The New KUHP, prestasi atau diskriminasi?


Beberapa waktu lalu tepatnya Selasa, 6 Desember 2022 maha kitab Undang-Undang hukum pidana atau kitab sucinya negara Indonesia telah disahkan sebagai kitab Undang-Undang hukum pidana asli buatan putra-putri terbaik bangsa. Setelah kurang lebih se-abad lamanya menggunakan kitab Undang-Undang hukum pidana warisan kolonial Belanda.

Sebuah pencapaian gemilang yang ditorehkan putra-putri bangsa, para legislator-legislator yang telah bertahun-tahun mencoba membuat pasal demi pasal yang terkandung di dalamnya. Tentu sebagai rakyat patut mengapresiasi dan acungkan jempol untuk wakil rakyat kita atas kehebatannya. "Sebagai kado terindah untuk negara di penghujung tahun 2022".

Sebagai kado terindah bagi seluruh rakyat indonesia, sepenggal kalimat yang saya beri kutipan diharapkan menjadi cita-cita namun ironis, banyak sekali gelombang penolakan, perlawanan bahkan aksi besar-besaran sebagai respon terhadap keluarnya Rancangan Kitab Undang-Undang ini. Mengapa bisa demikian?


Sejarah kitab suci Negara
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP sendiri bersumber dari kolonial Belanda yang bernama "Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indiƫ". Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.

Setelah Indonesia merdeka pasal-pasal dalam kitab tersebut tetap diberlakukan, hanya diambil alih secara keseluruhan oleh pemerintah Indonesia dan pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Sebuah prestasi yang tidak diharapkan
"The New KUHP"  ini tentu menjadi sebuah sejarah baru, dimana kita mampu terbebas seutuhnya dari jeratan hukum dan peraturan khas kolonial. Undang-undang yang berlaku saat ini tentunya berangkat dari karakteristik bangsa Indonesia sesuai dengan UUD, pancasila dan Hak Asasi Manusia.

Karakteristik bangsa Indonesia yang harmonis, gotong- royong dan lembut ini dibuat menjadi sebuah Undang-Undang. Akademisi Universitas Indonesia, Dr Surastini FFitriasih. SH., MH menganggap jika Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah beleid yang tidak hanya memberikan ketegasan, namun juga keadilan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah adanya alternatif sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana.

"Keunggulan dari RUU KUHP itu adanya alternatif-alternatif sanksi. Pidana penjara bisa diganti pidana denda, pidana denda bisa diganti dengan pengawasan atau kerja sosial," kata Surastini saat acara Dialog Publik RUU KUHP yang diselenggarakan di Bandung, Rabu (07/09/2022).

Namun pada fakta nya masih banyak sekali pasal - pasal kontroversial yang menjadi isi krusial dan membutuhkan penjelasan lebih agar tidak mengandung makna yang multitafsir. Pasal-pasal multitafsir ini mengakibatkan banyak sekali gelombang perlawanan dan penolakan terhadap pengesahan pasal. Perlawanan dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat mulai dari akademisi, ahli dan mahasiswa dari hasil diskusi dan kajian kajian mereka.


Berjatuhan korban demi ambisi kekuasaan
Pengesahan RKUHP sangat mengancam hak Demokrasi di negeri ini artinya kebebasan sipil saat ini terancam dikebiri. Mulai dari rencana pengesahan RKUHP di tahun 2019 berbagai penolakan sudah dilontarkan di berbagai daerah hingga memakan banyak korban. Demo yang digelar mahasiswa dari berbagai daerah pada 23 September 2019 tersebut membuat tagar #saatnyapeoplepower tersebut Menjadi tranding topic tinggal 47.000 twit hingga demi ribuan mahasiswa khususnya di banyak kota membuktikan bahwa RKUHP merupakan ambisi pemerintah yang gagal.

Pengendalian masa aksi sendiri mengalami represifitas dari pihak aparat. Pengendalian yang semena-menan menimbulkan banyak korban jiwa baik luka ringan, berat hingga meninggal dunia. Data mencatat selama aksi penolakan pengesahan RKUHP ini di Jakarta sebanyak 3 orang meninggal dunia dan 254 orang mengalami luka berat. Di Bandung tercatat 400 orang mengalami luka berat, kendari 2 orang meninggal dan 15 orang luka beratberat dan di makassar sebanyak 50 orang mengalami luka berat.

