AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (ASWAJA )
Ditulis oleh : Muhammad Ulin Nuha
(Biro Kajian dan Wacana Rayon Psikologi dan Kesehatan)
A.
Sejarah
ASWAJA
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status
Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat
Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya. Di
wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman Khulafa’ur
Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang Shiffin yang melibatkan khalifah
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dengan Muawiyah. Bersama kekalahan
khalifah keempat tersebut, setelah dikelabui melalui arbitrase (tahkim) oleh
kubu Muawiyah, umat Islam semakin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara
mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut khalifah
Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena
tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi
kepemimpinan Mu’awiyah.
Selain
tiga golongan tersebut, masih ada Murji’ah dan Qodariyah, faham bahwa segala
sesuatu terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (Af’al
Al-ibad min Al-ibad), berlawanan dengan faham Jabariyah. Di antara
kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam ,Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar Al-Bashri
(21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan Al Bashri, yang
cenderung mengembangkan aktifitas keagamaan yang bersifat kultural
(tsaqofiyah), ilmiah, dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih.
Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai fraksi politik
(firqoh) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya, mereka mengembangkan sikap
keberagaman dan pemikiran yang sejuk, moderat, dan tidak ekstrim. Dengan sistem
keberagaman semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau
kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama
waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah
beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (150 H), Imam Malik Ibn Anas
(179 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Kullab (204 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H),
hingga tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H) dan Abu Mansur
Al-Maturidi (333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja
sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti, benih-benih faham
Aswaja ini sebenarnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia
merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah Wal
Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah
penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya bergabung -baik tergabung
secara sadar maupun tidak- dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama, yang sejak awal
berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah’ disingkat Aswaja yang dalam pemahaman dan praktek
Islamnya menyandarkan diri kepada 4 (empat) mazhab, yaitu : mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki dan Hanbali. Mayoritas umat Islam dengan beragam pemahaman,
keyakinan dan ritual keislamannya berharap dan mengklaim dirinya sebagai
Ahlusunnah Wal Jama’ah (aswaja). Klaim sebagai sunni (sebutan bagi pengikut
aswaja) ini adalah bagian dari ekspresi pemahamannya yang meyakini bahwa umat
Islam telah terpecah belah menjadi beberapa aliran, namun diantara mereka yang
selamat dan akan masuk surga hanya satu, yaitu aliran yang bernama Ahlussunnah
Wal Jama’ah. Sehingga orang yang merasa dirinya sebagai sunni beranggapan bahwa
dirinya telah menemukan kebenaran agama, sedangkan orang lain keliru, sehingga
ia berhak memberikan label “sesat” atau “kafir” kepada orang yang memiliki
pemahaman keislaman yang berbeda dengannya. Mengklaim dirinya sebagai orang
yang paling benar dan yang lain sesat menurut Al-Qur'an adalah sebuah
kesalahan, karena secara tegas Allah berfirman
اِنَّ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ الَّذِیۡنَ ہَادُوۡا وَ الصّٰبِئِیۡنَ وَ النَّصٰرٰی وَ
الۡمَجُوۡسَ وَ الَّذِیۡنَ اَشۡرَکُوۡۤا ٭ۖ اِنَّ اللّٰہَ یَفۡصِلُ بَیۡنَہُمۡ
یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ
“Sesungguhnya
orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi-in, orang-orang
Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj: 17)
yang
akan menentukan kebenaran manusia dalam beragama adalah Allah sendiri, bukan
makhluknya, dan akan diputuskan kelak di akhirat, bukan di dunia.
Sementara
di sisi lain pengertian dan cakupan aswaja sendiri tidak jelas, para ulama
mendefinisikannya dengan berbeda-beda. Hal ini lantaran istilah Ahlussunnah Wal
Jama’ah berikut definisinya tidak pernah disampaikan oleh Allah dan rasul-Nya
secara jelas baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits.
B. Apa
itu Ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA)?
