis yang membentuk suatu struktur diskursif (Mills,1994)

Karakteristik Analisis Wacana

Karakteristik analisis wacana terbagi meanjdi empat macam yang Pertama, dalam analisisnya analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan analisis isi yang umumnya kuantitatif. Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what) tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how). Keempatanalisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi. Karena peristiwa selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama untuk isu dan kasus yang berbeda. (Eriyanto, 2001: 337-341).

 

Peran Analisis Wacana Kritis Terhadap Gerakan PMII

Seiring berjalannya waktu dan dengan adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih maka komunikasi akan mudah dilakukan oleh khalayak umum. Belakangan ini muncul berbagai macam media sosial dengan kemajuan teknologi seperti misalnya twitter, facebook, messanger, whatsapp. Kemunculan berbagai macam media sosial ini dimafaatkan untuk orang orang yang  berkepentingan dalam opini publik. Di era globalisasi ini komunikasi +menjadi lebih mudah dengan adanya kemajuan teknologi, dengan adanya berbagai macam teknologi ini maka pesan yang akan disampaikan oleh komunikan akan lebih mudah dicerna dan lebih cepat tersampaikan kepada komunikator.

Dengan adanya kemajuan teknologi ini ditandai dengan munculnya berbagai macam sosial media dikalangan para komunikan. Bahkan sosial media ini seperti jamur yang terus tumbuh setiap waktu dan semakin bertambah setiap waktu. Maka maraknya sosial media ini dapat dimanfaatkan oleh para komunikator untuk kepentingan tertentu seperti misalnya mempromosikan barang dagangan, perbaikan citra atau hal lain.

Tidak bisa dipungkiri dalam kurun waktu yang cepat setiap komunikan akan mudah menguasai bagaimana cara menggunakan sosial media yang sudah ada, maka para komunikan pun akan lebih mudah mendapatkan pesan lalu mereka akan mengeluarkan pendapat ataupun opini masing – masing. Setiap individu memiliki pendapat masing masing mengenai isi pesan yang disampaikan oleh komunikator, namun biasanya setiap individu komunikan akan membahas isu yang sama disaat mereka memiliki waktu untuk mengeluarkan pendapat dan berdiskusi mengenai isu tersebut, maka dari hasil diskusi itu terbentuklah opini publik yang mewakili banyak individu. Maka antara sosial media dan opini publik dapat berjalan beriringan karena dengan adanya media sosial tersebut maka komunikator akan dengan mudah menyampaikan isi pesannya kepada komunikan.

Analisis Wacana Kritis menjadi sangat penting sebagai alat pergerakan, sebab setiap pergerakan harus menyasar dalam segi-segi tak tampak dalam struktur ketidak-adilan. Tidak cukup bagi kaum pergerakan mengacung-acungkan pentungan dan teriak-teriak melalui mikrofon, sementara mekanisme kekuasaan di sekitarnya mereproduksi wacana-wacana penindasan yang merugikan aksi perjuangan itu. Maka, jika keadilan ingin dijunjung tinggi di bumi ini, fisik bukan hal yang utama, tetapi kecerdasan dalam mengelola wacana yang diutamakan. Sejauh bahasa dimengerti sebagaimana pengertian di atas, sebetulnya tidak  ada masalah. Watak bahasa memang selalu memberikan pengaruh kepada audiens/ pembacanya. Namun, jika kontrol normalisasi dan pendisiplinan itu mengabsahkan  tindakan ketidak-adilan, menormalkan ketidak-setaraan, serta mendukung penyalahgunaan kekuasaan, pada saat itulah relasi kuasa harus dibongkar. Oleh karena itu analisis wacana sangat penting untuk mengungkapkan kaidah kebahasaan yang mengonstruksi wacana, memproduksi wacana, memahamai wacana, dan melambangi suatu hal dalam wacana. Tujuan analisis wacana sendiri juga untuk memberikan wacana (sebagai salah satu eksponen bahasa) dalam fungsinya sebagai alat komunikasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TEORI BELAJAR SOSIAL; PROSES PEMBELAJARAN DI ERA DISRUPSI

Oleh: Elfany Alia Agustina

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Perubahan dalam perkembangan produk digital telah menciptakan nilai-nilai baru yang berkembang begitu cepat sehingga di dalamnya mengandung nilai bias dari berbagai kebudayaan. Dampak yang dirasakan masyarakat juga berimbas pada bidang pendidikan, dimana era disruptif telah membiasakan masyarakat untuk lebih sedikit mengeluarkan effort dalam proses belajar sehingga hal ini menjadi suatu tantangan baru bagi dunia pendidikan. Hal yang tidak disadari oleh masyarakat yaitu bahwa dalam era disrupsi segala sesuatu hal yang tidak berkembang itu akan tertinggal jauh dengan teknologi yang ada dan akan mati. Tuntutan era disruptif ini justru sering diabaikan, sehingga dampaknya pengrekrutan tenaga kerja manusia saat ini sangat terbatas. Berbagai sektor yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia saat ini telah digantikan dengan adanya sistem kecerdasan buatan. Target produk pendidikan saat ini tidak bisa hanya menargetkan lulusan yang pintar saja namun lebih mengutamakan lulusan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada. Komponen manusia sebagai motor penggerak pendidikan menjadi sangat perlu untuk ditingkatkan.

