MODUL PKD 2022
BIODATA PESERTA
Nama
Lengkap:
|
…………………………………………………………………………...
Tempat,
Tanggal Lahir:
…………………………………………………………………………...
NIM
& Jurusan:
…………………………………………………………………………...
Nama
Kelompok:
…………………………………………………………………………………………………...
Alamat
Asal:
…………………………………………………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………………………...
Alamat
Sekarang:
…………………………………………………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………………………...
Visi
Diri:
…………………………………………………………………………………………………...
…………………………………………………………………………………………………...
Kontak
& Sosial Media:
Instagram:
Facebook:
Twitter:
Email:
No.
WA:
……………….,
2-5 Juni 2022
(………………………………)
DAFTAR
ISI
Sambutan Ketua
Rayon Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo 1
Tata Tertib
Pelatihan Kader Dasar 2
Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhaj Al-Fikr Wal Harakah 3
PMII dan Gerakan
Mahasiswa 4
Strategi
Pengembangan PMII 5
Nahdlatun Nisa 6
Peta Gerakan Islam 7
Format Politik dan
Ekonomi Indonesia 8
Ansos II 9
Paradigma PMII 10
Analisa Wacana 11
Belajar Sosial (Social
Learning) 12
Lagu-lagu PMII 13
SAMBUTAN
KETUA PMII RAYON PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
KOMISARIAT
UIN WALISONGO SEMARANG
-Sahabati
Lia Afiliani-
TATA
TERTIB
PELATIHAN
KADER DASAR (PKD)
RAYON
PSIKES 2022
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR WAL
HARAKAH
Oleh:
Ahlussunnah
Wal Jamaah yang sentimenta singkat menjadi Aswaja
berasal dari kata Ahl berarti
keluarga, sahabat ataupun pengikut, jika lafadz ahl dikaitkan dengan sebuah
aliran atau madzhab maka artinya adalah para pengikut aliran atau pengikut
madzhab (ahlul madzhab). Al-Sunnah
memiliki arti jalan, lebih jauh dalam ilmu hadits ia juga didefinisikan dengan
makna segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik dalam hal ucapan, perbuatan
ataupun pengakuan Nabi. Sementara al-Jama’ah
adalah sekumpulan orang atau golongan yang mempunyai tujuan. Bila dimaknai
secara lengkap, maka Ahlussunnah Wal Jamaah
adalah golongan mukminin yang mengikuti sunah Rasulullah SAW dan sunah para
sahabatnya.
Sejarah dan Pemaknaan ASWAJA
Sebagaimana halnya
Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) juga merupakan aliran atau paham
teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Secara historis,
para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw.
Sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu di antaranya
adalah ‘Ali bin Abi entiment., karena jasanya menentang pendapat Khawarij
tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan
daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa
kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi
saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al
Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil
menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis
sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan
sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin
ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau
Maturidiyah. Lebih lengkap lagi Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika
Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan
yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan
Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam Abul
Qasim alJunaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus
Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Ahlussunnah Wal Jamaah
adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir dan metode bergerak mencakup
semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga
keseimbangan, dan toleran. Kemoderatan Aswaja tercermin pada wacana berfikir
yang selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio. Metode (manhaj) seperti
inilah yang diimplementasikan oleh Imam Madzhab empat serta generasi lapis
berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial. Di NU sendiri metode
seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode bermadzhab dan disebut
dengan metode Manhajy yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan
masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan
pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.
Aswaja merupakan bagian
integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan)
disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan
Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari
setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam pada pemahaman dan
perilaku penghayatan kita masingmasing dalam menjalankan Islam.
PMII melihat
bahwa gagasan tersebut
sangat relevan dengan
perkembangan zaman,
karena muatan doktrin
Aswaja selama ini yang mengikat. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel
dan memungkinkan bagi pengalannya untuk menciptakan ruang kreativitas dan menelurkan ihtiar-ihtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
. Bagi PMII Aswaja juga
menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi
setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat
tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun
relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan
penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi
melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan
masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr Wal
Harakah
Dalam PMII, Aswaja
dijadikan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan metode bergerak (manhaj
alharakah). Sebagai upaya
‘kontektualisasi’ dan aktualisasi Aswaja tersebut, rupanya perlu bagi PMII
untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil
atau menempatkan Aswaja sebagai perspektif dalam rangka membaca realitas
Ketuhanan, realitas manusia dan kemanusiaan serta realitas alam semesta. Namun
tidak hanya berhenti sampai disitu, Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr wal Harakah
harus bisa menjadi ’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut
sebagai upaya mengkontekstualisasikan ajaran Islam sehingga benar-benar bisa
membawa Islam sebagai Rahmatan lil Alamin, dengan tetap memegang empat prinsip
dasar Aswaja , yaitu:
1. Tawasuth .
Moderat, penengah . Selalu tampil dalam
upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai
prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja. Mengutip Maqolah Imam Ali
Ibn Abi Thalib R.A.; “kanan dan kiri itu menyesatkan, sedang jalan tengah
adalah jalan yang benar”. Moderat tercernin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberikan porsi yang seimbang antara
rujukan nash (Al-Qur’an dan Hadits)
2. Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah
dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun,
dan sebuah pola pikir yang selalu
berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan). Sikap tawazun (netral) berkaitan denga sikap
politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau pemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebah rezim. Oleh sebab itu,
dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam pandangan mendukung
atau menolak sebuah rezim. Dengan Aswaja, PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakatai bersama,
namun tidak juga berarti
mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang terkandung dalam sikap tawazun ini
adalah memperhatikan bagaimana keterpenuhan kaidah dalam perjalanan sistem kehidupan
sosial-politik.
3. Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang
fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan
toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna “lakum dinukum waliyadin” dan
“walana a’maluna walakum a’maluku”, sehingga metode berfikir ala aswaja adalah
membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan entimental pribadi ataupun
bersama.
4. Ta’adul
Kesetaraan/Keadilan, adalah konsep tentang
adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja.
Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliah harus diilhami
dengan visi keadilan
Ta’adul (keseimbangan) dan tasamuh (toleran) tereleksikan dalam kehidupan sosial,
cara bergaul dalam kondisi sosial budaya. Keseimbangan dan toleransi mengacu
cara bergaul PMII sebagai muslim dengan golongan muslim atau pemeluk agama lain. Realitas masyarakat
Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik
dan agama, PMII memandanganya bukan semata-mata realitas
sosiologis, melainkan juga realitas terologis. Artinya bahwa Tuhan
memang dengan sengaja menciptakan
manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh karena itu tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.
Empat prinsip dasar
tersebut adalah solusi metodis yang diberikan Aswaja. Dengan metode ini
problem-problem dari realitas masa kini
sangat mungkin untuk menemukan solusi. Dan yang terpenting adalah empat prinsip
tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,
dan justru merupakan prinsip-prinsip dasar universalitas ajaran Islam sebagai rohmatan Lil Alamin.
Daftar
Pustaka:
PERGERAKAN MAHASISWA
ISLAM INDONESIA (PMII) DAN GERAKAN MAHASISWA
I.
Pengantar gerakan mahasiswa dalam PMII
Istilah
gerakan merupakan kajian sosiologis yang lebih familiar dengan istilah gerakan
sosial. Dalam kamus sosiologi (2010:177) gerakan sosial merupakan suatu bentuk
aksi bersama yang bertujuan untuk melakukan reorganisasi sosial, baik yang
diorganisir secara rapi maupun informal.[1] Gerakan
sosial didefinisikan sebagai suatu upaya untuk mengejar suatu kepentingan
bersama atau untuk mencapai tujuan bersama selalui tindakan kolektif. Gerakan
sosial dianggap sebagai sumber harapan
(source of hope) masyarakat dalam menghadapi perkembangan kehidupan yang semaki
kompleks.[2] George
Ritzer (2012 :140) menjelaskan bahwa gerakan sosial dapat terjadi karena dua
hal yaitu, pandangan individu yang dilegitimasi suatu kelompok atau yang kedua
ialah dikarenakan pandangan suatu kelmpok yang memunculkan gagasan bersama
dalam hal ini ialah mahasiswa.[3]
Mahasiswa
merupakan kelompok pelajar di perguruan tinggi dengan kematangan pembelajaran
tingkat lanjut atau andragogi. Mahasiswa sebagai salah satu komponen sosial,
tidak pernah lepas dari dialektis dengan struktur yang ada, baik sosial maupun
politik (Achmad, 2007:4). Mahasiswa sebagai pelaku sosial harus melakukan
respons terhadap perubahan yang terjadi. Mahasiswa memiliki peran yang besar
diantaranya sebagai agent of change (agen perubahan), moral force (kekuatan
moral), iron stock (generasi penerus) pada suatu bangsa.
Peran
pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mahasiswa yakni sebagai kekuata
korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan
dan sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada sehingga
diharapkan masyarakat dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih maju.
Gerakan
mahasiswa terbentuk atas dasar kesamaan ide dan gaagsan tentang agama, bangsa,
dan negara. Mahasiswa mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan ide dari
suatu organisasi yang mereka miliki. Dalam kontes beragama, mahasiswa islam
sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia yang secara umum telah memiliki
sudut pandang keagamaan lebih dari sekadar lingkup keimanan an-sich dan peribadatan.
Mahasiswa islam saat ini memiliki tujuan gerakan yang menggambarkan
karakteristik pribadi dan minat mahasiswa, khususnya dalam kegiatan yang
dilakukan oleh suatu organisasi yang bernuansa keislaman (Abdulloh Hadziq, 2019
: 59).
Pola-pola
institusional dari dinamika sosial mahasiswa islam melahirkan empat organisasi
mahasiwa islam yaitu salah satunya ialah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).[4] Gerakan
mahasiswa islam merupakan respon dari berbagai macam tantangan perkembangan
zaman dan ideologi yang muncul sebagai teori pada setiap permasalahan sosial.
Gerakan mahasiswa kemudian membuat sistem institusi yang berujung pada
terbentuknya sebuah oragnisasi.[5]
II.
Sejarah pergerakan mahasiswa islam di Indonesia
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia atau yang biasa disebut dengan PMII merupakan suatu
organisasi mahasiswa yang beridiologikan Aswaja Annahdliyah. Sosio-historis
lahirnya PMII merupakan dampak dari
kegelisahan Nahdliyyin bahwa kondisi obyektif mengarah pada perbedaan
gerakan mahasiswa dengan gerakan pelajar, di sisi lain adanya dorongan agar NU
memiliki sebuah organisasi mahasiswa sebagai wadah pengkaderan intelektual.
PMII
didirikan pada 17 April 1960. Pembentukan organisasi PMII bukanlah suatu yang
mudah, akan tetapi terdapat banyak sekali rintangan. Pada tahun 1950-an
mahasiswa NU sangat menggebu-gebu untuk mendirikan organisasi, akan tetapi
belum mendapatkan respon baik dari PBNU sebab PBNU menganggap NU belum perlu
adanya organisasi mahasiswa. Selain itu, PBNU menganggap bahwa IPNU (Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama) masih mampu untuk
menaungi atau menjadi wadah untuk mahasiswa NU.[6]
Alasan
mahasiswa NU menggebu-gebu untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU ialah
karena melihat realitas politik pada saat itu yakni banyak organisasi mahasiswa
yang didirikan di bawah naungan partai politik ataupun organisasi sosial
keagamaan. Semangat membara mereka dibuktikan dengan adanya Organisasi
Mahasiswa NU di Jakarta pada tahun 1955 yang dinamakan Ikatan Mahasiswa NU
(IMANU), di Bandung dengan nama Persatuan Mahasiswa NU (PMNU), dan di Surakarta
ada keluarga Mahasiswa NU (KMNU).
Gagasan
mendirikan organisasi mahasiswa NU yaitu ketika IPNU mengadakan konferensi
besar di Yogyakarta pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dengan melalui dua kali
muktamar yang akhirnya mahasiswa NU mendapatkan izin di konferensi besar
tersebut. Setelah koferensi selesai dilakukan maka dibentuklah 13 tim khusus
yang mewakili tiap-tiap daerah untuk merumuskan berdirinya organisasi mahasiswa
NU. Adapun puncaknya ialah penetapan peraturan dasar PMII pada tanggal 17 April
1960 yang akhirnya pada tanggal itu di nyatakan
sebagai hari lahir atau didirikannya organisasi yang diberi nama PMII.
Organisasi PMII bertujuan sebagai penggerak islam Ahlul al-sunnah wa al-jama’ah
yang berafiliasi dengan NU di kalangan mahasiswa (PB-PMII, 2005 : 14)
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) secara organisatoris bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap,
dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta berkomitmen dalam
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan indonesia.[7]
III.
Urgensi resposisi gerakan Mahasiswa
Indonesia
memiliki sejarah yang amat besar terhadap gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa
sebagai gerakan intelektual dan moral, bertanggungjawab penuh terhadap usaha
perbaikan dan pembenahan masyarakat.[8]
Dalam menyikapi tanggung jawabnya,
mahasiswa memiliki tiga tugas, yang pertama yaitu penguasaan ilmu secara
sungguh-sungguh, kedua membangun spiritualisme dalam dirinya dan ketiga ialah
membangun spiritualisme dalam masyarakatnya (Syahrin Harahap : 2005).
Sebagai
pelaku gerakan, mahasiswa dan pemuda mestinya memahami bahwa gerakan tidak
hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu dan bekerja khusus untuk urusan
politis. Reposisi gerakan perlu bagi sebuah gerakan mahasiswa sehingga pemuda
dapat menyesuaikan diri dengan ruh zaman. Pergulatan panjang sejarah dapat
dilihat dari rentetan kejadian-kejadian sebelumnya yang sangat penting dalam
sejarah bangsa Indonesia.
Sejarah
mencatat pemuda atau mahasiswa hendaknya tidak hanya mengandalkan belajar dari
bangku kuliah saja, akan tetapi juga belajar dari organisasi. Hal ini karena
organisasi merupakan salah satu wahana efektif yang dapat dijadikan wadah
pengembangan potendi diri, menjalin interaksi dengan orang lain, meningkatkan
kepekaan sosial serta membangun kritisisme dan idealisme kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pergeseran
zaman ini, perlu disikapi oleh mahasiswa PMII. Gerakan musti segera menambah
ruang dalam agenda advokasi, musti menambah ranah kompetensi dan keilmuan
sembari tetap menjalankan agenda-agenda ideologis-hagemonik sebagai penjaga
tradisi gerakan. Gerakan PMII musti kembali ke ruang intelektualitas,
wirausaha, sosial, keagamaan, seni, dan lainnya sesuai kompetensi kader yang
telah dibentuk dengan tidak meninggalkan tradisi politis kritis seperti
berdiskusi, menulis, dan turun jalan.
Idealisme
mahasiswa merupakan kebutuhan pokok bagi keberlangsungan gerakan mahasiswa.
Idealnya suatu gerakan tidak terkotak-kotak dalam pilihan posisinya, akan
tetapi gerakan mahasiswa harus mampu mensinergikan dan menkonsolidasikan kedua
posisi sekaligus.
IV.
Dampak dilakukannya Gerakan mahasiswa
Gerakan mahasiswa
memiliki nilai yang besar dalam membentuk perubahan bangsa ini. PMII sebagai
organisasi pergerakan hendaknya memiliki kepekaan sosial yang tinggi melalui
analisisnya. Karena sesungguhnya PMII memiliki arah baru dalam pergerakannya.
Sejak awal berdiri, PMII telah berkiprah dan mewarnai gerakan mahasiswa
nasional dan juga internasional. PMII menunjukkan gerakan dalam bidang politik
dan sosial. Selain itu, PMII melibatkan dirinya dalam forum pemuda sedunia di
Moskow.[9]
Sebagai gerakan
mahasiswa, PMII pernah berperan dalam pembubaran PKI di masa orde lama melalui
propaganda yang dilakukan oleh Mahbub Djunaidi. Tantangan semakin besar kettika
berada pada era orde baru. Hal ini dikarenakan, adanya kebijakan dari
pemerintah mengarahkan mahasiswa hanya pada jalur akademik dan menjauhkan
mahasiswa dari aktivitas politik.