Secara
Etimologi, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut
mazhab. Al-Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti
sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa
Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan
ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah
aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
Aswaja
secara Terminologi dapat didefinisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki
metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan
atas dasar-dasar modernisasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat
tarawih 23 rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara
orang luar NU terhadap perilaku warga NU sendiri. Sedangkan al Jama’ah menurut
Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang mengartikannya sebagai ahlul
Islam yang bersepakat dalam masalah
syara’. Selain itu juga ada yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok
mayoritas).
Ada
juga yang mengatakan bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang
mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah
adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang
yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas
kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut.
Menurut
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, istilah Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah
istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan
istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Menurutnya, kata “ahlus
sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar
yang yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya,
memisahkan yang shahih dari yang cacat
dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah
aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan
oleh sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as
sunnah, seperti Abu Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan
lain-lain. Mereka mengartikan as sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma’.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa madzhab ahlussunnah wa al jama’ah itu merupakan
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Adapun penamaan ahlussunnah wa al jama’ah adalah sesudah terjadinya
fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Menarik
untuk dicatat, bahwa dulu Imam Malik pernah ditanya: “siapakah ahlussunnah itu
?” Beliau menjawab bahwa ahlus sunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab
(julukan) yang sudah terkenal, yakni bukan jahmi, qadari, dan bukan pula
Rafidli. Imam Ahmad Ibn Hanbal pun pernah disebut-sebut sebagai Imam
Ahlussunnah karena tindakan beliau yang gigih mempertahankan keyakinannya
ketika Khalifah al Makmun dengan faham
Mu’tazilahnya gencar mengkampanyekan bahwa Qur’an adalah makhluk.
Adapun
pengertian hadits secara terminologi mempunyai beberapa pengertian antara lain:
pertama, Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya
(bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarahnya, baik sebelum kenabian maupun
sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala
sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”.
Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila
dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa,
kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga
diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik
Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan
pembukuan atau pengkodifikasian Hadits, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai
Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum bi assunnatî
wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“. Kelima, Sunnah juga
diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan Bid’ah.
Arti
Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil dari Hadits Rasulullah SAW yang
beliau sabdakan :
“Islam
akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga tanpa
di hisab”, sahabat berkata : siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi
bersabda “ Ahlussunnah wal jama’ah“.
Semua
golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah
wal jama’ah karena banyak hal-hal yang mereka langgar yang mereka jalankan di
dalam ajaran agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar.
Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari di dalam agama Islam
atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan mengetahui kebenarannya di
dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Allah SWT telah mengucapkan di dalam
surat Al Fatihah pada ayat yang 5 dan ayat yang ke 6, Allah SWT mengucapkan di
dalam ayat yang ke 5 jalan yang lurus dan pada ayat yang ke 6 jalan-jalan
mereka, yang kita tanyakan siapa mereka-mereka itu?
Ulama
Ahlussunnah wal jama’ah mereka bersepakat:
a. Mereka
adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya
b. Penerus
sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dinamakan Tabi’in
c. Tabi’-tabi’in
adalah pengikut yang mengikuti orang yang belajar kepada sahabat Rasulullah
SAW.
d. Dan
para ulama sholihin.
Berbicara
tentang Ahlus Sunnah wa al Jama’ah, kiranya tak lengkap tanpa menyebut
nama dua orang tokoh yang begitu
disegani di kalangan faham ini. Mereka
adalah Abu al Hasan al Asy’ari
dan Abu Manshur al Maturidi. Bahkan beberapa ulama’ mengatakan bahwa ahlus
sunnah wa al jama’ah adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. Contoh
misalnya, al Zubaidi yang pernah mengatakan: “Jika dikatakan ahlus sunnah, maka
yang dimaksud dengan mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. Senada dengan
al Zubaidi adalah Hasan Ayyub yang mengatakan: “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan
Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan
mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami
aqaid”.