Ini merupakan tindak kekerasan yang sangat serius yang dilakukan oleh aparat negara. Seharusnya aparat yang menjadi pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat sekarang dijadikan sebagai alat tempur untuk menumpas segala bentuk partisipatif masyarakat yang ingin membangun negeri. Nampak klise, namun sekali lagi ini adalah ambisi pemerintah.


Sumber permasalahan
Menjadi pokok permasalahan yang menimbulkan keresahan masyarakat Indonesia. Proses pembuatan pasal demi pasal dalam RKUHP ini minim transparansi dan tidak partisipatif. Proses ini merupakan wujud pembatasan publik dalam berpartisipasi merancang Undang-Undang.


Pasal - Pasal Kontroversial
Berikut pasal - pasal yang menjadi isi krusial diantaranya:

1. Living law (Pasal 2)
Berbahaya : Pasal ini berbahaya sebab tidak ada batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Seseorang dapat dipidana bila ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya. Pasal ini membuka ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan, meskipun perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan. Selain itu keberadaan pasal ini bisa berubah potensi memunculkan diskriminasi diskriminasi baru. Dalam konteks diskriminasi terhadap perempuan, misalnya, Keberadaan peraturan-peraturan daerah yang selama ini diskriminatif terhadap perempuan bisa semakin kuat karena adanya dukungan dari pasal ini.

2. Hukuman mati (pasal 67,100,101)
Berbahaya : Dengan atau tanpa ketentuan masa percobaan, hukuman mati harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prinsip HAM.  Selama ini, hukuman mati paling banyak ditetapkan untuk kasus narkotika. Namun, hukuman ini terbukti secara ilmiah tidak mampu mengurangi tingkat peredaran narkotika, dan kerap memidana orang yang tidak bersalah.

3. Perampasan aset untuk denda individu (pasal 81)
Berbahaya : Dalam ketentuan pidana denda yang berlaku sekarang,jika seorang terpidana tidak mampu membayar denda, maka denda yang   tidak   mampu   dibayar itu diganti dengan tambahan masa kurungan. Sementara, pasal di RKUHP menentukan bila seorang terpidana tidak mampu membayar denda, maka asetnya akan disita . Katakanlah seorang terpidana mendapatkan hukuman denda kategori IV (200jutarupiah), sementara yang bisa ia bayar cuma 10juta dan  punya rumah Seharga 190j uta,rumahnya akan disita untuk dilelang sebagai pelunasan dendanya. Misalkan kamu dipenjara, keluargamu juga akan menderita karena tidak memiliki rumah untuk tinggal.

4. Pemberatan sanksi pidana berlebihan (pasal 86, 88, 89)
Berbahaya : Pasal ini berbahaya karena penerapan sanksi yang berlebihan. Hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memperkuat penguasa. Pasal ini merupakan cara negara untuk mengeruk keuntungan dari rakyat. Pasal ini juga menunjukkan bahwa hukum hanya bersifat transaksional.

5. Penghinaan presiden (pasal 216, 218, 219)
Berbahaya : Pasal ini sangat bertentangan dengan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya. Setiap kritik yang ditujukan kepada presiden sebagai pemerintah sangat mungkin dipidana dengan dalih menyerang harkat dan martabat Presiden atau wakil presiden yang Seringkali subjektif. Pasal ini berbahaya karena sangat berpotensi membungkam suara-suara yang kritis terhadap pemerintah. Di Indonesia, presiden tidak hanya men-jabat sebagai kepala negara tetapi juga kepala pemerintahan. Kepala negara hanya sebagai simbol negara sedang-kan kepala pemerintahan adalah yang bertanggung jawab dalam melaksanakan penyelenggaraan negara, sehingga ketika masyarakat mengkritik atau mempertanyakan kinerja pemerintahan menjadi suatu hal yang wajar dan harus. Menjadi tidak cocok ketika delik penghinaan ini diterapkan di Indonesia karena dua fungsi presiden sebagai Kepala negara juga kepala pemerintahan.

6. Penghinaan Lembaga Negara dan Pemerintah (pasal 240, 241)
Berbahaya : Mirip dengan pasal penghinaan terhadap Presiden, pasal ini sangat bertentangan dengan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya. Setiap kritik yang ditujukan kepada lembaga negara dan pemerintah dapat dipenjara. Padahal adalah hak setiap orang untuk meminta pertanggungjawaban dari penyelenggara negara apabila ada kekeliruan dari mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pasal ini berbahaya karena sangat berpotensi untuk membungkam suara-suara yang kritis terhadap pemerintah.

