AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (ASWAJA )



Ditulis oleh : Muhammad Ulin Nuha
(Biro Kajian dan Wacana Rayon Psikologi dan Kesehatan)

A.      Sejarah ASWAJA
Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara sifat-sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya. Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman Khulafa’ur Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi perang Shiffin yang melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dengan Muawiyah. Bersama kekalahan khalifah keempat tersebut, setelah dikelabui melalui arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, umat Islam semakin terpecah ke dalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Mu’awiyah.
Selain tiga golongan tersebut, masih ada Murji’ah dan Qodariyah, faham bahwa segala sesuatu terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (Af’al Al-ibad min Al-ibad), berlawanan dengan faham Jabariyah. Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam ,Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar Al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan Al Bashri, yang cenderung mengembangkan aktifitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqofiyah), ilmiah, dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai fraksi politik (firqoh) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya, mereka mengembangkan sikap keberagaman dan pemikiran yang sejuk, moderat, dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagaman semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (150 H), Imam Malik Ibn Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Kullab (204 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H), hingga tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun bila ditelusuri secara teliti, benih-benih faham Aswaja ini sebenarnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya bergabung -baik tergabung secara sadar maupun tidak- dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah’ disingkat Aswaja yang dalam pemahaman dan praktek Islamnya menyandarkan diri kepada 4 (empat) mazhab, yaitu : mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Mayoritas umat Islam dengan beragam pemahaman, keyakinan dan ritual keislamannya berharap dan mengklaim dirinya sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah (aswaja). Klaim sebagai sunni (sebutan bagi pengikut aswaja) ini adalah bagian dari ekspresi pemahamannya yang meyakini bahwa umat Islam telah terpecah belah menjadi beberapa aliran, namun diantara mereka yang selamat dan akan masuk surga hanya satu, yaitu aliran yang bernama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sehingga orang yang merasa dirinya sebagai sunni beranggapan bahwa dirinya telah menemukan kebenaran agama, sedangkan orang lain keliru, sehingga ia berhak memberikan label “sesat” atau “kafir” kepada orang yang memiliki pemahaman keislaman yang berbeda dengannya. Mengklaim dirinya sebagai orang yang paling benar dan yang lain sesat menurut Al-Qur'an adalah sebuah kesalahan, karena secara tegas Allah berfirman
اِنَّ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ الَّذِیۡنَ ہَادُوۡا وَ الصّٰبِئِیۡنَ وَ النَّصٰرٰی وَ الۡمَجُوۡسَ وَ الَّذِیۡنَ اَشۡرَکُوۡۤا ٭ۖ اِنَّ اللّٰہَ یَفۡصِلُ بَیۡنَہُمۡ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ شَہِیۡدٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj: 17)
yang akan menentukan kebenaran manusia dalam beragama adalah Allah sendiri, bukan makhluknya, dan akan diputuskan kelak di akhirat, bukan di dunia.
Sementara di sisi lain pengertian dan cakupan aswaja sendiri tidak jelas, para ulama mendefinisikannya dengan berbeda-beda. Hal ini lantaran istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah berikut definisinya tidak pernah disampaikan oleh Allah dan rasul-Nya secara jelas baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits.

B.       Apa itu Ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA)?
Secara Etimologi, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan  Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut mazhab. Al-Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
Aswaja secara Terminologi dapat didefinisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan atas dasar-dasar modernisasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat tarawih 23 rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU terhadap perilaku warga NU sendiri. Sedangkan al Jama’ah menurut Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang mengartikannya sebagai ahlul Islam  yang bersepakat dalam masalah syara’. Selain itu juga ada yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok mayoritas).
Ada juga yang mengatakan bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut.
Menurut Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, istilah Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Menurutnya, kata “ahlus sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya, memisahkan yang shahih dari  yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as sunnah, seperti Abu Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan lain-lain. Mereka mengartikan as sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa madzhab ahlussunnah wa al jama’ah itu merupakan kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Adapun penamaan ahlussunnah wa al jama’ah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Menarik untuk dicatat, bahwa dulu Imam Malik pernah ditanya: “siapakah ahlussunnah itu ?” Beliau menjawab bahwa ahlus sunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal, yakni bukan jahmi, qadari, dan bukan pula Rafidli. Imam Ahmad Ibn Hanbal pun pernah disebut-sebut sebagai Imam Ahlussunnah karena tindakan beliau yang gigih mempertahankan keyakinannya ketika  Khalifah al Makmun dengan faham Mu’tazilahnya gencar mengkampanyekan bahwa Qur’an adalah makhluk.
Adapun pengertian hadits secara terminologi mempunyai beberapa pengertian antara lain: pertama, Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarahnya, baik sebelum kenabian maupun sesudahnya. Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”. Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan atau pengkodifikasian Hadits, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum bi assunnatî wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“. Kelima, Sunnah juga diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan Bid’ah.
Arti Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil dari Hadits Rasulullah SAW yang beliau sabdakan :
“Islam akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga tanpa di hisab”, sahabat berkata : siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi bersabda “ Ahlussunnah wal jama’ah“.
Semua golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah wal jama’ah karena banyak hal-hal yang mereka langgar yang mereka jalankan di dalam ajaran agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar. Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari di dalam agama Islam atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan mengetahui kebenarannya di dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah. Allah SWT telah mengucapkan di dalam surat Al Fatihah pada ayat yang 5 dan ayat yang ke 6, Allah SWT mengucapkan di dalam ayat yang ke 5 jalan yang lurus dan pada ayat yang ke 6 jalan-jalan mereka, yang kita tanyakan siapa mereka-mereka itu?
Ulama Ahlussunnah wal jama’ah mereka bersepakat:
a.       Mereka adalah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya
b.      Penerus sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dinamakan Tabi’in
c.       Tabi’-tabi’in adalah pengikut yang mengikuti orang yang belajar kepada sahabat Rasulullah SAW.
d.      Dan para ulama sholihin.
Berbicara tentang Ahlus Sunnah wa al Jama’ah, kiranya tak lengkap tanpa menyebut nama  dua orang tokoh yang begitu disegani di kalangan faham ini. Mereka  adalah Abu al Hasan  al Asy’ari dan Abu Manshur al Maturidi. Bahkan beberapa ulama’ mengatakan bahwa ahlus sunnah wa al jama’ah adalah pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. Contoh misalnya, al Zubaidi yang pernah mengatakan: “Jika dikatakan ahlus sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. Senada dengan al Zubaidi adalah Hasan Ayyub yang mengatakan: “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.
Tokoh yang pertama bernama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Bishri Ishaq Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa  Ibn Bilal Ibn Abi Bardah Ibn Abi Musa al Asy’ari (260 H – 330 H). Dia dikenal sebagai pendiri teologi sunni, meskipun sebelumnya dia adalah pengikut Mu’tazilah dan pernah menjadi murid al Jubba’i. Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai Manhajul Fikr. PMII memandang bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab, melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.