Tokoh
yang pertama bernama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Bishri Ishaq Ibn
Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa
Ibn Bilal Ibn Abi Bardah Ibn Abi Musa al Asy’ari (260 H – 330 H). Dia
dikenal sebagai pendiri teologi sunni, meskipun sebelumnya dia adalah pengikut
Mu’tazilah dan pernah menjadi murid al Jubba’i. Kurang lebih sejak 1995/1997,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai Manhajul Fikr.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki
metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja
bukan sebuah madzhab, melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam
menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan;
inilah makna Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
C. ASWAJA
Sebagai Manhaj Al-Fikr
Konsep
dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari
gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya
aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual
dan ulama’ untuk merujuk langsung kepada ulama’ dan pemikir utama yang tesebut
dalam pengertian aswaja.
PMII
memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar
moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab
melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna
aswaja sebagai manhaj al fikr. Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada
prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan),
dan tasamuh (toleran).
Oleh
karena itu, sebagaimana penjelasan di bawah ini;
· Manhaj al fikr yaitu sebagai sebuah
metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu
erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi
masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut
perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang
kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam
makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran
keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka
tunggal ika dalam ruh yang sama.
· Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu
sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan
rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan
pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam
materi pendalaman tentang ASWAJA.
Dari
pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir
(manhaj al fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i)
adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa
ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode
berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan
pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh),
keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul).
D. Nilai-Nilai
Asjawa
a.
Nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul
umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai
sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan
pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan
konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan
kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka
kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena
bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari
PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola
berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah
kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap
tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam
rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan
sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal untuk berfikir dan
menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih
atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di
dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar
kepada tradisi,juga tidak kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf
yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian
haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya.
Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju
haqiqah.
b.
Nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh
adalah toleran, adalah sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak
memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana
kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama
dan bermasyarakat. Biarkan semuanya partikular, tidak harus seragam dengan
kita. Arah dari nilai toleransi ini adalah kesadaran akan pluralisme atau
keragaman, baik itu dalam beragama, budaya, keyakinan, dan setiap dimensi
kehidupan yang harusnya saling berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana
konsep Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran
yang berbunyi “Lakum Dinukum Wal-Yadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang
dengan perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam
arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya menyapu (sweeping) dan
meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang kebenarannya adalah
satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya terhadap yang lain, tanpa
menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang lain.
c.
Nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun
berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar
individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara
manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat
sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi,
masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa
mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah
terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam
ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh
umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan
hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang
kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam
wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara
(penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup
kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi
segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga
senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam
wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang
antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi Negara adalah sebagai
pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat rambu-rambu atau aturan
main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah tempat
pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen secara seimbang,
tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat (khususnya konsumen)
di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif, yang di
dalamnya tidak ada monopoli dan di sisi lain mengontrol kerja negara dan pasar.
d.
Nilai Keadilan (Ta’adul)
Yang
dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, ia merupakan pola integral dari
tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya keseimbangan, toleran, dan
moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai keadilan, sekaligus merupakan
ajaran universal dari Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu
diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah
keadilan social, yaitu; nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan
politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan
bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah.
Bagitu juga Umar bin Khattab RA yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban
Islam yang agung. Sebenarnya ke-Empat nilai inilah yang menjadi metode berpikir
dan pola perubahan sosial dari Nabi dan para sahabatnya.
NU menjadi Organisasi agama yang
paling besar dan cepat perkembangannya memiliki dari banyak pengikutnya dan
kuatnya organisasi ini berdiri, dikarenakan kemoderatannya dalam ideology dan
fleksibel dalam hukum furu’i, hingga kini banyak pengikutnya tak terkecuali
para pemuda dan pelajar diperguruan tinggi di seluruh Nusantara. Para
kader-kader NU yang melanjutkan jenjang pendidikan di ranah perguruan tinggi
pun masih menjaga dan memperjuangkan ideology Aswaja di kampus masing-masing.
Dengan menjalankan empat nilai/prinsip tersebut, diharapkan kader PMII menjadi
kader yang berpegang teguh kepada aswaja dan nilai-nilai spiritual.
Komentar
Posting Komentar