Ada klausul soal pemidanaan menggunakan pasal ini hanya bisa terjadi jika ada aduan, kecuali bila tindakan penghinaan yang dimaksud menimbulkan kerusuhan. Dalam faktanya, kerusuhan bisa diciptakan dan dikondisikan,sehingga tidak menutup kemungkinan kerusuhan sengaja dibuat supaya orang yang melakukan ekspresinya dipidana tanpa harus ada aduan ter-lebih dahulu. Ditambah lagi, kritik bisa dianggap penghinaan jika tidak ada tolak ukur yang jelas, apalagi jika orangnya baper.

7. Contempt of Court (pasal 278, 279)
Berbahaya : Misalkan kamu sedang mengikuti sidang teman, saudara atau kerabat-mu, lalu kamu merasa hakim, jaksa atau pengacara bersikap tidak adil dan tidak benar, kemudian kamu memprotesnya, maka kamu bisa bisa dianggap menghina dan dapat dipidana. Pasal ini berbahaya bagi pengacara, saksi, dan korban yang memiliki power lemah atau berhadapan dengan penguasa atau pemerintah.

8. Pawai dan Unjuk Rasa (Pasal 256)
Berbahaya : Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak asasi manusia yang di-jamin oleh UUD yang seharusnya tidak dapat dipidana. Kegiatan berekspresi masyarakat yang bukan merupakan unjuk rasa dapat saja dipidana dengan pasal ini karena dianggap tidak Memberitahukan kepada kepolisian. Bahkan dalam beberapa aksi unjuk rasa, Polisi tidak pernah mengeluarkan surat tanda terima izin unjuk rasa. Pasal ini berbahaya karena dapat mempidana masyarakat yang menuntut haknya melalui unjuk rasa. Pasal ini membungkam kebebasan berpendapat dari masyarakat dan anti kritik.

9. Penyebaran Marxisme dan Leninisme (pasal  88)
Berbahaya : Pasal ini harus ditolak, karena pelarangan terhadap Marxisme-Leninismepada dasarnya adalah pelanggaran atas hak untuk beropini, berekspresi,termasuk di dalamnya untuk mendapat informasi mengenai apapun. Penambahan frasa yang bertentangan den-gan Pancasila juga sangat berbahaya karena tidak ada tolok ukur yang jelas sehingga membuka ruang multitafsir mengenai apa-apa saja yang dimaksud sebagai bertentangan dengan ideologi pancasila. Pasal ini sangat mungkin digunakan untuk melabeli semua orang yang dianggap mengkritik negara dan pemerintah sebagai anti Pancasila yang ujung-ujungnya adalah senjata untuk pemerintah anti terhadap kritik dari masyarakat.

10. Kontrasepsi (pasal 410, 411, 412)
Berbahaya :Pasal ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang yang mengedukasi kesehatan reproduksi. Contoh: Anda punya Anak dan ingin mengedukasi anak sejak dini agar mengenal organ reproduksinya. Maka Anda bisa dipidana ketika RKUHP disahkan karena dianggap bukan petugas berwenang.

11. Lingkungan (pasal 342)
Berbahaya : Pasal ini harus dicabut karena kita memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009tentang Lingkungan Hidup. Pengaturan tentang TDLH di RKUHP justru melemahkan penegakan hukum pidana lingkungan, salah satunya yakni menyulitkan pembuktian karena unsur pasalnya tidak spesifik. Selain itu, ketentuan nominal pidana denda di RKUHP jauh di bawah ketentuan dalam Undang -undang tentang lingkungan hidup.

12. Penghinaan bendera (pasal 234, 235, 236, 237, 238, 239)
Berbahaya : Pasal ini berbahaya karena bisa memberatkan sanksi pidana bagi masyarakat, misalnya ketika seseorang yang melakukan demonstrasi dengan membawa bendera atau jika seseorang mengibarkan bendera lama padahal ia tidak berniat menghinanya, hanya karena ia belum mampu membeli bendera yang baru. Pasal ini memaksa masyarakat untuk men sakral kan sesuatu yang bersifat simbolik seperti bendera, lagu kebangsaan. Di RKUHP penghinaan bendera tidak hanya sebagai delik kejahatan, tapi juga pemberatan.

Jangan sampai pemerintah mencederai negara dengan tindakan semena mena dan meskploitasi demokrasi. Bergeraklah mahasiswa.....

Biro kajian dan gerakan
PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan
Komisariat UIN Walisongo Semarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tadabbur Alam: Ada Apa dengan Alam?

KAWAL PMII MENGABDI BERSAMA SEKOLAH ADVOKASI

Tadabur Alam : memupuk kualitas menumbuhkan loyalitas