PMII selalu melakukan kritik terhadap
pemerintahan. Terutama dalam hal ketidakadilan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Puncaknya ialah PMII terlibat dalam pelengseran rezim orde baru
dan pendudukan gedung DPR, sehingga terjadilah reformasi.
Seiring dengan pergantian pemimpin,
maka berubah pula gaya kepemimpinannya. Pasca reformasi, rezim yang memimpin
mulai membuka dialog dengan masyarakat. Di mana pada saat orde lama dan orde
baru gerakan mahasiswa sering untuk turun ke jalan dalam menyampaikan aspirasi.
Sedangkan pasca reformasi, mahasiswa diberi ruang untuk berdialog dengan rezim
yang memimpin.[10]
Dengan terbukanya rezim memimpin yang
menerima masukan ataupun kritikan, ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh
mahasiswa. Menjadi kesempatan besar bagi mahasiswa untuk melaksanakan tanggung
jawab yang dilabelkan kepada mahasiswa yaitu sebagai agent of change dan social
control. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus kritis dan peka terhadap
situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya, jika sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang menjadi kehendak rakyat maka mahasiswa harus mampu
menjadi penyambung antara rakyat dan pemerintahan.
V.
Kekurangan dan kelebihan gerakan mahasiswa yang
terjadi sampai detik ini
Perjalanan
panjang sejarah telah mencatat bahwa gerakan-gerakan Mahasiswa memiliki nilai
yang begitu luar biasa untuk perkembangan dan perubahan bangsa. Sebagai kader
PMII sudah selayaknya untuk melanjutkan perjuangan gerakan mahasiswa. Kader
PMII harus membuktikan bahwa mampu menjadi pembela bangsa dan penegak agama melalui
gerakan-gerakan konstruktif, beretika, dan transformatif.[11]
Seiring
kemajuan zaman, membuat semakin terbukanya wadah aspirasi bagi semua kalangan,
khususnya kader-kader PMII untuk melakukan gerakan transformatif dan tidak
bergantung pada aksi-aksi protes. Meskipun agenda tersebut merupakan
keniscayaan dan kewajiban dalam perjuangan, akan tetapi perlu adanya inovasi
gerakan yang mampu mengikat hati publik, khusunya pada era millenial saat ini.
Realitanya,
akhir-akhir ini gerakan mahasiswa justru sering terjebak pada pilihan status
dan posisi, apakah pro pemerintahan atau justru sebaliknya sebagai oposisi
pemerintah yang menjadi kekuatan kontrol atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Perdebatan dan perbedaan pandangan mengenai status dan posisi sering menuai jalan
buntu di dalam memsisikan gerakan mahasiswa yang ideal.
Terlepas dari pro dan kontra, bahwa kritisme dan idealisme seorang
mahasiswa merupakan kebutuhan pokok (basic need) bagi keberlangsungan
gerakan Mahasiswa. Gerakan-gerakan mahasiswa tidak hanya mengacu pada respon
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap memiliki dampak negatif
bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, gerakan-gerakan mahasiswa juga
turut serta mensukseskan kebijakan-kebijakan pemerintah yang memiliki dampak positif
bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat.
Peran dari gerakan PMII terlihat urgent dan bermakna dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bila orientasi dan sensitivitas kepeduliannya
dikedepankan. Hal ini sejalan dengan pilihan kata dalam namanya “Ke-Islaman”
dan “Ke-Indonesiaan”. Selain itu, juga mencerminkan cita-cita luhur the
founding fathers yang tertuang dalam mars PMII, yaitu “ilmu dan bakti
kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan ...”.[12]
Namun, setelah 24 tahun adanya reformasi justru banyak kegundahan
rakyat terhadap aktivitas gerakan mahasiswa ini. Tanggungjawab
yang embankan kepada mahasiswa sebagai agen
of change, social control jauh dari realita. Saat ini kebanyakan mahasiswa
lebih suka duduk manis di pusat perbelanjaan, kafe, dan jauh dari kehidupan
rakyat kecil. Selainitu, cenderung hanya mengikuti isu-isu yang sedang ramai di
media.[13]
Kurangnya
kesadaran pribadi dan kajian akan sudut-sudut kampus serta kurang pekanya
terhadap realitas sosial menjadikan gerakan mahasiswa hari ini kurang substansial.
Tidak hanya itu, diperlukan juga kajian bersama dalam menanggapi isu-isu
terkini yang dikritisi dan dikawal bersama agar gerakan mahasiswa kembali
menjadi gerakan yang penuh substansi dan tidak hanya eksistensi diri pribadi
maupun organisasi.
Daftar Pustaka:
Abercrombie,
Nicholas.dkk. 2010. Kamus Sosiologi. Terjemahan oleh Desi Novianti. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Chamadi, Muhamad dkk. 2019. Tipologi
Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto. Vol. 03 No.
02 : 242-248
Paputungan, Alkaf. PMII dan Gerakan
Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 32-37
PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan. 2021. MODUL : Pelatihan Kader Dasar. Hal :
14-15
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suharko.
2006. Gerakan Sosial Baru di Indonesia : Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 1-34
Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi Gerakan
Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 28
STRATEGI
PENGEMBANGAN PMII
Oleh: Aliza Zulkham Putri
PMII merupakan organisasi mahasiswa berbasis
kaderisasi yang terdapat di seluruh Indonesia. Sebuah strategi dan langkah
pengembangan organisasi merupakan keniscayaan sebagai jalan pilihan yang harus
terus dijalankan supaya ruh organisasi tetap hidup. Setiap masa memiliki
berbagai problem organisasi yang sangat kompleks dan harus dipecahkan secara
akurat dan benar. Tak ada pilihan lain, kecuali mendinamiskan organisasi dengan
peningkatan yang prestius, yakni kaderisasi yang terus menerus berkembang.
Pengembangan itu harus progresif dan maju, tidak normatif dan statis. Hal ini
dimaksud agar ke depan arah kaderisasi PMII semakin terstruktur dan mempunyai
visi yang jelas untuk mencapai cita-cita organisasi.
Pemaknaan
Pengembangan PMII
Pembinaan dan pengembangan adalah upaya pendidikan
baik formal maupun informal yang dilaksanakan secara sadar, terencana. Terarah,
terpadu, teratur dan bertanggungjawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan
membimbing dan mengembangkan suatu kepribadian yang utuh. Pembinaan dan
pengembangan diserahkan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian
serta membentuk sikap mental spritual berakhalkul-karimah sesuai dengan bakat
dan minat sertakemampuan sebagai bekal selanjutnya, atas prakarsa sendiri
menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesamanya maupun lingkungan
yang optimal . dari bekal yang dicapai melalui pembinaan dan pengembangan
tersebut merupakan jaminan gerak sistem perjuangan PMII dalam mencapai
cita-citanya.
Tujuan pembinaan pengembangan dan perjuangan PMII
diarahkan pada terbentuknya pribadi dan kondisi organisasi yang dapat mencapai
tujuan dan cita-cita PMII. Pribadi dan kondisi organisasi yang dimaksud adalah
tercapainya suatu sikap dan perilaku:
1. Terwujudnya kader-kader penerus perjuangan
PMII yang bertaqwa kepada Allah SWT, berpegang teguh pada ajaran agamaIslam
Aswaja serta Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan
hidup bangsa dan negara.
2. Terwujudnya penghayatan dan pengalaman
nilai-nilai ajaran agama islam Aswaja dan moral bangsa untuk memperkokoh alas
pijak dalam rangka menempuh kehidupan bermasyarakat, berbengsa dan bernegara
yang berkembang cepat sebagai akibat lajunya perkembangan IPTEK serta arus
globalisasi dan informasi.
3. Tumbuh dan berkembangnya kreatifitas,
dinamika dan pola berfikir yang mencerminkan budaya. pergerakan, selektif,
akomodatif, integratif dan konstruktif dalam menghadapi dan menyelesaikan
setiappermasalaahn baik secara individu, organiasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4. Tumbuh dan berkembangnya sikap orientasi
ke masa depan, orientasi fungsi dan produktifitas serta mengutamakan prestasi.
5. Terciptanya suatu organisasi sebagai
kehidupan organisasi sebagai suatu sistem yang sehat dan dinamis karena
didukung oleh nilai, aparat, sarana dan fasilitas serta teknik pengolahan yang
memadai sesuai dengan tuntutan PMII maupun tyuntutan lingkyunagn yang
senantiasa berkembang.
6. Terciptanya suatu kehidupan organisasi
yang dinamis, kritis dan cerdas dalam merebut tanggung jawab dan peran sosial
sebagai bentuk partisipasi dan pengalaman nyata pergerakan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga PMII dapat benar-benar menjadi
lembaga altenatif baik pada dimensi pemikiran maupun kualitas kepemimpinan dan
sumber daya manusia.
7. Tumbuhnya suatu situasi dan kondisi yang
mencerminkan kekokohan PMII yang betpijak pada nilai-nilai dan tradisi yang
dimilikinya serta mampu mencari alternatif yang paling mungkin dalam usaha
untuk tidak terseret pada polarisasi dan opini yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat yang dapat merugikan perjuangan mewujudkan cita-cita PMII.
8. Tersedianya kader-kader yang memadai baik
secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai konsekuensi logis dari arah PMII
s3ebagai organisasi pembinaan,pengembangan dan perjuangan yang dikhidmatkan
kepada agama, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Strategi-Strategi
Pengembangan PMII
Strategi yang dimaksud disini adalah adanya suatu
kondisi serta langkah-langkah yang mendasar, konsistensi dan aplikatif yang
harus dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita PMII. Dari
memahami strategi itulah maka untuk mencapai tujuan pembinaan pengembangan dan
perjuangan yang telah ditetapkan diperlukan strategi sebagai berikut:
1.
Iklim
yang mampu menciptakan suasana yang sehat, dinamis dan kompetitif yang selalu
dibimbing dengan bingkai taqwa, inteleqtualitas dan profesionalitas sehingga
mampu meningkatkan kualitas pemikiran dan prestasi, terbangunnya suasana
kekeluargaan dalam menjalankan tugas suci keorganisasian, kemasyarakatan dan
kebangsaan.
2.
Kepemimpinan
harus difahami sebagai amanat Allah yang menempatkan setiap insan PMII sebagai
Da‘I untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga kepemimpinannya selalu
tercermin sikap bertanggung jawab melayani, barani, jujur, adil dan ikhlas
serta di dalam menjalankan kepemimpinannya selalu penuh dengan kedalaman rasa
cinta, arif bijaksana, terbuka dan demokratis.
3.
Untuk
mewujudkan suasana taqwa, intelektualitas dan profesionalitas serta kepemimpinan
sebagai amanat Allah SWT diperlukan suatu gerakan dan mekanisme organisasi yang
bertumpu pada kekuatan dzikir dan fikir dalam setiap tata perilaku baik secara
individu maupun organisatoris.
4.
Struktur
dan aparat organisasi yang tertata dengan baik sehingga dapat mewujudkan sistem
dan mekanisme organisasi yang efektif dan efisien, mampu mewadai dinamika
intern organisasi serta mampu merespon dinamika perubahan eksternal.
5.
Produk
dan peraturan-peraturan organisasi yang konsisten dan tegas menjadi panduan
konsitutif, sehingga tercipta aturan mekanisme organisasi yang teratur dan
mempunyai kepastian hukum dari tingkat pengurus besar samapai pengurus rayon.
6.
Pola
komunikasi yang dikembangkan adalah komunikasi individual dan kelembagaan,
yaitu terciptanya komunikasi timbal balik dan berdaulat serta mampu membedahkan
antara hubungan individual dan hubungan kelembagaan ; baik kedalam maupun
keluar.
7.
Pola
kaderisasi yang dikembangkan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman kini
dan mendatang, sehingga fungsi kekhalifahan yang terjewantahkan dalam prilaku
keseharian, baik selaku kader bangsa maupun agama.
Modal
Dasar Sebagai Landasan Strategi Pengembangan PMII
1. PMII merupakan organisasi kemasyarakatan
pemuda yang eksistensinya dijaman oleh UUD 1945 dan karena itu menjadi aset
bangsa dalam melakukan proses pembinaan, dan pengembangan generasi muda
khususnya mahasiswa.
2. NDP sebagai nilai prinsip ajaran Islam
Aswaja merupakan sumber motivasi dan inspirasi pergerakan, sekaligus sebagai
pendorong, penggerak dan landasan berpijak dalam kehidupan pribadi insan PMII.
3. PMII sebagai organisasi mahasiswa islam
mempunyai keterikatan dan tanggung jawab dengan seluruh masyarakat bangsa
indonesia yang menganut sistem berfikir keagamaan, dan kemasyarakatan yang sama
yaitu ASWAJA dan sistem kebangsaan.
4. Peran kesejarahan PMII telah menunjukkan
kepelaporan dan patriotismenya dalam menegakkan dan membela agama. Selain itu,
PMII sebagai elemen civil sopciaty telah terbukti perannya dalam melakukan
pendampingan masyarakat, dalam usaha melakukan proses demokratisasi dikalangan
masyarakat dan sebagainya. Peran PMII dalam setiap perubahan, terutama dalam
menegakkan reformasi secara total, dalam segala lapis kehidupan kemasyarakatan.
5. Jumlah dan persebaran anggota PMII yang
berada di seluruh wilayah Indonesia sebagai sumber daya yang potensial. Dengan
kemapanan struktur organisasi dari tingkat pusat samapi daerah, maka sosilisasi
nilai dan gagasan serta kebijakan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
6. Ketaqwaan kepada Allah SWT merupakan acuan
dasar dan sekaligus menjadi Inspirasi bagi peningkatan Kualitas Diri menuju
kesempurnaan Hidup manusia sebagai hamba Allah SWT.
7. Jumlah dan penyebaran profesi alumni PMII
merupakan bagian potensi bagi pengembangan organisasi dan masyarakat.
8. Tipologi kader yang beragam warga PMII
merupakan modal utama dalam menyusun renstra Gerakan PMII. Setidaknya, ada 5
tipologi dan kecenderungan. Pertama, intelektual baik akademik (scholar) maupun
organik (analisis/praktis). Kedua, gerakan mahasiswa (Student Movement), baik yang
menggunakan baju organisasi maupun organ gerakan lainnya. Ketga, advokasi
sosial baik yang intens dengan pendampingan sosial kemasyarakat maupun advokasi
wacana. Keempat, politisi baik keterlibatan dalam panggungpun kontelasi politik
maupun persinggungan dengan dunia poltik. Kelima, kecenderungan profesional dan
enterpreneur. Hanya saja persebaran tipologi kader ini tidak merata, sehingga
cenderung ada disparitas pranata satu cabang dengan lainnya.
Faktor
Dominan Organisasi PMII
Dalam menggerakkan dan memanfaatkan modal dasar untuk
mencapai tujuan PMII dengan landasan serta azas-azas di atas, perlu
diperhatikan faktor-faktor dominan berikut:
1. Ideologi merupakan aspek dominan dari
organisasi PMII yang berisi padangan hidup, cita-cita serta sistem yang memberikan
arah terhadap tingkah laku dari setiap anggota PMII. PMII beraqidah Ahlussunah
Waljamaah dan atas dasar aqidah itulah PMII dengan penuh kesadaran berideolog
pancasila dalam kehidupan berbagsa dan bernegara di Indonesia. Aqidah dan
Ideologi tersebut merupakan faktor pendorong dan penggerak dalam proses
pembinaan, pembinaan, pengembangan dan perjuangan organisasi sekaligus sebagai
dasar berbijak dalam menghadapi proses perubahan dan gonjangan-gonjangan
ditengah-tengah masyarakat. Padangan terhadap wacana Islam yang inklusif dan
paradigma Kritis Transformatif dalam membangun masyarakat, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam diri PMII. Pola pandang keagamaan ini, merupakan
faktor dominan yang dimiliki PMIIdalam rangka pengembangan mendatang.
2. Komunitas Islam Ahlussunnah Waljamaah
sebagai sekelompok masyarakat terbesar Indonesia merupakan wahana dan tempat
pengabdian yang jelas bagi PMII.
