PSIKOLOGI ISLAM
Ditulis
oleh: Lisya Metta Damayanti
(Biro
Kajian dan Wacana Rayon Psikologi dan Kesehatan)
Kesehatan
Jiwa Menurut Paradigma Islam (Kajian Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist)
Istilah
kesehatan jiwa selama ini lebih dikenal dengan istilah kesehatan mental yang
merupakan terjemahan dari mental health.
Psikologi Barat memandang pengendali perilaku berpusat pada diri (self/ego)
manusia. Paradigma Islam justru meniadakan self (diri) untuk diserahkan kepada
Allah (Hollins, 2006). Pilar Islam adalah kalimat Lailaha ilallah, tiada Tuhan selain Allah menyuruh manusia
meniadakan semua keterikatan kecuali hanya kepada Allah. Berkaitan dengan
kesehatan jiwa (mental) Islam memandang bahwa keterikatan kepada Allah sebagai
sumber kebahagiaan, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai tolok ukur
kebahagiaan sejati. Keselamatan (kebahagiaan) dunia dan akhirat
sebagai hal yang sangat penting untuk dijadikan visi dan tujuan hidup manusia.
Hal ini menjadi harapan manusia, yang ditunjukkan dalam surat Al Baqarah 201: Dan di antara mereka ada orang yang berdoa:
"Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka “Rasulullah juga berpesan dalam hadist: “barang siapa ingin mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat, harus
berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunah.”
Semua petunjuk untuk memperoleh
kebahagiaan bersumber dari hubungan baik antara manusia dengan Allah (hablu
minnallah), serta dengan manusia yang lain (hablu minannas). Ketenangan jiwa
sebagai puncak kesehatan mental hanya bisa diraih dengan jalan mensucikan jiwa
dengan bertaubat dan beramal shaleh. Pada akhirnya perjumpaan dengan Allah
hanya dapat diraih oleh jiwa yang tenang.
1.
Kesehatan Jiwa menurut Al Quran
Aspek-aspek
yang mendasari kesehatan jiwa adalah kecintaan kepada akhirat dan ketaqwaan
kepada Allah dan Rasul. Rasulullah bersabda bahwa umatnya di hari akhir akan
menderita penyakit hati yaitu cinta dunia dan takut mati. Segala macam penyakit
hati seperti kecemasan, depresi, semuanya bersumber dari kecintaan kepada
dunia. Dunia sering digambarkan sebagai harta, tahta (kedudukan, gelar), dan
wanita (nafsu seksual). Ketiga macam godaan tersebut sering melalaikan manusia
dan menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dunia dan akhirat. Orang-orang yang
bertaqwa akan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia, karena mereka
memahami bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang berlipat ganda. Pada kenyataannya sebagian besar orang yang
mengalami kehancuran adalah mereka yang haus kekuasaan, gelar, status, dan
pujian dari orang banyak (AL-Ghazali, 2007). Sesungguhnya tujuan hakiki manusia
adalah kebahagiaan akhirat. Manusia, harta benda, kekayaan, gelar dan ibadah
kita hanyalah perantara untuk menuju Allah.
2.
Kecintaan Pada Akhirat Sebagai Sumber
Kesehatan Jiwa
Allah sudah menjelaskan dalam ayat-ayat Al
Quran berikut ini bahwa kehidupan dunia merupakan permainan dan kesenangan yang
menipu. QS Al-Hadid (57) ayat 20: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Orang-orang yang
lebih mengutamakan dunia dikatakan sebagai orang yang melampaui batas,
sebagaimana Allah berfirman dalam QS An Naazi’aat (79), ayat 37-41: Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya), Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tunannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
Penjelasan dalam
ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas memberikan pesan bahwa kehidupan akhirat
lebih menjanjikan kebahagiaan yang berlipat ganda dibandingkan kehidupan dunia
yang bersifat sementara (sebentar) seperti gambaran dalam QS An-Nisaa (4) ayat
77. Allah membolehkan menikmati kesenangan dunia, namun dengan cara yang tidak
melampaui batas, agar manusia tidak lalai dan meraih kebahagiaan hakiki.
Komentar
Posting Komentar