C.      ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr
Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama’ untuk merujuk langsung kepada ulama’ dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.
PMII memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr. Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan di bawah ini;
·         Manhaj al fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
·         Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam materi pendalaman tentang ASWAJA.
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir (manhaj al fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya berlandaskan pada beberapa nilai berikut : moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul).

D.      Nilai-Nilai Asjawa
a.         Nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian yang teguh dalam menghadapi posisi dilematis antara yang liberal dan konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka kurang benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang menjadi jantung pijakan dari PMII itu sendiri. Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola berpikir, tidak terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah (hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya. Tasawuf yang tawassuth menjadikan taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.

b.        Nilai Toleransi (Tasamuh)
Tasamuh adalah toleran, adalah sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Biarkan semuanya partikular, tidak harus seragam dengan kita. Arah dari nilai toleransi ini adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, baik itu dalam beragama, budaya, keyakinan, dan setiap dimensi kehidupan yang harusnya saling berkomplementer (saling melengkapi). Sebagaimana konsep Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu) dan ayat Al-Quran yang berbunyi “Lakum Dinukum Wal-Yadin” (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang dengan perbedaan ini kita mendapat rahmat, hidup kita lebih variatif.
Dalam arus filsafat yang saat ini berkembang, saatnya menyapu (sweeping) dan meruntuhkan metafisika kehadiran (konsep tunggal yang kebenarannya adalah satu). Sebuah konsep yang memaksakan kebenarannya terhadap yang lain, tanpa menerima perbedaan dan menolak akan kebenaran yang lain.

c.         Nilai Keseimbangan (Tawazun)
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.
Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah egalitarianisme (persamaan derajat) seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan.
Dalam wilayah politik, tawazun meniscayakan keseimbangan antara posisi Negara (penguasa) dan rakyat. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang, menutup kran demokrasi, dan menindas rakyatnya. Sedangkan rakyat harus selalu mematuhi segala peraturan yang ditujukan untuk kepentingan bersama, tetapi juga senantiasa mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam wilayah ekonomi, tawazun meniscayakan pembangunan sistem ekonomi yang seimbang antara posisi Negara, pasar dan masyarakat. Fungsi Negara adalah sebagai pengatur sirkulasi keuangan, perputaran modal, pembuat rambu-rambu atau aturan main bersama dan mengontrol pelaksanaannya. Tugas pasar adalah tempat pendistribusian produk yang memposisikan konsumen dan produsen secara seimbang, tanpa ada satu pihak pun yang ditindas. Fungsi masyarakat (khususnya konsumen) di satu sisi adalah menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif, yang di dalamnya tidak ada monopoli dan di sisi lain mengontrol kerja negara dan pasar.

d.        Nilai Keadilan (Ta’adul)
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, ia merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Dengan adanya keseimbangan, toleran, dan moderat maka akan mengarah pada sebuah nilai keadilan, sekaligus merupakan ajaran universal dari Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan social, yaitu; nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad SAW mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga Umar bin Khattab RA yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung. Sebenarnya ke-Empat nilai inilah yang menjadi metode berpikir dan pola perubahan sosial dari Nabi dan para sahabatnya.

            NU menjadi Organisasi agama yang paling besar dan cepat perkembangannya memiliki dari banyak pengikutnya dan kuatnya organisasi ini berdiri, dikarenakan kemoderatannya dalam ideology dan fleksibel dalam hukum furu’i, hingga kini banyak pengikutnya tak terkecuali para pemuda dan pelajar diperguruan tinggi di seluruh Nusantara. Para kader-kader NU yang melanjutkan jenjang pendidikan di ranah perguruan tinggi pun masih menjaga dan memperjuangkan ideology Aswaja di kampus masing-masing. Dengan menjalankan empat nilai/prinsip tersebut, diharapkan kader PMII menjadi kader yang berpegang teguh kepada aswaja dan nilai-nilai spiritual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tadabbur Alam: Ada Apa dengan Alam?

KAWAL PMII MENGABDI BERSAMA SEKOLAH ADVOKASI

Tadabur Alam : memupuk kualitas menumbuhkan loyalitas