3. Jumlah anggota PMII yang setiap tahunnya
bertambah dengan kuantitas yang cukup besar yang merupakan faktor strategis
yang menentukan usaha pembinaan generasi muda dalam proses kelahiran kader
bansa, sekaligus menjadi pelanjut kepemimpinan organisasi.
4. Jumlah alumni yang setiap tahunnya
bertambah, sejak berdirinya PMII tahun 1960 tersebut tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Dan bergerak dalam berbagai profesi dan disiplin ilmu yang
mengabdikan pada agama, masyarakat dan negara.
5. Sumber dana dan fasilitas yang tersebar di
berbagai komunitas dan kelompok terutama umat Islam merupakan aset yang perlu
dikoordinir, dikembangkan sebagai sumber dana perjuangan. Oleh karena itu PMII
harus mampu menjalin hubungan organisasi yang saling bermanfaat dan memberikan
nilai lebih antara keduanya yang pada akhirnya PMII mempunyai sumber dana
secara mandiri.
Strategi
Pengembangan PMII di Kampus
Dalam memahami arah strategi pengembangan PMII, maka
harus tetap mengacu pada perkembangan dunia kemahasiswaan dan Perguruan Tinggi.
Oleh karena basis masa PMII berada di dalam lingkungan kampus, maka PMII dan
kampus tidak boleh berseberangan, dalam arti ketentuan-kentuan yang terdapat
dalam Perguruan Tinggi harus bisa dibaca dan diimplementasikan ke dalam pilihan
pengembangan PMII. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Setiap warga PMII harus merebut Indeks
Prestasi (IP) tinggi
Mahasiswa
dengan IP tinggi memang tidak menjamin lebih baik dibanding mahasiswa yang
memiliki IP rendah. Tetapi IP bisa menjadi cerminan dari sebuah ketekunan,
kegigihan dan prestasi mahasiswa pada studi perkuliahannya. IP diperoleh
berdasarkan keaktifan selama kuliah berlangsung, kerjasama, prestasi akademik
serta hubungan yang baik dengan dosen yang merupakan bentuk pengakuan dosen
atas keseriusan mahasiswa dalam proses belajar. Pada intinya, IP tinggi
merupakan representasi kesuksesan mahasiwa di kampus, meskipun di luar belum
tentu.
2. Setiap warga PMII harus berprestasi dalam
potensi individu masing-masing
Skil
dan potensi personal yang dimiliki harus dikembangkan sehingga akan menjadi
modal dasar mahasiswa untuk membangun relasi prestasi dengan mahasiswa yang
lain. PMII harus membangun kegiatan yang sesuai dengan potensi mahasiswa,
sehingga PMII dapat menjadi wadah dalam mengembangkan potensi tersebut. Jika
potensi personal bisa dikembangkan, niscaya warga PMII akan menjadi mahasiswa
panutan untuk mahasiswa lain di berbagai sektor.
3. Setiap warga PMII harus merebut simpati
mahasiswa dengan menampilkan perangai yang baik dan akhlak karimah
Perilaku
sangat penting di dalam proses pembelajaran di kampus. Banyak kalangan
mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual bagus tetapi memiliki sikap yang
tidak baik. Sejatinya warga PMII memiliki perilaku yang mematuhi norma dan
etika dalam kampus sebagai upaya untuk menjaga marwah organisasi.
4. Setiap warga PMII harus merebut
jabatan-jabatan strategis di lembaga-lembaga kemahasiswaan
Langkah
ini merupakan bagian dari pengembangan kader PMII guna mencetak dan memberi
sumbangsih terhadap kebijakan sistem kampus. Posisi ini merupakan tempat yang
vital dan strategis untuk menjalankan roda kaderisasi PMII. Di samping itu,
posisi ini merupakan langkah konkrit PMII untuk memberi andil terhadap
kepemimpinan
mahasiswa.
5. Setiap warga PMII mutlak harus bisa
menulis
Menulis
merupakan kebutuhan pokok mahasiswa serta jalan paling ampuh untuk menyampaikan
gagasan. Di samping itu, dengan membiasakan menulis dapat mempertajam nalar
kritis mahasiswa dan analisis terhadap penelitian yang akan ditempuh seperti
skripsi, tesis, jurnal maupun disertasi.
Daftar
Pustaka:
Hifni, Ahmad. (2016). Menjadi
Kader PMII. Tangerang: Moderate Muslim Society (MMS).
Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2017).
Materi Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Cilacap:
Pergerakan Mahassiswa Islam Indonesia Jaringan Inti Ideologis.
Zainudin, M, Dkk. (2015). Nalar
Pergerakan Antologi Pemikiran PMII. Yogyakarta: Naila Pustaka.
NAHDLATUN NISA
Oleh:
Nahdlatunnisa
secara bahasa berasal dari kata Nahdlah
yang berarti kebangkitan dan Nisa
yang berarti perempuan. Sedangkan secara istilah, Nahdlatun Nisa adalah
kebangkitan perempuan dari masa ke masa yang mampu membongkar tradisi dan
kebijakan masyarakat yang mengandung nilai
diskriminasi, penindasan dan kekerasan serta mampu memelihara tradisi
lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik sesuai dengan “al-muhafadhotu ‹ala qodimis sholih wal
akhdzu bil jadidil ashlah”.
Kesetaraan gender Dalam Al-Qur’an
Di
dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun sunnah yang merupakan sumber utama ajaran
Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan
manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai
kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Dalam Kaitannya
dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya
perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat manusia. Berikut ini
beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan gender dalam Al-Qur’an.
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi Bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan
yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal,
perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengenal
pembedaan antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT. lelaki dan
perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara
lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam
Al-Qur’an yang menegaskan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Ayat-ayat tentang
prinsip kesetaraan gender itu bisa dirangkum ke dalam beberapa variable.yaitu :
a.
Tentang
hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Pada dan surat Hujurat ayat 13 yang
berbunyi,
يٰٓاَيُّهَا
النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا
وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ
ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya
: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti” (QS. al-Hujurat [49]: 13)
Dan
juga terdapat pada Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, yang pada
intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan
yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling
mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak
laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas
menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan
perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu
jenis atas jenis lainnya.
b. Tentang kedudukan dan kesetaraan antara
lelaki dan perempuan
Pada Surat Ali-Imran ayat 195,
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ
اَوْ اُنْثٰى ۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍ ۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا
مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا
لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ
تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ
حُسْنُ الثَّوَابِ
Artinya
: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan
mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala
yang baik.”
Dan juga dalam surat An-nisa ayat
124, surat An-nahl ayat 97, surat At Taubah ayat 71-72, surat Alahzab ayat 35.
Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada
perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman,
bertaqwa dan beramal. Allah SWT. juga memberikan peran dan tanggung jawab yang
sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya.
Allah SWT. memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk
semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat
antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT. adalah sama, dan yang membuatnya
tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
Selain
ayat-ayat yang menekankan keadilan gender tersebut, praktek kehidupan sosial
pada masa nabi diakui telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang
setara dengan laki-laki. Struktur patriarki pada masa jahiliyah dibongkar
Islam, dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang pada masa sebelumnya
tidak diberikan. pada masa jahiliyah, perempuan tidak diberi hak untuk mewarisi
misalnya, Islam memberikannya. Jika pada masa perempuan masyarakat arab
membenci kelahiran seorang anak perempuan, Islam justru membenci tradisi
masyarakat Arab tersebut dan memberikan janji pahala bagi yang memperlakukan
anak perempuan sebagaimana memperlakukan anak laki-laki.
Dengan
adanya Agama Islam, perempuan kemudian mulai mendapatkan perlakuan yang tidak
lagi dijadikan sebagai objek, perempuan diberikan kesempatan dan kedudukan sama
halnya dengan laki-laki, Allah SWT telah berfirman dalam QS. AnNisa ayat 19 :
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ
وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ
اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ
فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ
فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.”
Menilik
dari penafsiran salah seorang pengarang kitab tafsir yakni Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa ayat ini “perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri,
perempuan) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan.
Sebagaimana engkau menyukai bila dia berbuat demikian, maka engkau (semestinya)
juga berbuat yang sama.” Rasulullah SAW sendiri telah memberikan tauladan untuk
selalu memuliakan perempuan, apalagi kepada istrinya. Dalam hadistnya :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا. رواه الترميذى
Dari
Abu Hurairah berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik terhadap para istrinya.“(HR. Tirmidzi). Rasulullah telah
memberikan penegasan bahwa sempurnanya akhlak kepada sesama merupakan
manifestasi dari iman yang sempurna.
Merujuk
dari pendapat K.H. Faqihuddin menjelaskan, melalui hadis ini Rasulullah
mengingatkan bahwa berbuat baik kepada perempuan menjadi syarat keimanan, dan
pengakuan tegas Rasulullah mengenai posisi dan martabat kemanusiaan perempuan.
Sikap dan perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah menjadi sebuah penekanan
kepada masyarakat jahiliyah yang ketika itu yang belum mengakui adanya kaum
perempuan.
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa Agama Islam memberikan dampak baik yang
begitu banyak terhadap perempuan. Allah SWT dalam firman-Nya juga telah
mengakui akan adanya kedudukan manusia (baik laki-laki maupun perempuan), bahwa
keduanya sama-sama diciptakan dari satu ‘nafs’, dan tidak ada yang lebih unggul
antara satu dengan yang lain.
Namun,
pada kurun pertama kebangkitan peradaban Islam, sepeninggal khulafa’
al-Rasyidin, sejarah mencatat terjadi perubahan fundamental dalam struktur
kekuasaan kekhalifahan Islam, dari sistem pemerintahan yang demokratis menjadi
sistem monarki yang absolute. Benar pada masa ini Islam mengalami kejayaan.
Namun bersamaan dengan degrades politik ini, terjadi pula degradasi kedudukan
perempuan. Begitu sistem monarki diterapkan, raja-raja dari kerajaan-kerajaan
Islam yang telah menyebar ke berbagai belahan dunia mengambil alih sistem
pergundikan non Islami dari kerajaan-kerajaan di wilayah Islam. Parahnya,
tindakan ini dilegitimasi dengan membuat hadits-hadits palsu seiring dengan
banyaknya pemalsuan hadits, baik karena kepentingan politis,ideologis ataua
yang lain. Nasib perempuan tergantung
diujung struktur kepribadian suaminya, sebagaimana nasib rakyat bergantung
diujung kepribadian sang raja. Kekerasan raja dan sikap mereka yang otoriter.
Parahnya, struktur masyarakat yang patriarkihis ini semakin diperkuat dengan
semakin membludaknya karya-karya intelektual yang memang terjadi seiring dengan
masa-masa keemasan Islam.
Salah
satu faham manusia mengenai nilai-nilai ajaran agama sebagai penyebab
ketidakadilan gender, sebagaimana terungkap dalam relasi sejarah. Berupa adanya
asumsi bahwa perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya,
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial
atau kultural, melalui ajaran keagamaan dan negara. Melalui proses panjang,
sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan bersifat
biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan
dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Pemahaman yang tidak
bersifat konstruktif terhadap ajaran agama, khususnya agama Islam dalam
masyarakat tersebut, mengakibatkan manusia maklum, bahwa permasalahan
ketidakadilan gender disebabkan adanya legitimasi ajaran agama terhadap sikap
dan perilaku diskriminatif diantara mereka dalam relasi sosial. Sebagaimana
dimaklumi bahwa kehadiran Islam bagi umat manusia dimaksudkan sebagai tuntunan
yang mengatur hak dan kewajiban manusia agar mereka dapat saling berlaku adil.
Bahkan secara khusus al-Qur’an berbicara mengenai hak perempuan, sebagaimana
dinyatakan bahwa ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibanya menurut cara yang ma’ruf (baik) (QS.Al-Baqarah : 228)
Feminisme Islam
Feminisme
dalam Islam tentu saja tidak menyetujui setiap konsep atau pandangan feminis
yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai
lawan perempuan. Disisi lain, feminisme Islam tetap berupaya untuk
memperjuangkan hak-hak kesetaraan perempuan dengan laki-laki, yang terabaikan
di kalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub
ordinat laki-laki.
Dengan
demikian, feminisme Islam melangkah dengan menengahi kelompok
tradisional-konservatif di satu pihak dan pro feminisme modern dipihak lain.
Feminisme Islam inilah yang oleh Mahzar disebut dengan Pasca Feminisme Islam
Integratif, yang menempatkan perempuan sebagai kawan laki-laki untuk
membebaskan manusia dari tarikan naluri kehewanan dan tarikan keserbamesinan di
masa depan. Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang disebut
Riffat Hassan “Islam pasca-patriarkhi”, yang tidak lain adalah dalam bahasa
Riffat sendiri “Islam Qur’ani” yang sangat memperhatikan pembebasan manusia,
baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan tradisionalisme,
otoritarianisme (agama, politik, ekonomi atau yang lainnya), tribalisme,
rasisme, seksisme, perbudakan atau yang lain-lain yang menghalangi manusia
mengaktualisasikan visi Qur’ani, tentang tujuan hidup manusia yang mewujud
dalam pernyataan klasik: kepada Allah lah mereka kembali. Tujuan Islam Qur’ani
adalah untuk menegakkan perdamaian yang merupakan makna dasar Islam. Tanpa
penghapusan ketidaksetaraan, ketidaksejajaran dan ketidakadilan, yang meliputi
kehidupan manusia, pribadi maupun kolektif, tidak mungkin untuk berbicara
tentang perdamaian dalam pengertian yang diingankan al-Qur’an.
Gerakan feminisme Islam (harakah tahrir
al-mar’ah) dalam sejarah Islam sendiri, khususnya di Indonesia, berlangsung
dalam beberapa cara. Pertama, melalui pemberdayaan terhadap kaum perempuan,
yang dilakukan melalui pembentukan pusat studi wanita di perguruan-perguruan
tinggi, pelatihan-pelatihan dan training-training gender, melalui
seminar-seminar maupun konsultasi-konsultasi. Kegiatan seperti ini biasanya
dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki konsen
dengan persoalan-persoalan keperempuanan, Selain itu, lembaga-lembaga dalam
konsen ini juga dikenal dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan Negara yang
dinilai merugikan keberadaan perempuan.
Kedua,
melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang melalui fiqh
pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya, Hak-Hak
Reproduksi Perempuan, yang ditulis dengan gaya dialog, melalui sastra, baik
novel cerpen sebagaimana tampak dari karya-karya Nawal el-Sadawi seperti
Perempuan di Titik Nol dan sebagainya.
Ketiga,
melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam
sejarah masyarakat Islam, yang berhasil menempatkan perempuan yang benar-benar
sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang
istimewa dalam berbagai bidang, baik politik, pendidikan, keagamaan, dan
lain-lain. Karya-karya Fatima Mernissi yang berjudul Ratu-ratu Islam yang
Terlupakan, karya Ruth Roded yang berjudul Kembang Peradaban, karya Hibbah Rauf
Izzat yang berjudul Wanita dan Politik dalam Pandangan Islam, merupakan
sebagian contoh dari gerakan feminisme jenis ini.
Keempat,
melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an
maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam hal ini dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan
hermeneutic dan melibatkan pisau analisis yang ada dalam ilmu-ilmu sosial untuk
menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Ini
dilakukan sebagai alternatif terhadap penafsiran klasik yang cenderung
mempertahankan makna literal teks-teks yang tampak patriarkhis tersebut. Fatima
Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Riffat Hassan dan Asghar Ali Engineer sangat
intens dalam melakukan gerakan feminisme jenis ini.
Daftar
Pustaka:
PETA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA:
ERA KOLONIAL HINGGA REFORMASI
Oleh: Rusda Khoiruz
Pada
dasarnya, Islam di Indonesia memiliki corak dan karakter yang
sangat beragam. Baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Hal ini tercermin
dengan adanya banyak organisasi keislaman yang dari waktu ke waktu
semakin bervariasi. Sementara itu, salah satu di antara sekian faktor yang
menjadikan diskursus pemikiran dan gerakan keislaman menjadi sangat
beragam ialah persinggungan antara agama dengan negara di suatu wilayah
tertentu khususnya di Indonesia. Sebab bagaimanapun juga, konteks sosial
dan politik sangat menetukan eksistensi agama itu sendiri. Lebih dari
itu, kondisi sosial, politik, dan budaya yang berbeda-beda antar satu wilayah
satu dengan yang lain ini juga turut berpengaruh menentukan peta dan
gerakan Islam di Indonesia.