Proses belajar mengajar yang dinilai cocok diterapkan dalam era disruptif ini yaitu proses belajar mengajar yang mampu melibatkan peserta didik untuk turut aktif dalam menemukan, memproses dan mengkonstruksikan suatu ilmu dan keterampilan baru. Pandagan mengenai pembelajaran yang aktif dan cara penerapan hasil belajar sebagai akomodasui kognitif telah dikaji dalam teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut Bandura (Lesilolo, 2018) suatu perilaku belajar adalahhasil dari kemampuan individu dalam memaknai suatu informasi, memaknai suatu model yang ditiru, lalu mengolah secara kognitif dan menentukan tindakan sesuai tujuan yang dikehendaki. Proses belajar yang ditawarkan oleh Bandura dianggap sangat efektif untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkebangan individu, karena proses belajar ini mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan fisik dan sosial. Dengan demikian diharapkan produk proses belajar ini dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan era disrupsi.

Era Disrupsi dan Perkembangannya

Era disrupsi berkaitan dengan perubahan konsep dalam dunia teknologi yang lebih dikenal dengan revolusi industry 4.0. Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab, ekonom terkenal asal Jerman itu menulis dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja manusia. Revolusi industri pertama dikenal dalam era 1.0 yang terjadi pada akhir abad ke-18. Awal mula munculnya era ini dtandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada 1784. Kebanyakkan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga uap dan air, sehingga tenaga manusia dan hewan perlahan mulai tergantikan.

Selanjutnya revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20 dimana terdapat pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Sistem baru ini membuat beberapa perusahaan lebih efektif dalam mengelola pekerjaan. Lalu pada awal tahun 1970 mulai muncul penggunaan elektronik dan teknologi informasi untuk otomatisasi produksi, hal tersebut menjadi awal mula masuknya era revolusi industri 3.0. selain itu era ini ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC) yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah.

Sekaranglah zaman revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan sistem cyber-physical. Saat ini industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama internet of things. Dari pemahaman konsep revolusi industri itulah seluruh sektor kehidupan wajib menyesuaikan diri dengan perkembangannya. Revolusi zaman 4.0 kerap dinamakan era disrupsi. Teknologi di era ini telah memungkinkan terjadinya komunikasi bebas lintas benua, era ini juga sebagai tanda matinya jarak dalam kehidupan. Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan berbagai informasi tanpa terbatas waktu dan jarak.

Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Bandura ini merupakan perluasan dari teori belajar perilaku tradisional (behavioristik). Asumsi yang mendasari teori pembelajaran sosial adalah adanya pandangan bahwa manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari bagaimana kecakapan bersikap maupun berperilaku. Menurut Feist & Feist (2009) walaupun manusia telah banyak belajar dari pengalaman langsung namun mereka juga banyak belajar dari aktivitas mengamati perilaku orang lain. Adapun sudut pandang teoritis Bandura dalam teori belajar sosial yaitu:

1.     Pembelajaran pada hakikatnya berlangsung melalui proses meniru (imitation) dan pemodelan (modeling)

2.     Dalam initation atau modeling individu dipahami sebagai pihak yang memainkan peran aktif dalam menentukan perilaku mana yang hendak ditiru dan juga seberapa intens peniruan yang akan ia jalankan.

3.     Imitation atau modeling adalah jenis pembelajaran perilaku tertentu yang dilakukan tanpa harus melalui pengalaman langsung.

4.     Dalam Imitation atau modeling terjadi penguatan tidak langsung pada perilaku tertentu yang sama efektifnya dengan penguatan langsung untuk memfasilitasi dan menghasilkan peniruan. Individu dalam penguatan tidak langsung perlu menyumbangkan komponen kognitif tertentu (seperti kemampuan mengingat dan mengulang) pada pelaksanaan proses peniruan.

5.     Mediasi internal sangat penting dalam pembelajaran, karena saat terjadi adanya masukan inderawi yang menjadi dasar pembelajaran dan perilaku dihasilkan, terdapat operasi internal yang mempengaruhi hasil akhirnya.

Pada umumnya pembelajaran sosial (Social Learning) dapat diartikan sebagai suatu konsep dalam teori behaviorisme yang merupakan proses belajar dengan melibatkan kognitif yang terdiri dari fikiran, pemahaman dan evaluasi. Konsep belajar ini juga didukung dengan adanya keyakinan dalam individu untuk berhasil melakukan sesuatu atau lebih dikenal dengan efikasi diri. Proses belajar sosial umumnya lebih menekankan kepada kesan dan proses mental didalamnya, hal ini tampak pada isyarat perilaku eksistensial yang muncul. Menurut Albert Bandura manusia secara selektif belajar dengan mengamatan yang mereka alami, perubahan tingkah laku orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Pembelajaran sosial termasuk pembelajaran modelling.

Daftar referensi:

Atiah, N. (2020). Pembelajaran Era Disruptif Menuju Masyarakat 5.0. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang, 605-617.