Setali
tiga uang dengan hal tersebut, maka tidak mengherankan jika di dalam
tubuh umat Islam terdapat banyak sekali ragam dan cara pandang sendiri
terkait pemahaman keagamaan yang mereka yakini, entah itu cara pandang
pribadi atau secara organisasi yang pada muaranya melahirkan gerakan
keislaman yang berbeda-beda yang terpencar di seluruh penjuru tanah air. Karena
kemajemukan yang ada ini pula, orientasi dan tujuan yang diperjuangkan
antar gerakan keislaman pun berbeda beda.
Perkembangan
wacana dan gerakan Islam di Indonesia setidaknya dapat dilacak merentang
mulai era kolonial sampai reformasi. Pada titik inilah sebagai generasi
masa kini, sudah sepatutnya kita dituntut kritis, bukan malah apatis
terhadap perkembangan wacana dan gerakan keislaman yang semakin beragam
coraknya ini.
Era
Kolonial, Bermunculannya Gerakan Keislaman
Pada
masa penjajahan, Islam begitu dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah
kolonial. Tiap gerak-gerik gerakan keislaman selalu dicurigai dan diawasi.
Sebagian kaum muslim saat itu yang telah sadar berpandangan bahwa
mengusir penjajahan dari Hindia adalah kewajiban dan jihad fi
sabilillah. Karena pada dasarnya, ajaran dan nilai-nilai yang dibawa
agama Islam mengandung semangat perlawanan, yakni perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan, penindasan, dan menuntut terciptanya keadilan dan
kesetaraan. (Badri Yatim: 2003: 252).
Salah
satu hal dari umat Islam yang dianggap berbahaya dan berpotensi menjadi
ancaman bagi pemerintahan kolonial ialah ibadah haji ke tanah suci. Para
haji dan ulama, khususnya yang telah lama menetap di sana, yang pulang dari
Makkah inilah para pembawa embrio api perlawanan. Bahkan perang Jawa
(1825-1830) serta pemberontakan-pemberontakan kaum tani sepanjang paruh
kedua abad 19 dipelopori oleh para ulama dan haji. Ini menjadikan
pemerintah kolonial waspada terhadap urusan ibadah haji.
Oleh
karena itu pemerintah kolonial sempat mengeluarkan banyak peraturan untuk
mempersulit umat Islam melaksanakan ibadah haji. Atas dasar kekhawatiran,
pemerintah kolonial pada tahun 1825 kemudian mengeluarkan ordonasi haji
yang berisi pembatasan dan pengetatan jumlah jama’ah haji yang hendak
berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya yaitu dengan menaikkan
biaya haji (Aulia Ahsan, Ivan: 2017). Raffles dalam bukunya The
History of Java juga mengatakan “karena mereka (para haji) begitu
dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar
berontak dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa penguasa
pribumi”.
Tak
hanya berhenti di situ, haji-haji di desa dan pemimpin pergerakan yang
bergelar haji seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbah mendapatkan
pengawasan ganda. Apalagi pemerintah kolonial mulai khawatir kalau
haji-haji ini mendapat pengaruh soal nasionalisme dan Pan-Islamisme—yang
tengah marak tersebar di Mesir kala itu—yang diusung Rasyid Rida dan
kawan-kawan ketika berada di Makkah.
Lahirnya
Sarekat Islam
Kendati
belum ada wadah untuk menghimpun gerakan perlawanan secara terorganisir,
perlawanan demi perlawanan terus bergulir yang di antaranya dimotori oleh
semangat pembebasan ajaran Islam. Baru pada tanggal 16 Oktober 1905, Haji
Samanhudi bersama saudara dan sahabatnya mendirikan organisasi yang
dinamakan Sarekat Dagang Islam. Kelak organisasi ini menjadi cikal bakal
lahirnya Sarekat Islam (Shiraishi, Takashi. 2005: 55). Awalnya,
organisasi bentukan Haji Samanhudi ini merupakan perkumpulan pedagang
batik yang salah satu orientasinya bersaing dengan pedagang asing
terutama Cina yang ingin menguasai ekonomi pribumi serta menggalang
solidaritas antar pedagang Islam pribumi.
Berkat
keadaan politik waktu itu, atas saran H.O.S Tjokroaminoto, SDI akhirnya
berganti nama menjadi Sarekat Islam pada 12 September 1912. Bermula dari sini
pula SDI mulai bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang
kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam secara resmi. Perubahan nama
tersebut juga menghendaki agar keanggotaan organisasi tidak hanya
terbatas pada golongan pedagang saja, namun juga diperuntukkan umat Islam
yang ada di Indonesia secara luas.
Selain
itu, H.O.S Tjokroaminoto turut memberikan landasan yuridiksi Sarekat
Islam yang lebih luas lagi dari semula pada masa SDI hanya mengurusi
persoalan sosial dan ekonomi, ke arah politik. Dari sini lantas SI
menyumbangkan semangat perjuangan Islam kepada penduduk pribumi untuk
mengobarkan api perlawanan terhadap kolonialisme dan kesewenang-wenangan
pada masa itu. Dengan demikian, pergerakan Sarekat Islam ini lebih
mementingkan rakyat banyak daripada golongan tertentu (Yasmis. 2009:
22).
Tidak
mengherankan jika kehadiran Sarekat Islam ini ditunggu-tunggu oleh
rakyat, karena situasi waktu itu pun menuntut adanya suatu organisasi massa
yang tidak elitis guna menyalurkan aspirasi rakyat Hindia. Saat kongres
pertama pada bulan Januari 1913 yang digelar di Surabaya, ditegaskan
bahwa Sarekat Islam bukan partai politik. Tak jauh berbeda dengan kongres
di Solo, diputuskan pula bahwa Sarekat Islam terbuka buat rakyat
Indonesia. Untuk menjaga independensi agar Sarekat Islam tetap menjadi
organisasi rakyat, dilakukan pembatasan pegawai negeri sebagai anggota.
Meski begitu, sesungguhnya pergerakan organisasi ini jelas terlihat
memperjuangkan hak-hak rakyat di bidang politik (Yasmis. 2009: 26).
Akan
tetapi, pada tahun 1920-an, tubuh Sarekat Islam dilanda polemik yang
dipicu oleh adanya Volksraad, sejenis Dewan Rakyat bentukan pemerintah
kolonial tahun 1918. Kubu Sarekat Islam yang menempuh jalan kooperatif,
memasukkan anggotanya di Volksraad, antara lain H.O.S Tjokroaminoto, Agus
Salim, dan Abdul Moeis. Langkah yang ditempuh pimpinan Central Sarekat
Islam (CSI) ini mengakibatkan kekecewaan dan kecaman di kubu sebagian
kader Sarekat Islam yang menghendaki berjuang di jalur non-kooperatif,
dan ingin bergerak secara revolusioner. Dipimpin oleh Semaun, pimpinan SI
cabang Semarang, protes SI di berbagai daerah pun akhirnya bermunculan.
Sebab kubu ini berkeyakinan bahwa bahwa fungsi Volksraad hanya untuk
mengelabuhi rakyat serta tokoh-tokoh pergerakan (Purnama, Agung 2020). Akibat
perseteruan tersebut, SI terpecah menjadi dua kubu, SI putih kubu H.O.S
Tjokroaminoto dan SI merah kubu Semaun. Pada tahun 1921, SI putih,
berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), lantas pada 1927 berubah lagi
menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tahun-tahun
berikutnya, di dalam tubuh SI putih terjadi banyak perpecahan.
Sementara
SI merah, pimpinan-pimpinannya bergabung dengan Indische Social
Demokratische Vereniging (ISDV), dan melebur ke dalam Partai Komunis
Indoensia pada Mei 1920. Pengaruh SI merah terhadap organisasi buruh kereta api
dan trem sangatlah besar. Lantaran melakukan pemberontakan di Jawa pada
November 1926 dan di Sumatera pada Januari 1927, PKI akhirnya dibubarkan
pemerintah kolonial dan banyak tokoh-tokohnya dibuang ke Boven Digul
(Syukur, Abdul 2008: 1).
Lahirnya
Nahdlatul Ulama
Kemudian
pada 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di kampung Kertopaten Surabaya,
diprakarsasi oleh sejumlah ulama nusantara, lahirlah Nahdlatul Ulama
(NU). Perlu diketahui, memahami NU dari kacamata formal sebagai
organisasi keagamaan saja belumlah cukup. Karena jauh sebelum NU lahir
menjadi sebuah jam’iyyah, ia terlebih dahulu ada dan berwujud sebagai
jama’ah (komunitas), yang terikat kuat dengan tradisi keagamaan yang mempunyai
karakteristik tersendiri (Fahrudin Fuad. 2009: 50).
Sebelumnya,
para kiai pesantren, digawangi Kiai Wahab Chasbullah, telah mendirikan
organisasi pergerakan yang bernama Nahdlatul Wathon atau
Kebangkitan Tanah Air pada 1916 dan Nahdlatut Tujar atau
Kebangkitan Saudagar pada 1918. Dan pada 1914, Kiai Wahab Chasbullah juga
telah mendirikan kelompok diskusi yang beliau beri nama Taswirul Afkar
atau kawah candradimuka pemikiran. Ada pula yang menyebutnya sebagai Nahdlatul
Fikr atau Kebangkitan Pemikiran. Secara mudah, NU merupakan lanjutan
dari organisasi-organisasi pergerakan ini namun dengan segmen dan cakupan
yang lebih luas.
Embrio
lahirnya NU terutama didasari atas keresahan para ulama pesantren tatkala
Dinasti Saud di Arab Saudi yang beraliran Wahabi hendak membongkar makam
Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah umat Islam dari seluruh
penjuru dunia yang dianggap bid’ah. Lain daripada itu, Raja Saud juga
berencana menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab dalam
teritori kekuasaannya.
Bagi
ulama pesantren, sentiment anti-mazhab yang notabene berupaya memberangus
tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam bakal menjadi ancaman
bagi Islam itu sendiri. Hal ini membuat K.H Abdul Wahab Chasbullah
gelisah, yang lantas beliau melakukan langkah strategis yaitu membentuk
panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari
1926 karena lobi-lobi beliau pada Kongres Al-Islam keempat Centraal
Comite Chilafat (CCC) tahun 1925 dengan para tokohnya seperti K.H Mas
Mansur, H.O.S Tjokroaminoto dan lain-lain yang salah satu usulannya yaitu
“Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus
mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab” menemui
jalan buntu.
Sebelumnya,
pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirimkan ke Muktamar Dunia Islam ini
telah mendapat restu K.H Hasyim Asy’ari. Maka, Komite Hijaz pada 31
Januari 1926 mengundang ulama terkemuka untuk melakukan musyawarah
mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Makkah. Dipimpin K.H
Hasyim Asy’ari, musyawarah memunculkan satu nama yaitu K.H Raden Asnawi
Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun, setelah K.H.R Asnawi terpilih
timbul pertanyaan institusi apa yang berhak mengirim beliau? Lalu
lahirlah jam’iyyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul K.H Mas Alwi bin
Abdul Aziz) (Ahmad, Fathoni 2020)
Lebih
jauh dari itu, secara umum dalam buku “Nahdlatul Ulama dari Politik
Kekuasaan Sampai Pemikiran Keagamaan”, dijelaskan ada tiga aspek yang
menjadi landasan berdirinya organisasi dengan massa terbesar di Indonesia
ini. Pertama, adanya motivasi keagamaan. Maksudnya, untuk menghindarkan
agama Islam dari politik kristenisasi yang sedang gencar-gencarnya
dipropagandakan waktu itu. Kedua, yaitu untuk membangun semangat
nasionalisme demi mencapai kemerdekaan. Dari sini terlihat bahwa komitmen
NU bukan sebatas persoalan keagamaan saja, melainkan juga demi
mempertahankan komitmen kebangsaan. Dan alasan ketiga ialah
mempertahankan ajaran ahlussunnah wal jama’ah dari serangan paham
sebagian kaum modernis Islam yang mengusung jargon purifikasi ajaran
Islam yang sejatinya tidak cocok dengan konteks keberagaman dan
kebudayaan di nusantara sekaligus tidak relevan dengan perkembangan zaman
(Ainul Yaqin, Hasan 2019: 6-7).
Sebagai
sebuah organisasi massa Islam tradisional, NU selalu berpegang teguh pada
prinsip Almuhafadhotu ‘ala Qodim al-Shalih, wa al-Akhdu bi al-Jadidi
Ashlah, yakni menjaga tradisi lampau yang baik, dan mengadopsi hal yang
baru yang lebih baik. Jargon ini merupakan cerminan bahwa NU mempunyai
cara paradigmatik dalam mempribumisasikan Islam di nusantara.
Transformasi
Nahdlatul Ulama
Memasuki
era kemerdekaan, tepatnya pada 15 April 1952, NU memutuskan keluar dari
Masyumi dan menyatakan diri sebagai parpol. Alasan berubahnya NU menjadi
parpol ini lantaran Masyumi sering tidak mengakomodir gagasan NU. Seperti
usul NU agar Masyumi diubah menjadi badan federasi. Namun usul ini selalu
diabaikan (Isnaeni, Hendri F 2017).
Sangat
memprihatinkan bila organisasi dengan massa terbesar yang tersebar di
berbagai wilayah, bahkan sampai pedesaan cuman dipandang sebelah mata
suaranya oleh Masyumi. Selain itu juga ada alasan politis yang mendasari
mengapa NU dan Masyumi bersitegang. Bermula dari sinilah NU memulai babak
baru dengan menceburkan diri ke dalam praktik politik kekuasaan.
Beubahnya NU menjadi parpol salah satunya merupakan suatu bentuk upaya
agar suara umat Islam di lingkungan birokratis didengarkan. Meski begitu,
kita tidak bisa menafikan bahwa sebagian warga nahdliyyin tetap beprinsip
untuk terus bergerak di bidang pemikiran keagamaan dan gerakan
kultural.
NU
Pada Era Orde Baru
Hubungan
antara agama dan Negara di era Orba ini seperti yang pernah disinggung
Cak Nur, bersifat antagonistik. Tak terkecuali kepada organisasi
keagamaan seperti NU dan yang lain. Semua bakal dibabat habis bila sampai
mengganggu stabilitas negara. Hanya gerakan yang berkoalisi dan sejalan
dengan Orba saja eksis, itupun dengan catatan “selama tidak mengusik stabilitas
negara”. Bahkan, untuk meredam suara dari berbagai kelompok, Orde Baru
hanya memperbolehkan 3 parpol saja, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. NU
bersama Parsmusi, PSII, dan PERTI dileburkan ke dalam PPP.
Lalu,
pada tahun 1984, melalui Muktamar NU ke-27 yang digelar di Pesantren
Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo, NU kembali lagi ke Khittah 1926. Kembali lagi
ke Khittah artinya kembali pada semangat perjuangan 1926, saat NU
didirikan, bukan kembali secara harfiah. Tujuan kembali ke Khittah juga
berarti NU akan kembali berfokus pada gerakan-gerakan kultural seperti
pendidikan, ekonomi, serta dakwah. Sebelum adanya seruan untuk kembali ke
Khittah, tak dapat dielak bahwa NU sedang giat-giatnya memperjuangkan
aspirasi rakyat dari represi Orba lewat PPP. Namun kenyataannya juga
pahit, kelompok kritis NU sedikit demi sedikit disingkirkan sehingga
kadar perjuangan dalam PPP menurun. Ngenesz memang og.
Gerakan
Islam Era Reformasi
Saat
reformasi bergulir, saat di mana kran demokrasi dibuka, memungkinkan bagi
lahirnya gerakan Islam yang beragam. Sebab pada masa sebelumnya, yaitu
Orde Baru, banyak organisasi gerakan keislaman yang harus bersembunyi di
balik tirai demi menghindari represifitas negara yang sedang
otoriter-otoriternya. Meminjam istilah Nurcholis Madjid, hubungan antara
agama dengan negara waktu itu bersifat antagonistik (Basyir, Kunawi:
348).
Beberapa
gerakan keislaman yang menutup diri semasa Orde Baru berkuasa seperti
Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah Islam
Indonesia, Perti dan golongan serupa mulai berani menampilkan corak
keislamannya menurut keyakinan masing-masing tanpa harus ada yang
ditakuti. Tak ketinggalan pula organisasi tradisional NU maupun
Muhammadiyyah yang mengusung gerakan modernis turut andil meramaikan
kebebasan di era reformasi.
Pada
intinya, gerakan-gerakan Islam yang bermunculan saat reformasi bergulir
itu menjadi suatu bentuk kritik baik dalam ranah sosial, ekonomi,
pendidikan dan lain-lain terhadap pemerintah yang menurut mereka tidak
becus mengelola negara. Sementara cara yang mereka tawarkan pun
berbeda-beda. Ada yang hingga menyeru secara radikal untuk mengganti
ideologi negara dan mendirikan Dawlah Islamiyyah Khilafah dengan dalih
kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah—secara leterleg. Bagi kelompok
ini, kedaulatan hanya milik Tuhan dan bahwa betuk pemerintahan Syari’ah
lah merupakan satu-satunya solusi yang mampu memenuhi kebutuhan dan
kepentingan seluruh umat muslim (Basyir, Kunawi: 353). Lain daripada itu,
kelompok ini juga memandang sistem pemerintahan demokrasi adalah
sekuler.
Meskipun
NU dan Muhammadiyyah kerap melancarkan kritik kepada pemerintah, namun
kritik yang disampaikan kedua kelompok ini tidak sampai pada visi untuk
mengubah paradigma Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah berdasar
UUD 1945 apalagi mengubah Pancasila. Oleh karena itu, kader PMII sudah
sepatutnya ambil peran dalam mempertahankan NKRI.
Paradigma
Pemikiran Politik Islam Subtantif-Inklusif & Legal-Eksklusif
Secara
umum, sebetulya ada dua paradigma pemikiran politik Islam yang melandasi
banyak gerakan keislaman di Indoensia, sekaligus yang berkembang di dunia
kaum muslim. M. Syafi’i Anwar dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita,
mengetengahkan paradigma itu adalah (1) subtantif-inklusif & (2)
legal-eksklusif (Anwar Syafi’I,, pengantar,, Wahid Abdurrahman
2011).
Dalam
paradigma subtantif-eksklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan
bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep teoritis yang
berhubungan dengan politik. Setidaknya ada empat ciri menonojol paradigma
ini. Pertama, kepercayaan kepada Al-Qur’an sebagai kita suci yang
membahas etika dan pedoman moral buat kehidupan umat manusia termasuk
bagaimana cara menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan
lain-lain, tetapi tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa
umat Islam harus mendirikan negara Islam.
Kedua,
pendukung paradigm ini berpandangan bahwa
misi Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau Negara. Namun
lebih kepada seperti yang dilakukan nabi lainnya, yakni mendakwahkan
nilai-nilai Islam dan kebajikan. Mengutip pemikir Mesir Husain Fawzi
al-Najjar, fokus utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah
lebih tertuju pada upaya mempersatukan pemeluk Islam daripada membangun
sebuah Negara atau system pemerintahan. Hal ini terbukti sesudah nabi
wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk menggelar musyawarah dan
memutuskan siapa pengganti beliau, yang akhirnya terpilih lah Abu Bakar.
Sedangkan kita tahu pergantian kepemimpinan para sahabat pasca nabi wafat
mulai Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan
mekanisme yang berbeda.
Ketiga,
paradigma subtantif-inklusif berpendapat
bahwa syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang
berkaitan dengan peerintahan atau system politik. Sebab Islam dipandang
semata-mata sebagai agama, syrai’at seharusnya tidak dietakkan ke dalam
domain Negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka system keimanan
Islam. Syari’at, merupakan jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis
dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar orientasi-orientasi etis yang
mulia.
Keempat,
penganut paradigma ini dalam bidang
politik pada dasarnya yaitu melakukan upaya yang signifikan terhadap
pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial
dari nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik. Dalam konteks Indonesia,
paradigma ini cenderung menghendaki eksistensi artikulasi nilai-nilai
Islam yang intirnsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam
dalam masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi haruslah mengambil
bentuk kulturalisasi, bukan malah politisasi.
Sementara
itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum antara lain. Pertama,
paradigma ini meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga
sebuah sistem hokum yang lengkap. Para pendukung paradigma ini sepenuhnya
yakin bahwa Islam merupakan totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama),
daulah (Negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya,
paradigma ini didesain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan sesuai
Islam, mulai dari lingkup terkecil keluarga sampai menjangkau seluruh
permasalahan ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Kedua, paradigma
ini mewajibkan kepada umat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Role
model utama dalam paradigma ini untuk mewujudkan “Negara Islam yang
ideal” berkiblat pada bagaimana nabi dan Khulafa ar Rasyidin dalam
mengatur tatanan kemasyarakatan. Akibatnya, paradigma ini menganjurkan
penolakan terhadap konsep-konsep politik Barat seperti demokrasi karena
dianggap bertetangan dengan Islam.
Ketiga,
dalam paradigma ini, syari’at
diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan, dan harus dijadikan sebagai dasar
dari sebuah Negara beserta konstitusinya, kemudian diformalisasikan ke
dalam seluruh proses pemerintahan, hingga menjadi pedoman perilaku
politik penguasa. Apapun yang terjadi, paradigma ini mengharuskan umat
Islam untuk menegakkan syari’at Islam sebagai alternatif terhadap
sistem-sistem dunia yang berlaku. Keempat, paradigma ini
membayangkan terwujudnya masyarakat politik Islam, seperti munculnya
partai Islam, ekspresi idiom-idiom politik secara simbolis, budaya Islam,
serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia,
paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologisasi atau politisasi
yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.
Salah
satu pemikir Islam yang juga turut meramaikan wacana keislaman di Indonesia
adalah Gus Dur. Benang merah yang dapat kita ambil dari banyak pemikiran
Gus Dur salah satunya yakni penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi
dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur justru melihat bahwa
kejayaan Islam dapat diraih dengan kemampuan yang ada pada agama ini
untuk berkembang secara kultural. Hal itu terlihat terutama dalam
tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural?”. Di situ ia
menafsirkan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Udkhulu fii as-Silmi
kaaffah” yang mana kata “Al-Silmi” sering ditafsirkan secara literal oleh
para pendukung Islam Formalis sebagai “islami”. Sementara Gus Dur
menafsirkan kata tersebut sebagai “perdamaian”.
Bagi
Gus Dur, implikasi dari perbedaan kedua penafsiran itu sangatlah luas.
Mereka yang terbiasa dengan formalisasi akan terus terobsesi untuk
mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental hingga mengabaikan
pluralitas masyarakat Indonesia dan tidak sesuai dengan perkembangan
Islam di Indonesia, yang dikenal juga sebagai “negerinya kaum muslim
moderat”. Gus Dur berpandangan bahwa Islam di Indonesia sejatinya muncul
dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Selain itu, Gus
Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam untuk
mempolitisasi tafsir secara tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan.
Dengan demikian, penolakan Gus Dur akan formalisasi, ideologisasi, dan
syari’atisasi Islam mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang
Negara Islam.
Daftar
Referensi:
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirosah
Islamiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme
Rakyat di Tahun !912-1926. Jakarta: Pustaka Grafika Utama.
1990.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam
Kita. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2011. Fahruddin, Fuad. Agama dan
Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta:
Pustaka Alvabet. 2009.
Syukur, Abdul. Kehancuran Golongan Komunis
Indonesia. Jurnal Sejarah Lontar: Vol 5 No. 2 Juli Desember 2008.
Basyir, Kunawi. Ideologi Gerakan Politik Islam. Al-Tahrir,
Vol. 16, No. 2 November. 2016. Artikel Hasan Ainul Yaqin. Modul PKD
PMII Komisariat Walisongo 2019.
Yasmis. Sarikat Islam dalam Pergerakan Nasional
Indonesia 1912-1927. Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 6, No. 1
Januari-Juni. 2009.
Artikel Agung Purnama. https://www.nu.or.id/post/read/120737/congres-ke-13-nu-- volksraad--dan-perpecahan-sarekat-islam diakses
pada Selasa, 16 Maret 2021 pukul 21.24.
Artikel Hendri F Isnaini. https://historia.id/politik/articles/mengapa-nu-keluar-dari
masyumi-PzMm8/page/3 diakses pada Selasa, 16 Maret 2021 pukul 22.54.
Artikel Fathoni Ahmad. https://www.nu.or.id/post/read/116035/sejarah-singkat-berdirinya
nahdlatul-ulama. diakses pada Rabu, 17 Maret 2021 pukul 23:38.
EKONOMI-POLITIK INDONESIA DALAM
ARUS KEKUASAAN
Oleh:
Jika
kekayaan 26 orang teratas diakumulasikan jumlahnya setara dengan kekayaan
setengah masyarakat Bumi.
Di
Indonesia, kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia tercatat sebesar
25 miliar dolar AS atau sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Dua pernyataan tersebut diambil dari laporan Oxfam untuk beberapa
tahun belakangan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi yang
sangat mendasar di tengah masyarakat kita. Ditengah-tengah kemakmuran dan
kekayaan yang dinikmati terdapat reproduksi kemiskinan dan kesengsaraan yang
terus menerus terjadi. Melebarnya jurang ketimpangan sosial antara kaya dan
miskin benar-benar ada termasuk di Indonesia. Hari ini, kita mengecam tindakan
perbudakan sebagai pelanggaran besar. Namun di saat yang bersamaan kita
memperbudak diri sendiri dengan peningkatan tekanan-tekanan kompetitif,
efisiensi, dan keuntungan yang memaksa kita untuk terus bekerja dan bekerja
menggunakan ilmu pengetahuan dan alat bernama teknologi untuk menjadi manusia
yang sukses menurut standar masyarakat saat ini; kesejahteraan finansial. Akan
tetapi, walaupun kita menuruti logika kesejahteraan masyarakat modern, apakah
kerja keras selalu bisa membuahkan hasil yang diinginkan? Apakah kita
menyetujui standarisasi bahwa uang adalah alat utama yang harus dimiliki untuk
memperoleh kesejahteraan sosial dan satu-satunya cara untuk memperolehnya
adalah dengan upah (menjadi pekerja)?
1.1
Gambaran Logika Masyarakat Modern Hari Ini
Pertanyaan
tersebut diharapkan dapat memberikan pemantik mengenai pembahasan ekonomi
politik selanjutnya, utamanya di Indonesia sendiri. Kita mengetahui bahwa
manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan oleh karenanya ia
disebut sebagai makhluk sosial. Pemenuhan akan kebutuhan itu berhubungan erat
dengan proses produksi, reproduksi, dan distribusi barang dan jasa sehingga
tidak dapat terlepas dari kegiatan ekonomi yang memiliki keterkaitan dengan
sebuah permasalahan; bagaimana cara memanfaatkan sumber daya yang terbatas
untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Dalam
konteks yang lebih besar yakni negara, ekonomi berurusan dengan sumber daya
yang ada di negara tersebut meliputi kekayaan alam, sumber daya manusia dan
modal. Hal tersebut menjadikan ekonomi berhubungan dengan dinamika siapa
pemegang kekuasaan di negara tersebut karena untuk mengalokasikan sumber daya
di antara masyarakat membutuhkan ‘power’ atau ‘kekuasaan’ yang hanya dapat
dipegang oleh pemimpin yang memerintah pada saat itu. Oleh karenanya jika kita
menarik benang merah antara ekonomi, negara, dan politik kita tidak bisa
menampikkan relasi kuasa terhadap bagaimana mereka mempengaruhi cara
masyarakatnya untuk mendapatkan dan menetapkan kebutuhan yang berkaitan
dengannya. Bagaimana pengaruh tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi yang
akan terjadi dan/atau solusi dari permasalahan yang menumpuk.
Dinamika
Kepemimpinan di Indonesia
Secara teoritis,
terdapat dua pendekatan ekonomi politik yang berhadapan, yaitu pendekatan yang
berpusat pada pasar (market oriented) dan pendekatan yang berpusat pada
negara (state centered). Pendekatan yang yang berpusat pada negara
didasarkan atas asumsi bahwa negara memiliki agenda sendiri dalam hubungannya
dengan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Sejak orde lama
hingga reformasi, Indonesia telah mengalami beberapa pergantian pemimpin dengan
berbagai model kepemimpinan yang mempengaruhi kondisi ekonomi-politiknya:
Soekarno (Orde Lama,
1945-1966)
Pasca
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum dapat melaksanakan
pembangunan ekonomi secara utuh karena harus mempertahankan kemerdekaan hingga
tahun 1949 yang ditandai dengan berbagai peristiwa diantaranya Agresi Militer
Belanda 1 dan 2, Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa, Pertempuran 10 November
yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan dan perjuangan lainnya. Dalam
masa kepemimpinan Soekarno, Indonesia mengalami tiga fase perekonomian: fase
penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, fase penguatan pilar ekonomi dan fase
krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada era Soekarno Indonesia mengalami
berbagai kendala dari merenggangnya hubungan pusat dan daerah, peredaran uang
yang terlalu banyak, kemunculan uang palsu, kekurangan barang, kemerosotan
ekspor perkebunan, korupsi, dan perdagangan gelap hingga beban utang Belanda
yang dibebankan ke Indonesia. Setidaknya ada beberapa kebijakan yang diambil
pada masa Soekarno yaitu program Benteng tahun 1950 berupa pembinaan kepada
pengusaha pribumi, nasionalisasi perusahaan asing, pembentukan Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas), penurunan nilai uang (devaluasi), deklarasi
ekonomi, peningkatan perdagangan dan perkreditan luar negeri, dan peleburan
bank.
Soeharto (Orde Baru,
1966-1998)
Soeharto
menjadi presiden dengan jabatan terlama yakni 32 tahun. Pembangunan para era
Soeharto cenderung kapitalistik, di mana ide-ide neoliberal bersarang di
dalamnya terutama dalam membuka pintu secara lebar bagi investasi swasta asing
dan peningkatan utang luar negeri. Menjelang awal tahun 1970-an bekerja sama dengan
Bank Dunia, dibentuk Inter-Government Group on Indonesia (ICGI) yang terdiri
atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia.
Puncak kegagalan pembangunan ekonomi Orde Baru ditandai dengan krisis moneter
yang melanda Indonesia. Sementara itu pada rezim Orde Baru juga terdapat
kekerasan dan teror terhadap perlawanan kaum buruh dan kaum tani yang meningkat
tajam sejak 1980an. Terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari ekonomi
neoliberal di Indonesia yaitu dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta
misalnya eksploitasi hutan di Indonesia yang mencapai 2,5 US Dollar miliar
hanya 17% yang masuk ke kas negara sedangkan 83% lainnya masuk ke kantong
pengusaha HPH juga melalui privatisasi BUMN, meningkatnya utang negara dan munculnya
kesenjangan ekonomi.
BJ Habibie (1998-1999)
Pada
saat kepemimpinan BJ Habibie, Indonesia menghadapi tantangan untuk memulihkan
kondisi ekonomi akibat krisis moneter yang sangat parah dan utang luar negeri
yang menumpuk. Krisis perekonomian tidak hanya menyebabkan turunnya nilai
rupiah tetai juga kebangkrutan sektor industri dan manufaktur. Selain itu
terdapat kekacauan dengan tragedi Mei 1998 yang menghancurkan pusat-pusat
bisnis miliki orang-orang Tionghoa. Sehingga pada masa ini Habibie menerbitkan
berbagai kebijakan keuangan dan moneter melalui reformasi bidang ekonomi
sehingga terjadi penurunan laju inflasi dan persebaran kebutuhan pokok Kembali
membaik
Abdurrahman Wahid
(1998-2001)
Akibat kriris moneter pada tahun 1997-1998 yang masih menyisakan
dampak pada era reformasi, Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang
bertugas memperbaiki perekonomian Indonesia. Gus Dur juga melakukan
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Selain itu terdapat kebijakan Gus Dur
berupa menaikkan gaji pegawai negeri dan menghapus bunga terhadap kredit petani
dan pengusaha mikro kecil dan menengah.