Azizah, U., Acep, H.H., & Mohamad, E. (2021). Implementasi Teori Belajar Sosial Albert Bandura Pada Kurikulum Darurat Covid-19. Forum Paedagogik, 12(01). 1-14.

Lesilolo, H.J. (2018). Penerapan Teori Belajar Sosial Albert Bandura Dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah. KENOSIS, 4(02). 186-202.

Ruwaida, H. (2020). Belajar Sosial : Interrelasi Antara Indivisu, Lingkungan, dan Perilaku Dalam Pembelajaran Fiqih di MI Miftahul Anwar Desa Banua Lawas. Al-Madrasah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 4(02). 217-236.

Tarsono. (2010). Implikasi Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) Dari Albert Bandura Dalam Bimbingan dan Konseling. Psympatic, Jurnal Ilmiah Psikologi. 3(01). 29-36.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lagu-lagu PMII

Mars PMII

Inilah kami wahai Indonesia

Satu barisan dan satu cita

Pembela bangsa, penegak agama

Tangan terkepal dan maju ke muka

Habislah sudah masa yang suram

Selesai sudah derita yang lama

Bangsa yang jaya

Islam yang benar

Bangun tersentak dari bumiku subur

*Reff

Denganmu PMII

Pergerakanku

Ilmu dan bakti, ku berikan

Adil dan makmur kuperjuangkan

Untukmu satu tanah airku

Untukmu satu keyakinanku

Inilah kami wahai Indonesia

Satu angkatan dan satu jiwa

Putera bangsa bebas merdeka

Tangan terkepal dan maju kemuka

[2x Reff]

 

Hymne PMII

Bersemilah, Bersemilah

Tunas PMII

Tumbuh subur, tumbuh subur

Kader PMII

Masa depan Kita rebut

Untuk meneruskan perjuangan

Bersemilah, Bersemilah

Kaulah harapan bangsa

Bersemilah, Bersemilah

Tunas PMII

Tumbuh subur, tumbuh subur

Kader PMII

Masa depan Kita rebut

Untuk meneruskan perjuangan

Bersemilah, Bersemilah

Kaulah harapan bangsa

 


BERJUANGLAH PMII

Berjuanglah PMII berjuang

Marilah kita bina persatuan

Berjuanglah PMII berjuang

Marilah kita bina persatuan

Hancur leburkanlah angkara murka

Perkokohlah barisan kita

Siiiap!

*Reff:

Sinar api Islam kini menyala

Tekad bulat jihad kita membara

Sinar api Islam kini menyala

Tekad bulat jihad kita membara

Berjuanglah PMII berjuang

Menegakkan kalimat Tuhan

Menegakkan kalimat Tuhan

 

DARAH JUANG

Di sini negeri kami

Tempat padi terhampar

Samuderanya kaya raya,

Tanah kami subur Tuan

Di negeri permai ini

Berjuta rakyat bersimbah luka

Anak buruh tak sekolah

Pemuda desa tak kerja

*Reff:

Mereka dirampas haknya,

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Untuk membebaskan rakyat

 

BURUH TANI

Buruh, tani, mahasiwa, rakyat miskin kota

Bersatu padu rebut demokrasi

Genggam gempita dalam satu suara

Demi tugas suci yang mulia

Hari-hari esok adalah milik kita

Terciptanya masyarakat sejahtera

Terbentuknya tatanan masyarakat

Indonesia baru tanpa orba

Marilah kawan mari kita kabarkan

Di tangan kita tergenggam arah bangsa

Marilah kawan mari kita nyanyikan

Sebuah lagu tentang pembebasan

Di bawah kuasa tirani

Ku susuri garis jalan ini

Berjuta kali turun aksi

Bagiku satu langkah pasti

Berjuta kali turun aksi

Bagiku satu langkah pasti

Bagiku satu langkah pasti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Catatan

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………………



[1] Abercrombie, Nicholas.dkk. 2010. Kamus Sosiologi. Terjemahan oleh Desi Novianti. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

[2] Suharko. 2006. Gerakan Sosial Baru di Indonesia : Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1-34

[3] Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

[4] Chamadi, Muhamad dkk. 2019. Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto. Vol. 03 No. 02 : 242

[5] Chamadi, Muhamad dkk. 2019. Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto. Vol. 03 No. 02 : 244-245

[6] Paputungan, Alkaf. PMII dan Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 32

[7] Chamadi, Muhamad dkk. 2019. Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto. Vol. 03 No. 02 : 248

[8] Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi Gerakan Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 28

[9] Paputungan, Alkaf. PMII dan Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 35

[10] Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi Gerakan Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 36

 

[11] PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan. 2021. MODUL : Pelatihan Kader Dasar. Hal : 14

[12] PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan. 2021. MODUL : Pelatihan Kader Dasar. Hal : 15

[13] Paputungan, Alkaf. PMII dan Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 36-37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tadabbur Alam: Ada Apa dengan Alam?

KAWAL PMII MENGABDI BERSAMA SEKOLAH ADVOKASI

Tadabur Alam : memupuk kualitas menumbuhkan loyalitas