Megawati Soekarnoputri
(2001-2004)
Megawati
mengambil keputusan dalam mengakhiri program reformasi Kerjasama dengan IMF
pada Desember 2003 dan dilanjutkan privatisasi perusahaan negara dan divetasi
bank untuk menutup defisit anggaran negara. Setelah mengakhiri Kerjasama dengan
IMF, Megawati menerbitkan Intruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket
Kebijakan Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas
ekonomi makro.
Soesilo Bambang
Yudhoyono (2004-2014)
Saat
memimpin Indonesia, SBY menerapkan beberapa kebijakan yaitu meningkatkan
komoditi ekspor, pelunasan utang terhadap IMF, serta penaikan harga BBM selama
beberapa kali. Pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22
persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi
Indonesia jangka panjang. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen,
berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23
persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56
persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.
Joko Widodo
(2014-sekarang)
Jokowi merombak struktur APBN dengan mendorong investasi,
pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia berdaya
saing. Sejak kemunculan virus korona pada tahu 2019, Jokowi juga menerapkan
berbagai kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional yang tergerus
akibat terbatasnya mobilitas masyarakat karena pandemi. Di masa Jokowi turut
disahkan UU yang menuai pro kontra hingga memunculkan aksi-aksi demontrasi
terhadap UU Cipta Kerja.
Dilema
Keadilan dan Regulasi Ekonomi
Dalam
konsep ekonomi dikenal dua jenis barang berupa barang individu dan barang
publik. Keputusan untuk mengkonsumsi barang individu tidak menciptakan dampak
terhadap individu-individu lainnya karena sifatnya yang ekslusif untuk dirinya
sendiri (private). Sebaliknya, setiap pengambilan keputusan untuk
mengkonsumsi barang publik akan berdampak pada individu-individu dalam
masyarakat karena sifatnya yang terkait atau memiliki kepentingan kolektif.
Karena sifat tersebut, cara memanfaatkannya menuntut peranan atau intervensi
pemerintah dan peraturan yang disepakati dalam suatu proses pengambilan
keputusan kolektif. Adapun yang dimaksud dengan barang publik disini ialah
kekayaan alam, sumber daya manusia, dan modal, ataupun yang tergambarkan dalam
UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Beralih
pada konsep bisnis yang kerap bersentuhan dengan hak milik orang lain atau hak
publik, maka sistem ekonomi dan kegiatan bisnis tidak bisa terlepas dari
bingkai peraturan ekonomi. Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana seharusnya
pelaku bisnis menggunakan hak milik untuk urusan bisnisnya? Bagaimana pula
pelaku di sektor negara memainkan kekuasaannya untuk membangun sistem ekonomi
yang kondusif sekaligus adil?
Keputusan untuk menentukan status, konsumsi, dan pemanfaatan
barang publik harus sepenuhnya melibatkan pemerintah dan kepentingan seluruh
masyarakat di dalamnya. Akan tetapi, dalam perkembangan ekonomi-politik dikenal
pula istilah Rent Seeking dimana para birokrasi atau birocratic polity menawarkan
kebijakannya demi mendapatkan keuntungan secara pribadi. Hal inilah yang harus
dihindari karena berimplikasi pada kerugian publik. Contoh yang sering terjadi
adalah melalui korupsi.
Seperti
yang telah dipaparkan di awal, bahwa dalam konsep ekonomi-politik berkaitan
erat dengan kekuasaan. Dalam praktiknya, kekuasaanan muncul dalam bentuk
relasional atau kekuasaan langsung, dan dalam bentuk kekuasaan tidak langsung
atau kekuasaan struktural. Kemampuan relasional adalah kemampuan mengorganisasikan
sumber daya untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Kekuasaan
struktural adalah kemampuan membentuk dan menentukan struktur (misalnya
struktur ekonomi pertanian), termasuk di sini kekuasaan struktural dilakukan
melalui berbagai regulasi yang mempengaruhi jalannya aktivitas ekonomi. Dalam
praktek, kekuasaan struktural ini jauh lebih sering dilakukan penguasa,
misalnya dengan menentukan agenda wacana dalam masyarakat, merancang regulasi
pasar dan bagaimana aktor-aktor ekonomi harus bertindak, dan lain-lain
Regulasi dalam segala bidang, yang ditetapkan pemerintah (negara)
sebagai kebijakan, menurut Donald Rotchild adalah menghubungankan kepentingan
publik dengan kepentingan individu. Di sinilah interaksi ekonomi dapat
dilakukan negara dengan kekuasaan yang legal formal, dengan paksaan, atas nama
kepentingan publik. Kemampuan pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat
tergantung pada aturan main (regulasi ekonomi) yang ditentukan institusi
politik. Bagaimana cara mengoptimalisasikan pengelolaan sumberdaya ekonomi yang
ada, sekaligus bagaimana institusi politik mengelola sumberdaya kekuasaan, dan
hasilnya menguntungkan individu secara memuaskan, sekaligus memenuhi
kepentingan bersama (publik)? Inilah persoalan yang senantiasa muncul ketika pendekatan
ekonomi politik akan diimplementasikan dalam sebuah formulasi kebijakan. Maka
dari itu, seorang penguasa harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan dan
hendaknya memperhatikan dampak yang diberikan bagi masyarakatnya, jangan sampai
kebijakan itu sebatas profit oriented yakni demi kepentingannya sendiri.
Referensi
Damayanti, Christy. 2009. Dimensi Kekuasaan dalam Ekonomi. Jurnal
Ekonomi dan kewirausahaan Vol. 09. No.01.
Hakim, Abdul. 2012. Perbandingan Perekonomian dari Masa Soekarno
hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009). Jurnal Ekonomika-Bisnis Vol. 03.
No. 02.
Mufti, Muslim. 2018. Ekonomi Politik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Pratiwi, Ayu. 2021. Kebijakan Ekonomi: Perspektif Ekonomi Politik
dalam Pembanguan di Indonesia. Jurnal Abiwara: Jurnal Vokasi Administrasi
Bisnia Vol. 03 No. 01.
Rachbini, Didik J.. 2002. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan
Publik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Swanvri, dkk. 2012. Pengantar Ekonomi Politik. Yogyakarta: Resist
Institute.
Artikel “Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa” https://jeo.
kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa diakses
pada Rabu, 11 Mei 2022 pukul 19.35 WIB.
Artikel “Neoliberalisme dan Indonesia” https://news.detik.com/
opini/d-1136671/neoliberalisme-dan-indonesia diakse pada Rabu, 11 Mei 2022
pukul 20:39 WIB.
ANALISIS
DAN GERAKAN SOSIAL
Oleh:
A.
PENGANTAR
ANALISIS ANSOS
Analisis Sosial (Ansos)
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka menemukan
apa yang belum ia ketahui di lingkungan sekitarnya. Realitas sosial (kenyataan
kemasyarakatan) adalah sebuah objek kajian dalam kegiatan ini. Analisis Sosial
dapat diktakan sebuah upaya seseorang untuk mengungkap apa yang sesungguhnya
terjadi dalam realitas sosial yang terjadi hadapannya. Dalam kondisi yang
seperti itulah peran dan fungsi analisis sosial sebagai salah satu praktik
kehidupan. Analisis sosial menjadi bagian yang penting karena diperlukan untuk
mengidentifikasi dan pemahaman masalah secara lebih seksama. Bukan hanya itu,
namun sejuga melihat akar masalah dan ranting masalah sekaligus membangun
ukuran dengan lebih baik untuk kelompok yang dirugikan. Dengan adanya kita bica
membaca peta analisis sosial kita mampu memahami potensi (kekuatan-kelemahan-peluang-tantangan)
yang ada dalam komunitas serta membangun prediksi berupa tindakan-tindakan
sebagai upaya untuk mengubah.
B.
PARADIGMA
TEORI SOSIAL
Paradigma sosial
merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara
pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori
yang ada. Istilah paradigma awal mulanya diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962)
dalam karyanya ‘The Structure of Scientific Revolution’. Konsep
paradigma dipopulerkan dalam sosiologi oleh Robert Friedrichs (1970) melalui
karyanya ‘Sociology of Sociology’. George Ritzer (1992) menulis
secara spesifik paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Dalam
bukunya ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science’, Ritzer memaparkan tiga
paradigma sosiologi sebagai ilmu sosial. Dan tiga paradigma tersebut adalah
paradigma fakta sosial, paradigma devinisi sosial, dan paradigma perilaku
sosial.
1. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial
berbicara mengenai sebuah batasan bagi perilaku manusia (individu) yang mau
tidak mau harus di patuhi, untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan
bermasyarakat yang lebih teratur dan damai. Contohnya adalah ketika seseorang
melewati lampu lalu lintas, dan seketika lampu tersebut menunjukkan warna
merah, dalam hal ini tandanya berhenti, orang yang ingin melewati lampu lalu
lintas tersebut, mau tidak mau harus berhenti. Begitu pula ketika lampu
menunjukkan warna hijau yang berarti jalan, kita harus jalan. Begitulah salah
satu fakta sosial. Terdapat dua teori di dalam paradigma ini. Struktural
fungsional dan teori konflik.
2. Paradigma Definisi sosial
Paradigma ini berbicara
mengenai perilaku seorang individu aktif yang mampu menciptakan sebuah realitas
sosial tersendiri. Contoh dari definisi sosial ini adalah ketika seseorang
melakukan sesuatu aktivitas, maka aktivitasnya tersebut terdapat sebuah tujuan,
dimana tujuan ini mampu menciptakan membentuk sebuah realitas sosial
tersendiri. Terdapat tiga teori utama dalam paradigm definisi sosial, yaitu
teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi, dan
juga dramaturgi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Fokus utama paradigma ini
pada hadiah atau penguatan (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan
dan hukuman (punishment) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Jika tidak
mendapat ganjaran atau hukuman yang tidak diharapkan, ia akan marah dan semakin
besar kemungkinan orang tsb akan melakukan perlawanan dan hasil tingkah lakunya
makin berharga bagi dirinya. Jika dapat ganjaran atau lebih, maka akan
menunjukan tingkah laku persetujuan. Dan hasil tingkah lakunya semakin berharga
baginya.
C.
EMPAT
PARADIGMA SOSIOLOGIS
Para ahli sosiologi telah
bersepakat untuk menetukan cara baru dalam menganalisa empat paradigma ( dengan
tetap memasukkan unsur-unsur penting dari asumsi teori sosial diatas ). Empat
paradigma itu adalah.
1. Paradigma fungsionalis
Paradigma inilah yang
paling banayak dianut didunia, mereka condong kepada pendakatan realis,
positivis, determinis, dan nomoetis. Rasionalitas merupakan ‘ tuhan’ bagi
mereka. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
a. Pandangannya berakar kuat pada sosiologi
keteraturan dengan pendekatan obyektivis.
b. Memusatkan perhatian pada kemapanan,
ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, empiris.
c. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa
sosial, berorientasi pragmatis.
d. Mendasarkan pada filsafat rekayasa soaial
untukdasar bagi perubahan sosial.
2. Paradigma interpretatif.
Penganut paradigma ini cenderung menaganut sosiologi
ketaraturan yaitu ilmu sosial yang mengutamakan kesatuan dan kerapatan.
pendekatannya cenderung nominalis, anti positifis dan ideografis.pada
pekembangan selanjutnya paradigma ini sering disebut sebagai aliran
fenomenologis. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
a. Pada dasarnya menagnut sosiologi
keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektif dalam analisis
sosialnya.
b. Mereka ingin melihat kenyataan sosial
seperti apa adanya.
c. Kenyataan sosial dibentuk oleh kesadaran
dan tindakan seseorang.
d. Anggapan dasar masih tetap didasarkan pada
pandangan manusia serba tertib, terpadu dan rapat, kematangan, kesetiakawanan,
dan kesepakatan.
3. Humanis radikal
Paradigma yang dianut
oleh orang-orang yang berminat mengembangkan ilmu soisal perubahan radikal dari
pandangan subyektivis. Pendekatan yang kemudian dipakai adalah nominalis, anti
positivistik, volunteris dan ideolografis. Pandangan dasarnya bahwa ada satu
suprastruktur ideologis diluar diri yang membelenggu dan berhasil memisahkan
dirinya dengan kesadarannya ( alenasi ) dan melahirkan kesadaran palsu.
Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
a. Para penganutnya berminat mengembangkan
sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis.
b. Pendekatannya sama dengan kaum
interpretaktif ( nominalis, anti-positivis volunteris, dan ideolgrafis )
tetapi, cenderung menekankan perlunya menhilangkan atau mengatasi serbagai
pembatasan tatanan sosial yang ada.
c. Kesadaran manusia telah dikuasai atau
dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang diluar dirinya.
d. Agenda utama : memahami kesulitan manusia
dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatana sosial yang menghambat
perkembangan manusia sebagai manusia.
e. Penganutnya mengecam kemapanan
habis-habisan.
4. Struktur radikal
Penganut paham ini
berupaya memperjuangkan sosiologi perubahan radikal juga yaitu perubahan yang
mendasar dengan mengabaikan semua tatanan sosial yang membelenggu perkembangan
diri manusia oleh karna pandangan ini bersifat utopis dan hanya memandang lurus
kedepan. Analisisnya cenderung menekankan pertentangan struktural, bentuk-bentu
penguasaan dan pemerosotan harkat manusia. Pendekatan yang dipakai adalah
realis, positivis, determinis dan nomotetis. Ciri-cirinya adalah sebagai
berikut :
a. Penganutnya memperjuangkan sosiologi
perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas.
b. Pendekatan ilmiahnya memiliki beberapa
persamaan dengan kaum fungsionalis namun memiliki tujuan akhir yang saling
berlawanan.
c. Analisisnya lebih menekankan pada
pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan kemerosotan dharkat
kemanusiaan.
d. Hal yang penting adalah hubungan
struktural yang terdapat dalam kenyataan soaial.
Fungsi
utama mengenal empat paradigma diatas adalah kita dapat memahami kerangka
berfikir seseorang dalam teori sosial dan merupakan alat untuk memetakan
perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Dengan
pemahaman ini, paling tidak kita bisa memetakan teori-teori yang ada untuk
kemudian dengan kesadaran masing-masing melaui pengalaman dan pemahamannya
sendiri dan tentu bisa memilih mana yang sekiranya paling tepat.
D.
KENYATAAN
SOSIAL SEBAGAI MEDAN GERAKAN PMII
Bicara soal medan gerakan
PMII, paling tidak kita juga harus mengetahui terkait gerakan sosial juga.
Gerakan sosial merupakan aktivitas sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang biasanya dalam bentuk organisasi yang secara spesifik berfokus kepada
suatu isu isu sosial. Isi gerakan sosial berupa melaksanakan, menolak, atau
mengkampanyekan nilai sebuah perubahan sosial. Terjadinya gerakan sosial yang
tercatat dalam sejarah selalu dimulai oleh sekelompok orang yang menginginkan
adanya perubahan. Dalam bidang politik, ada beberapa kondisi yang mendukung
terjadinya gerakan sosial seperti sifat pemerintahan yang tidak sesuai dengan
kehendak rakyat dan adanya situasi yang mendorong tumbuhnya gerakan sosial.
Gerakan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa penggolongan.
1. Berdasarkan Lingkupnya.
a.
Gerakan Reformasi Gerakan reformasi merupakan gerakan yang ditujukan untuk
mengubah beberapa norma yang berlaku di masyarakat. Contoh gerakan semacam ini
akan mencakup seperti, serikat buruh wanita dengan tujuan untuk meningkatkan
hak-hak pekerja wanita, gerakan hijau yang menganjurkan serangkaian hukum
ekologi, atau sebuah gerakan pengenalan baik yang mendukung atau yang menolak
adanya.
b.
Gerakan Radikal Gerakan radikal menginginkan adanya perubahan segera terhadap
sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara mendasar, contohnya
termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika yang penuh menuntut hak-hak sipil dan
persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika terlepas dari ras. Dewasa
ini, gerakan radikal cenderung dipandang
negatif karena maraknya aksi radikalisme yang terjadi di berbagai belahan
dunia.
2. Berdasarkan Perubahan
a.
Gerakan Inovasi Gerakan inovasi adalah gerakan yang ingin mengaktifkan
nilainilai tertentu dari efek sebuah teknologi dan menjamin keamanan
perkembangan teknologi yang tak umum.
b.
Gerakan Konservatif Gerakan ini ingin mempertahankan norma-norma yang ada sejak
dahulu. Kelompok pendukung gerakan ini sangat menentang inovasi dan sulit
menyesuaikan diri dengan hal baru.
3. Berdasarkan Metode Kerja
a.
Gerakan Damai Gerakan ini bertujuan untuk memengaruhi kelompok atau masyarakat
seperti mengajak mereka untuk menentang sebuah kebijakan pemerintah. Beberapa
kelompok ini akan berubah atau menjadi atau akan bergabung dengan partai
politik, tetapi banyak tetap berada di luar sistem partai politik.
b.
Gerakan Kekerasan Gerakan ini fokus untuk memengaruhi secara personal atau
individu untuk melakukan kekerasan dalam menyuarakan tujuannya.
4. Berdasarkan Waktu
a.
Gerakan Lama Gerakan ini telah ada sejak awal masyarakat. Sebagian besar
merupakan gerakan-gerakan abad ke-19. Mereka berjuang untuk kelompokkelompok
sosial tertentu, seperti kelas pekerja, petani, orang kulit putih, kaum
bangsawan, keagamaan, laki-laki.
b.
Gerakan Baru Gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua abad ke-20
seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak sipil, gerakan
lingkungan, gerakan perdamaian, gerakan anti rasis dan lain lain. Beberapa
kelompok mengenal gerakan ini sebagai gerakan sosial
Daftar Referensi:
Paradigma
Gerakan PMII: Sejarah dan Relevansi
Oleh:
ULIL ALBAB
“Di
PMII, Paradigma merupakan suatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena
paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara
memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku
organisasi” (Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A).
A. Pengertian Paradigma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma adalah
model dalam teori ilmu pengetahuan. Paradigma merupakan salah satu persoalan
krusial dalam sebuah organisasi. karena paradigma merupakan titik pijak dalam
membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan
termanifestasikan dalam sikap dan dan perilaku organisasi. Hal itu juga akan
mempengaruhi pilihan gerakan yang ditentukan.
Menurut Thomas S. Khun, paradigma merupakan konstalasi
teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam
menafsirkan realitas sosial. Paradigma baru itu harus mengarah pada identitas
mahasiswa yang bukan hanya dianggap “ada” tetapi harus diakui dan dibaca atas
keberadaannya.
Dalam sebuah catatan yang bertajuk
"Operasionalisasi Paradigma Kritis Transformatif Analisis Teoretik Dalam
Perspektif Teori Perubahan Sosial Dan Teori Revolusi Sosial”, Kristeva
menambahkan bahwa paradigma dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk
menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat
rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat
dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah.
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan
organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi
pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam
sikap dan dan perilaku organisasi. Bagi PMII, Paradigma merupakan landasan
untuk bergerak. Paradigma juga merupakan alat analisis, bagaimana organisasi
harus bergerak. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan
menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan
praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan
gaya berpikir seseorang.
Relevansi paradigma PMII dengan kondisi sosial
masyarakat sangatlah dibutuhkan. Baik digunakan sebagai metode analisis hingga
menjadi sebuah manifestasi gerakan dalam menciptakan problem solving. Disamping
itu, dengan paradigma sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai
yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya
menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
B. Sejarah Paradigma PMII
Tercatat dalam lintasan sejarah, PMII telah melakukan
banyak pergantian paradigma gerakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh
konteks ruang, waktu, maupun kepentingan yang melatar belakanginya. Berikut
merupakan paradigma yang menjadi gerakan PMII dari masa ke masa.
1. Paradigma Arus Balik Masyarakat
Pinggiran.
Istilah paradigma secara organisasional pertama kali
dikenal pada era Sahabat Muhaimin Iskandar (periode 1994-1997). Waktu itu,
gerakan mahasiswa yang sudah dikekang oleh pemerintah orde baru melalui
kebijakan NKK/BKK dihadapkan pada kenyataan otoritarianis Soeharto. Banyak
terjadi pelanggaran HAM, penindasan, penggusuran, pemilu yang tidak demokratis
dan merajalelanya KKN, telah membuka mata mahasiswa untuk bergerak melakukan
perlawanan demi perubahan. Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu
menjabat Ketua Umum PBNU dan tokoh Forum Demokrasi (Fordem) yang berseberangan
dengan Soeharto menjadi lokomotif gerakan demokratisasi dan civil society.
Perlawanan terhadap Negara menjadi ciri khas paradigma
ini. secara praksis, paradigma ini kemudian melahirkan dua kecenderungan.
Pertama, apa yang disebut dengan free market of ideas (pasar bebas pemikiran).
Kecenderungan ini adalah bagian dari upaya mengenal pemikiran secara luas di
tengah hegemoni pengetahuan yang ditancapkan oleh Orde baru. Pada tataran
inilah PMII secara bebas berkenalan dengan ide-ide dan pemikiran kritis yang
lebih bercorak Marxian. Gagasan tentang kiri islam, teologi pembebasan, kritis
wacana agama, antroposentrisme teologis, sampai pada post tradisionalisme
menjadi kecenderungan yang ramai dikaji kader PMII.
Sehingga tak heran label liberal kerap disematkan pada
komunitas pemikiran di kalangan anak muda ini. Orientasi dari Free Market
Idea adalah terjadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh
individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan
independensi. Kedua, gerakan advokasi. Pembelaan terhadap masyarakat
tertindas (mustadh‘afin) dan
masyarakat pinggiran (marginal) juga menjadi konsen dari paradigma ini.
Secara umum, gerakan advokasi ini dilakukan melalui
beberapa cara, diantaranya sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan,
serta pendampingan. Relasi negara-civil society yang tidak seimbang,
menjadikan paradigma arus masyarakat pinggiran ini menemukan titik
relevansinya. Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagian dari pendidikan
politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society.
2. Paradigma Kritis Transformatif
Paradigma ini diperkenalkan pada periode sahabat
Saiful Bahri Anshari (1997-2000). Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar
paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya
terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori
kritis madzhab Frankfurt serta kritisisme intelektual muslim seperti, Hasan
Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll. Pemosisian diri yang jelas
terhadap Negara masih tetap ditonjolkan pada paradigma ini. Namun PKT ini
mendapat ujian pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI. Ada semacam kegagapan
dalam melakukan konsistensi terhadap paradigma ini.
Di satu sisi, PMII harus tetap bersikap kritis
terhadap pemerintah, sebagaimana pilihan paradigma gerakannya. Di sisi lain,
figure Gus Dur sebagai maskot dan ikon demokrasi, sekaligus “bapak” kaum
nahdhiyin melahirkan sikap ”pekewuh” tatkala menggunakan paradigma kritis
tersebut. Kegagapan paradigma ini tentunya menjadi persoalan yang krusial,
karena paradigma telah melahirkan kegamangan gerakan, yang ini keluar dari
tujuan paradigma yang sesungguhnya.
3. Paradigma Menggiring Arus/Berbasis
Realitas
Dalam Kongres di Bogor, terjadi perdebatan wacana
untuk mengganti paradigma PKT yang dirasa sudah tidak relevan lagi. Berbagai
tawaran paradigma pun bermunculan, seperti Paradigma Relasional (ada yang
menyebut Paradigma Berbasis Realitas atau Paradigma Menggiring Arus) yang
ditawarkan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi yang pada Kongres PMII ke-15 di
Bogor tahun 2005 terpilih sebagai Ketua Umum. Paradigma Relasional ini ingin
lebih realistis dalam memandang kenyataan dan menggaulinya secara strategis,
tidak asal menjebakkan diri dalam oposisi binner.
Paradigma ini dinilai pragmatis atau realistis oleh
pihak yang kurang bersepakat. Paradigma ini ingin menegaskan bahwa demi
mencapai cita-cita PMII dan kejayaan nusantara, kita harus membangun gerakan
berbasis keindonesiaan (karena disitulah medan pertaruhan PMII yang
sesungguhnya). Karena Indonesia adalah bagian dari habitus global, maka PMII
harus siap bergaul dengan berbagai pihak dalam konstelasi global, khususnya
pasca Perang Dingin, antara Blok Barat dan Blok Timur.
Perubahan geo politik dunia pasca perang dingin yang
begitu cepat hendaknya dilihat sebagai kenyataan dan tantangan hari ini yang
jauh lebih berat ketimbang era sebelumnya. Medan pertempuran geo politik dunia
yang multi polar menuntut kita untuk tidak mudah terjebak dalam nalar binner,
hitam-putih, benar-salah, atau vis a vis. Namun lebih mampu berpikir
secara kompleks, dengan membaca relasi yang saling terkait antar fenomena.
Sehingga slogan yang kemudian muncul adalah, think global act local
berfikir global bertindak lokal.
C. Relevansi Paradigma
Pada konteks saat ini, gerakan mahasiswa termasuk PMII
masih kental dengan semangat gerakan mahasiswa tahun 90-an yang dipenuhi gelora
menggebu-gebu dan aroma heroisme pemuda. Faktanya, gerakan demonstrasi jalanan
mahasiswa dengan semangat kritik terhadap kebijakan pemerintah masih sering
kita temui. Nuansa perjuangan dan semangat yang diusung disertai dengan
atmosfer peran mahasiswa sebagai agen of change, penyambung lidah,
perantara, parlemen jalan dan sebagainya.
Semangat seperti ini memang dibutuhkan oleh masyarakat
hingga akhir tahun 90-an, akan tetapi dengan situasi politik mutakhir yang jauh
berbeda dengan sebelumnya, apakah gerakan semacam ini masih dirasa relevan?.
Pada era demokrasi ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sudah
berubah, jauh berbeda dibanding beberapa dekade terakhir, khususnya pada tahun
90-an. Jika pada era sebelumnya pemerintahan sangat sentralistik sehingga
masyarakat bungkam, tidak ada peluang untuk memberi aspirasi dari bawah ke
atas, maka pada era saat ini masyarakat memiliki peluang-peluang untuk
menyalurkan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara
(pemerintah).
PMII didirikan bukan tanpa alasan, tetapi didirikan
dengan tujuan yang begitu mulia serta didukung oleh permasalahan-permasalahan
yang terjadi saat itu. Catatan historis sebelumnya menjadi salah satu faktor
dan latar belakang lahirnya paradigma. Jadi, secara sederhana bisa kita
asumsikan bahwa faktor faktor terbentuknya paradigma dipengaruhi oleh faktor
sejarah dan realita hari ini. Saat ini PMII harus memiliki kepekaan untuk
menjawab persoalan zaman dengan menerapkan kurikulum yang dapat mengantarkan
para kadernya untuk berkiprah di segala leading sektor secara profesional, baik
di dalam struktur lembaga-lembaga negara ataupun di luar itu.
Dari apa yang dipaparkan oleh Kristeva bahwa saat ini
PMII menerapkan paradigma kritis transformatif. Berpikir Kritis & Bertindak
Tansformatif merupakan Jargon PMII untuk membaca tafsir sosial yang sedang
terjadi dalam konteks apapun. Dan terdapat beberapa alasan yang menyebabkan
PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk
bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam
melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut diantaranya
yakni:
1) Masyarakat Indonesia saat ini sedang
terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat
dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya masa kapitalisme dan pola
berpikir positivistik modernisme.
2) Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan
(adanya pluralitas society).
3) Pemerintahan yang menggunakan sistem yang
represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan
menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).
4) Kuatnya belenggu dogmatisme agama,
akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru
menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.
Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih
Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan
realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah
bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan, dll). secara bersamasama. Hal
ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII
yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah :
Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas,
Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif
Referensi
Ahmad.
Hifni, Menjadi Kader PMII, Moderate Muslim Society (MMS) Redaksi. 2016
Engineer,
Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2009.
Khairun
Nisa. Luqyana, Paradigma Gerakan PMII. Modul PKD PMII Abdurrahman Wahid. 2022
Kristeva,
Materi Kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Kuhn.
T.S, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Remaja Rosdakarya. 2002
Ms.
Muhtar, tangan Tangan Terkepal.
Salatiga: Guepedia. 2019
PERAN ANALISIS WACANA DALAM RUANG PERGERAKAN PMII
Pendahuluan
Sebagai
anggota/kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Kita seringkali mendengar
kata “wacana”. Bahkan masyarakat Indonesia sendiri sering mendengar akan hal
ini. Karena wacana ini menjadi sebuah ungkapan ekspresi mengenai ide dan
gagasan yang disampaikan oleh seseorang melalui lisan maupun tulisan. Sehingga
melalui wacana ini juga bisa memberikan arti kepada pendengar maupun pembaca.
Setiap wacana yang muncul darimanapun itu akan memeberikan pengertian yang
berbeda terhadap setiap individu di masyarakat. Maka dari itu pengolahan kalimat
serta bahasa dalam wacana ini cukup penting. Namun masyarakat juga perlu
menganalisis setiap wacana yang muncul supaya tidak salah dalam mengartikan dan
lebih bijak dalam menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan wacana.
Pengertian Analisis Wacana
Sebelum kita
menuju ke pembahasan mengenai analisis wacana, kita perlu mengetahui apa itu
wacana. Wacana bisa diartikan sebagai komunikasi pikiran dengan kata-kata,
ekspresi ide-ide atau gagasan percakapan. Sedangkan analisa adalah meneliti dan menilai situasi serta kondisi dan sosial adalah yang
berhubungan dengan masyarakat atau lingkungan sekitar. Secara menyeluruh, analisis wacana merupakan istilah umum
yang digunakan dalam kajian disiplinier ilmu, sedangkan objek dari analisis
wacana itu sendiri adalah linguistik atau bisa disebut dengan bahasa. Sehingga
analisis wacana itu sendiri merupakan kajian tentang kebahasaan secara
kompleks, baik dari kata atau kalimat yang mengandung proporsi, ataupun
membentuk kesatuan sebagai teks yang termasuk realitas, baik secara lisan
maupun tulisan.
Kebutuhan Dasar Wacana
Kebutuhan dasar wacana ini bias diartikan sebagai tujuan adanya
wacana. Ada beberapa kebutuhan dasar adanya wacana yang pertama yaitu keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain
mengenai suatu hal. Kedua untuk
meyakinkan seseorang mengenai kebenaran suatu hal dan mempengaruhi
sikap/pendapat orang lain. Ketiga untuk
mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk, wujud, objek. Keempat untuk menceritakan kejadian atau peristiwa yang terjadi.
(Keraf, 1995: 6).
Otoritas Analisis Wacana
Analisis
Wacana memiliki otoritas. Ada dua ruang yang menjadi otoritas analisis wacana
yaitu Ruang Linguistik dan Ruang Teks Tertulis. Dalam
Linguistik; Analisis wacana digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur
yang luas melebihi batasan-batasan kalimat. (Sunarto, 2001: 119-120).
Kalau Dalam Teks Tertulis; Analisis wacana bertujuan untuk mengeksplisitkan norma-norma
& aturan-aturan bahasa yang implisit. Analisis wacana bertujuan untuk
menemukan unit-unit hierarkis yang membentuk suatu struktur diskursif
(Mills,1994)
Karakteristik Analisis Wacana
Karakteristik
analisis wacana terbagi meanjdi empat macam yang Pertama, dalam analisisnya analisis
wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan analisis isi yang umumnya kuantitatif. Kedua,
analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya digunakan untuk membedah muatan
teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), analisis wacana
berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi).
Ketiga,
analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what)
tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how).
Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi. Karena
peristiwa selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur
yang sama untuk isu dan kasus yang berbeda. (Eriyanto, 2001: 337-341).
Peran Analisis Wacana Kritis Terhadap Gerakan PMII
Seiring berjalannya waktu
dan dengan adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih maka komunikasi akan
mudah dilakukan oleh khalayak umum. Belakangan ini muncul berbagai macam media
sosial dengan kemajuan teknologi seperti misalnya twitter, facebook, messanger,
whatsapp. Kemunculan berbagai macam media sosial ini dimafaatkan untuk orang
orang yang berkepentingan dalam opini publik.
Di era globalisasi ini komunikasi +menjadi lebih mudah dengan adanya kemajuan
teknologi, dengan adanya berbagai macam teknologi ini maka pesan yang akan
disampaikan oleh komunikan akan lebih mudah dicerna dan lebih cepat
tersampaikan kepada komunikator.
Dengan adanya kemajuan
teknologi ini ditandai dengan munculnya berbagai macam sosial media dikalangan
para komunikan. Bahkan sosial media ini seperti jamur yang terus tumbuh setiap
waktu dan semakin bertambah setiap waktu. Maka maraknya sosial media ini dapat
dimanfaatkan oleh para komunikator untuk kepentingan tertentu seperti misalnya
mempromosikan barang dagangan, perbaikan citra atau hal lain.
Tidak bisa dipungkiri
dalam kurun waktu yang cepat setiap komunikan akan mudah menguasai bagaimana
cara menggunakan sosial media yang sudah ada, maka para komunikan pun akan
lebih mudah mendapatkan pesan lalu mereka akan mengeluarkan pendapat ataupun
opini masing – masing. Setiap individu memiliki pendapat masing masing mengenai
isi pesan yang disampaikan oleh komunikator, namun biasanya setiap individu
komunikan akan membahas isu yang sama disaat mereka memiliki waktu untuk
mengeluarkan pendapat dan berdiskusi mengenai isu tersebut, maka dari hasil
diskusi itu terbentuklah opini publik yang mewakili banyak individu. Maka
antara sosial media dan opini publik dapat berjalan beriringan karena dengan
adanya media sosial tersebut maka komunikator akan dengan mudah menyampaikan
isi pesannya kepada komunikan.
Analisis
Wacana Kritis menjadi sangat penting sebagai alat pergerakan, sebab setiap
pergerakan harus menyasar dalam segi-segi tak tampak dalam struktur
ketidak-adilan. Tidak cukup bagi kaum pergerakan mengacung-acungkan pentungan
dan teriak-teriak melalui mikrofon, sementara mekanisme kekuasaan di sekitarnya
mereproduksi wacana-wacana penindasan yang merugikan aksi perjuangan itu. Maka,
jika keadilan ingin dijunjung tinggi di bumi ini, fisik bukan hal yang utama,
tetapi kecerdasan dalam mengelola wacana yang diutamakan. Sejauh bahasa
dimengerti sebagaimana pengertian di atas, sebetulnya tidak ada masalah. Watak bahasa memang selalu
memberikan pengaruh kepada audiens/ pembacanya. Namun, jika kontrol normalisasi
dan pendisiplinan itu mengabsahkan
tindakan ketidak-adilan, menormalkan ketidak-setaraan, serta mendukung
penyalahgunaan kekuasaan, pada saat itulah relasi kuasa harus dibongkar. Oleh
karena itu analisis wacana sangat penting untuk
mengungkapkan kaidah kebahasaan yang mengonstruksi wacana,
memproduksi wacana, memahamai wacana, dan melambangi suatu hal dalam wacana.
Tujuan analisis wacana sendiri juga untuk
memberikan wacana (sebagai salah satu eksponen bahasa) dalam
fungsinya sebagai alat komunikasi.
TEORI
BELAJAR SOSIAL; PROSES PEMBELAJARAN DI ERA DISRUPSI
Oleh:
Elfany Alia Agustina
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Perubahan dalam
perkembangan produk digital telah menciptakan nilai-nilai baru yang berkembang
begitu cepat sehingga di dalamnya mengandung nilai bias dari berbagai
kebudayaan. Dampak yang dirasakan masyarakat juga berimbas pada bidang
pendidikan, dimana era disruptif telah membiasakan masyarakat untuk lebih
sedikit mengeluarkan effort dalam proses belajar sehingga hal ini
menjadi suatu tantangan baru bagi dunia pendidikan. Hal yang tidak disadari
oleh masyarakat yaitu bahwa dalam era disrupsi segala sesuatu hal yang tidak
berkembang itu akan tertinggal jauh dengan teknologi yang ada dan akan mati.
Tuntutan era disruptif ini justru sering diabaikan, sehingga dampaknya
pengrekrutan tenaga kerja manusia saat ini sangat terbatas. Berbagai sektor
yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia saat ini telah digantikan dengan
adanya sistem kecerdasan buatan. Target produk pendidikan saat ini tidak bisa
hanya menargetkan lulusan yang pintar saja namun lebih mengutamakan lulusan
yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada. Komponen manusia
sebagai motor penggerak pendidikan menjadi sangat perlu untuk ditingkatkan.
Proses belajar mengajar yang dinilai cocok diterapkan
dalam era disruptif ini yaitu proses belajar mengajar yang mampu melibatkan
peserta didik untuk turut aktif dalam menemukan, memproses dan
mengkonstruksikan suatu ilmu dan keterampilan baru. Pandagan mengenai
pembelajaran yang aktif dan cara penerapan hasil belajar sebagai akomodasui
kognitif telah dikaji dalam teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut
Bandura (Lesilolo, 2018) suatu perilaku belajar adalahhasil dari kemampuan
individu dalam memaknai suatu informasi, memaknai suatu model yang ditiru, lalu
mengolah secara kognitif dan menentukan tindakan sesuai tujuan yang
dikehendaki. Proses belajar yang ditawarkan oleh Bandura dianggap sangat
efektif untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkebangan individu, karena proses
belajar ini mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme
yang hidup dalam lingkungan fisik dan sosial. Dengan demikian diharapkan produk
proses belajar ini dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mampu
beradaptasi dengan era disrupsi.
Era
Disrupsi dan Perkembangannya
Era disrupsi berkaitan dengan perubahan konsep dalam
dunia teknologi yang lebih dikenal dengan revolusi industry 4.0. Revolusi
Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab, ekonom
terkenal asal Jerman itu menulis dalam bukunya, The Fourth Industrial
Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja manusia. Revolusi
industri pertama dikenal dalam era 1.0 yang terjadi pada akhir abad ke-18. Awal
mula munculnya era ini dtandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama
pada 1784. Kebanyakkan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga uap dan
air, sehingga tenaga manusia dan hewan perlahan mulai tergantikan.
Selanjutnya revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad
ke-20 dimana terdapat pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja.
Sistem baru ini membuat beberapa perusahaan lebih efektif dalam mengelola
pekerjaan. Lalu pada awal tahun 1970 mulai muncul penggunaan elektronik dan
teknologi informasi untuk otomatisasi produksi, hal tersebut menjadi awal mula
masuknya era revolusi industri 3.0. selain itu era ini ditandai dengan
kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC) yakni modem 084-969.
Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi
dikendalikan manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah.
Sekaranglah zaman revolusi industri 4.0 yang ditandai
dengan sistem cyber-physical. Saat ini industri mulai menyentuh dunia virtual,
berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana.
Istilah ini dikenal dengan nama internet of things. Dari pemahaman konsep
revolusi industri itulah seluruh sektor kehidupan wajib menyesuaikan diri
dengan perkembangannya. Revolusi zaman 4.0 kerap dinamakan era disrupsi.
Teknologi di era ini telah memungkinkan terjadinya komunikasi bebas lintas
benua, era ini juga sebagai tanda matinya jarak dalam kehidupan. Masyarakat
dapat dengan mudah mendapatkan berbagai informasi tanpa terbatas waktu dan
jarak.
Teori
Belajar Sosial Albert Bandura
Teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Bandura
ini merupakan perluasan dari teori belajar perilaku tradisional
(behavioristik). Asumsi yang mendasari teori pembelajaran sosial adalah adanya
pandangan bahwa manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari bagaimana kecakapan
bersikap maupun berperilaku. Menurut Feist & Feist (2009) walaupun manusia
telah banyak belajar dari pengalaman langsung namun mereka juga banyak belajar
dari aktivitas mengamati perilaku orang lain. Adapun sudut pandang teoritis
Bandura dalam teori belajar sosial yaitu:
1. Pembelajaran pada hakikatnya berlangsung
melalui proses meniru (imitation) dan pemodelan (modeling)
2. Dalam initation atau modeling individu
dipahami sebagai pihak yang memainkan peran aktif dalam menentukan perilaku
mana yang hendak ditiru dan juga seberapa intens peniruan yang akan ia
jalankan.
3. Imitation atau
modeling adalah jenis pembelajaran perilaku tertentu yang dilakukan
tanpa harus melalui pengalaman langsung.
4. Dalam Imitation atau modeling terjadi
penguatan tidak langsung pada perilaku tertentu yang sama efektifnya dengan
penguatan langsung untuk memfasilitasi dan menghasilkan peniruan. Individu
dalam penguatan tidak langsung perlu menyumbangkan komponen kognitif tertentu
(seperti kemampuan mengingat dan mengulang) pada pelaksanaan proses peniruan.
5. Mediasi internal sangat penting dalam
pembelajaran, karena saat terjadi adanya masukan inderawi yang menjadi dasar
pembelajaran dan perilaku dihasilkan, terdapat operasi internal yang
mempengaruhi hasil akhirnya.
Pada umumnya pembelajaran sosial (Social Learning)
dapat diartikan sebagai suatu konsep dalam teori behaviorisme yang merupakan
proses belajar dengan melibatkan kognitif yang terdiri dari fikiran, pemahaman
dan evaluasi. Konsep belajar ini juga didukung dengan adanya keyakinan dalam
individu untuk berhasil melakukan sesuatu atau lebih dikenal dengan efikasi
diri. Proses belajar sosial umumnya lebih menekankan kepada kesan dan proses
mental didalamnya, hal ini tampak pada isyarat perilaku eksistensial yang
muncul. Menurut Albert Bandura manusia secara selektif belajar dengan
mengamatan yang mereka alami, perubahan tingkah laku orang lain maupun terhadap
dirinya sendiri. Pembelajaran sosial termasuk pembelajaran modelling.
Daftar referensi:
Atiah, N. (2020). Pembelajaran Era Disruptif Menuju
Masyarakat 5.0. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana
Universitas PGRI Palembang, 605-617.
Azizah, U., Acep, H.H., & Mohamad, E. (2021).
Implementasi Teori Belajar Sosial Albert Bandura Pada Kurikulum Darurat
Covid-19. Forum Paedagogik, 12(01). 1-14.
Lesilolo, H.J. (2018). Penerapan Teori Belajar Sosial
Albert Bandura Dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah. KENOSIS, 4(02).
186-202.
Ruwaida, H. (2020). Belajar Sosial : Interrelasi
Antara Indivisu, Lingkungan, dan Perilaku Dalam Pembelajaran Fiqih di MI
Miftahul Anwar Desa Banua Lawas. Al-Madrasah: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Madrasah Ibtidaiyah, 4(02). 217-236.
Tarsono. (2010). Implikasi Teori Belajar Sosial (Social
Learning Theory) Dari Albert Bandura Dalam Bimbingan dan Konseling. Psympatic,
Jurnal Ilmiah Psikologi. 3(01). 29-36.
Lagu-lagu PMII
Mars
PMII
Inilah kami
wahai Indonesia
Satu barisan dan
satu cita
Pembela bangsa,
penegak agama
Tangan
terkepal dan maju ke muka
Habislah sudah
masa yang suram
Selesai sudah
derita yang lama
Bangsa yang jaya
Islam yang benar
Bangun
tersentak dari bumiku subur
*Reff
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti,
ku berikan
Adil dan makmur
kuperjuangkan
Untukmu satu
tanah airku
Untukmu
satu keyakinanku
Inilah kami wahai
Indonesia
Satu angkatan
dan satu jiwa
Putera bangsa
bebas merdeka
Tangan terkepal
dan maju kemuka
[2x Reff]
Hymne
PMII
Bersemilah,
Bersemilah
Tunas PMII
Tumbuh subur,
tumbuh subur
Kader
PMII
Masa depan Kita
rebut
Untuk meneruskan
perjuangan
Bersemilah,
Bersemilah
Kaulah
harapan bangsa
Bersemilah,
Bersemilah
Tunas PMII
Tumbuh subur,
tumbuh subur
Kader
PMII
Masa depan Kita
rebut
Untuk meneruskan
perjuangan
Bersemilah,
Bersemilah
Kaulah harapan
bangsa
BERJUANGLAH PMII
Berjuanglah PMII
berjuang
Marilah kita bina persatuan
Berjuanglah PMII
berjuang
Marilah kita bina persatuan
Hancur leburkanlah
angkara murka
Perkokohlah
barisan kita
Siiiap!
*Reff:
Sinar api Islam
kini menyala
Tekad bulat jihad kita membara
Sinar api Islam
kini menyala
Tekad bulat jihad kita membara
Berjuanglah PMII
berjuang
Menegakkan kalimat
Tuhan
Menegakkan kalimat
Tuhan
DARAH JUANG
Di sini negeri
kami
Tempat padi
terhampar
Samuderanya kaya
raya,
Tanah kami subur Tuan
Di negeri permai
ini
Berjuta rakyat
bersimbah luka
Anak buruh tak
sekolah
Pemuda desa tak kerja
*Reff:
Mereka dirampas
haknya,
Tergusur dan lapar
Bunda relakan
darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat
BURUH
TANI
Buruh, tani,
mahasiwa, rakyat miskin kota
Bersatu padu
rebut demokrasi
Genggam gempita
dalam satu suara
Demi
tugas suci yang mulia
Hari-hari esok
adalah milik kita
Terciptanya
masyarakat sejahtera
Terbentuknya
tatanan masyarakat
Indonesia
baru tanpa orba
Marilah kawan mari
kita kabarkan
Di tangan kita
tergenggam arah bangsa
Marilah kawan
mari kita nyanyikan
Sebuah
lagu tentang pembebasan
Di bawah kuasa
tirani
Ku susuri garis
jalan ini
Berjuta kali
turun aksi
Bagiku
satu langkah pasti
Berjuta kali
turun aksi
Bagiku satu
langkah pasti
Bagiku satu
langkah pasti
Catatan
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
[1] Abercrombie, Nicholas.dkk. 2010.
Kamus Sosiologi. Terjemahan oleh Desi Novianti. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[2] Suharko. 2006. Gerakan Sosial Baru
di Indonesia : Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
1-34
[3] Ritzer, George. 2012. Teori
Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[4] Chamadi, Muhamad dkk. 2019.
Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto.
Vol. 03 No. 02 : 242
[5] Chamadi, Muhamad dkk. 2019.
Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto.
Vol. 03 No. 02 : 244-245
[6] Paputungan, Alkaf. PMII dan
Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 32
[7] Chamadi, Muhamad dkk. 2019.
Tipologi Gerakan Mahasiswa Melalui Organisasi Mahasoswa Islam di Purwokerto.
Vol. 03 No. 02 : 248
[8] Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi
Gerakan Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 28
[9] Paputungan, Alkaf. PMII dan
Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 35
[10] Waliyuddin, M. PMII dan Reposisi
Gerakan Mahasiswa. PMII Komisariat UIN Walisongo dan Rayon Ushuludin : 36
[11]
PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan. 2021. MODUL
: Pelatihan Kader Dasar. Hal : 14
[12] PMII Rayon Psikologi dan
Kesehatan. 2021. MODUL : Pelatihan Kader
Dasar. Hal : 15
[13] Paputungan, Alkaf. PMII dan
Gerakan Mahasiswa. Pelatihan Kader Dasar. PMII Rayon Ushuluddin : 36-37
Komentar
Posting Komentar